Rabu, 12 November 2014

Perkawinan Beda Agama Menurut Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan



Masalah perkawinan bukanlah sekedar masalah pribadi dari mereka yang akan melangsungkan perkawinan itu saja, tetapi ia merupakan salah satu masalah keagamaan yang cukup sensitive dan erat sekali hubungannya dengan kerohanian seseorang. Sebagai suatu masalah keagamaan, hamper setiap agama di dunia ini mempunyai peraturannya sendiri tentang perkawinan sehingga pada prinsipnya diatur dan harus tunduk pada ketentuan – ketentuan ajaran agama yang dianut oleh mereka yang melangsungkan perkawinan[1].
Perkawinan merupakan suatu perbuatan keagamaan, yang menyangkut hubungan antar manusia yang mempunyai tujuan yang jelas untuk hidup bersama dengan bahagia dan kekal, maka perkawinan ini juga dianggap sebagai perbuatan hukum. Dalam melakukan suatu perbuatan hukum, mengingat Negara Indonesia adalah Negara hukum dengan demikian setiap orang yang melakukan perbuatan hukum haruslah taat pada hukum positif nasional dari suatu Negara tersebut.
Indonesia sebagai Negara hukum menetapkan suatu peraturan – peraturan sebagi landasan untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum perkawinan juga mendapatkan perhatian dari Negara Indonesia, yang di atur dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga setiap orang yang hendak melakukan perbuatan hukum perkawinan harus melandasakan pada norma positif nasional yang berlaku yakni Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Perbuatan hukum perkawinan yang dilakukan setiap orang harus didasarkan pada ketentuan hukum masing – masing agama dan kepercayaannya. Sebagaimana yang terdapat pada ketentuan Pasal 1 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dinyatakan:
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.”
Kemudian dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan penjelasannya, Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu, dengan pengertian tidak ada perkawinan di luar hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Dalam hal ini, Indonesia sebagai Negara hukun yang Pancasila sebagai norma tertinggi dalam Negara ini, agama hidup dan berkembang dengan perlindungan Negara. Pemeluk agama juga berhak untuk memilih agama masing – masing mengembangkan agamnya sesuai dengan keyakinan pada agama yang di yakininya itu. Hubungannya dengan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni memuat hukum agama sebagai nilai hukum yang asasi dan fundamental. Sehingga seorang yang melakukan perbuatan hukum perkawinan harus mendasarkan pada agama dan kepercayaan yang di yakininya masing – masing.
Dengan berlakunya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, keabsahan suatu perkawinan didasarkan pada hukum masing – masing agamanya atau kepercayaan agamanya itu. Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Penjelasannya menyatakan: “Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maka perkawinan yang dilangsungkan tidak menurut hukum masing – masing agamanya atau kepercayaanya agamanya itu, dianggap tidak sah. Sebagai konsekuensinya perkawinan yang demikian tidak dapat didaftar dan dicatatkan selanjutnya untuk dibuatkan Akta Perkawinannya oleh Kantor Catatan Sipil atau Akta Nikahnya oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mewajibkan setiap perkawinan untuk dicatatkan menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Ini sesuai dengan Pasal 29 Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, perkawinan harus dilaksanakan menurut agamanya. Maka, dilarang melakukan perkawinan diluar agama, segala sesuatunya tidak boleh menyimpang dari ajaran agama, termasuk dalam tata cara pelaksanaannya. Ini dalam rangka melaksanakan iman, ibadah, dan takwa kita sebagai warga Negara yang beragama[2].
Pada dasarnya setiap hukum agama di Indonesia tidak mengijinkan perkawinan beda agama, yang merupakan perkawinan di luar hukum agama masing masing pihak dari pasangan yang hendak melaksanakan perkawinan tersebut. Dalam kehidupan masyarakat dapat dijumpai pasangan yang tetap menikan dengan pasangannya yang berbeda agama, walaupun itu melanggar hukum agamanya masing – masing pihak.
Dari perkawinan beda agama itu menimbulkan konsekuensi tidak dapat di didaftar dan dicatatkannya perkawinan itu, sehingga tidak terdapat kepastian hukum dalam perkawinan itu. Sedangkan pada Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyatakan:
“Tiap – tiap perkawinan dicatatkan menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku.”
Kemudian dalam angka 4 Penjelasan Umum Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan antara lain dinyatakan bahwa:
