Rabu, 26 November 2014

Hukum Kekeluargaan dan Waris Adat Desa Tenganan Pagringsingan



I
PENDAHULUAN
A.    1. Latarbelakang
Setiap bangsa atau masyarakat mempunyai kebudayaan masing – masing, yang tentunya setiap bangsa atau masyarakat mempunyai hukum yang berbeda. Kebudayaan yang ada pada masyarakat tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat itu sendiri. Bangsa Indonesia adalah suatu masyarakat yang plural dan heterogen, sehingga kaya akan kebudayaan dari setiap daerahnya. Yang sebagaimana semboyan bangsa Indonesia Bhinneka Tunggal Ika.
Kebiasaan yang mempunyai akibat hukum atau sangsi yang merupakan hukum adat. Hukum Adat adalah hukum yang khas Indonesia atau Melayu Polinesia. Hukum kebiasaan berada dimana – mana di seluruh dunia[1].
Di Indonesia sebagai Negara hukum sebagaimana di dalam konstitusi bangsa Indonesia. Dari pada itu, selain dari Hukum Nasional dalam kehidupan berwarganegara yakni ada hukum adat, hukum agama, kesusilaan , dan kesopanan. Dengan adanya berbagai hukum itu, akan sulit memberlakukan hukum nasional (positif) di Indonesia.
Menurut Griffiths, kondisi kemajemukan hukum terjadi karena tidak semua hukum dan pranata – pranata hukum dapat dapat dikelompokkan ke dalam satu sistem, namun berasal dari “self regulation activities” dari bidang – bidang kehidupan social yang pada dasarnya beragam.
Suatu kenyataan bahwa hukum yang satu dan hukum yang lain saling terkait, berbeda, dan saling tumapng tindih dengan gejala – gejala social lainnya. Dalam proses perkembangannya itu, ada kemungkinan sejumlah asas hukum, norma, pranata, dan lembaga hukum yang lain kehilangan peranan sosialnya sehingga kehilangan daya lakunya[2].
Dalam hal berlakunya hukum adat di Negara Indonesia, mengakui adanya hukum adat yang tumbuh dan berkembang di dalam anggota masyarakatnya. Dalam anggota masyarakat itu hukum adat eksis dan di taati oleh setiap anggota masyarkatnya. Yang berlaku berdasarkan Pasal 18 B ayat (2) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
            Juga mendasarkan pada ketentuan Pasal 28 I ayat (3) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang menyatakan:
“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
            Dalam perkembangannya desa adat juga diatur dalam peraturan perundang – undangan yakni Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
            Sehingga desa adat tenganan pagringsingan, kecamatan manggis, kabupaten karangasem, provinsi bali yang merupakan desa age di provinsi bali, masih menggunakan hukum adat sebagai hukum yang berlaku sebagai pengendalian sosial bagi anggota masyarakat adatnya. Eksistensi dari hukum adat di desa tenganan ini sangat menarik untuk dilakukan penelitian, sebagaimana desa adat ini adalah