“Pencatatan tiap – tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa – peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat – surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.”
Dari ketentuan tersebut, jelaslha bahwa pencatatan perkawinan ini diperlukan untuk membuktikan suatu peristiwa perkawinan telah terjadi.
Perbuatan pencatatan perkawinan, bukanlah menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Pencatatan bersifat administratif, yang menyatakan bahwa peristiwa perkawian itu memang ada dan terjadi. Dengan pencatatan itu perkawinan menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi pihak pihak lainya. Suatu perkawinan yang tidak tercatat dalam akta nikah dianggap tidak ada oleh Negara dan tidak mendapat kepastian hukum.
Dengan adanya ketentuan di atas maka pasang dari perkawinan beda agama ini melakukan pencatatan perkawinannya pada Kantor Urusan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pegawai Pencatatan Perkawinan yang berada pada Kantor Catatan Sipil bagi mereka yang selain agama islam atau instansi/pejabat yang  membantunya. Fungsi lembaga ini hanya mencatat perkawinan yang telah di langsungkan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu.
Berdasarkan pada kewenangan yang dimiliki Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil dapat menolak perkawinan yang yang tidak sesuai dengan hukum agama dan kepercayaannya itu. Dengan demikian pasangan ini disarankan untuk meminta penetapan dari pengadilan untuk mendapatkan ijin untuk melaksanakan perkawinan.
Dalam ketentuan Pasal 21 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur mengenai kewenangan pengadilan untuk mengadili permohonan penolakan pegawai pencatatan perkawinan untuk melangsungkan perkawinan yang menyatakan:
1)      Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan ada larangan menurut undang – undang ini akan menolak melangsungkan perkawinan.
2)      Di dalam hal penolakan, permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan – alasan penolakannya.
3)      Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut di atas.
4)      Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan cara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ini akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan agar supaya perkawinan dilangsungkan.
Penolakan oleh pegawai pencatatan perkawinan itu, dengan alasan terdapat suatu halangan dalam akan dilangsungkannya perkawinan itu. Sebagaimana adanya larangan perkawinan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 8 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan:
“Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.”
Dalam hal ini hakim dapat mempertimbangkan putusannya dengan berdasarkan pada pasal ini. Yang menyatakan melarang perkawinan berbeda agama, dengan alasan terdapat halangan pada peraturan hukum agama masing – masing pihak. Menurut hukum islam tidak sah perkawinan berlainan agama sebagai mana tersebut dalam Alquran Surah Al-baqarah ayat 221. Sedang dari sudut agama Kristen pun dapat dilihat dengan tegas nasihat Al-Kitab mereka dalam Perjanjian Baru (2 Korintus 6:14).
Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, memberikan suatu kehormatan tersendiri terhadap ketentuan hukum perkawinan Islam, Kristen, Katolik , Hindu, Buddha, dan ketentuan hukum perkawinan tersebut merupakan bagian integral dari hukum perkawinan nasional. Karena dapat dikatakan bahwa, Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini merupakan suatu undang – undang unifikasi yang unik, di mana mengakui adanya variasi hukum kepercayaan agamanya masing – masing itu, yang di tegaskan dalam ketentuan angka 3 Penjelasan Umum Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan[3]:
“Undang – undang perkawinan ini telah menampung di dalamnya unsur –unsur dan ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan.”
Dengan demikian yang di unifikasi adalah hukum administatifnya saja, sedangkan materi hukumnya masih tetap berlainnan. Sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan hukum agama dan kepercayaannya itu, yang harus tetap ditaati sehingga tidak terjadi suatu anggapan dapat dilaksanakannya perkawinan beda agama, sedang hukum materi yakni hukum agama dan kepercayaannya itu melarang perkawinan beda agama itu.


[1] Rahmadi Usman, 2006, Aspek- Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,Jakarta, Sinar Grafika.hal 303
[2] Rahmadi Usman, Ibid, hal 305.
[3] Rahmadi Usman, Ibid, hal 313.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar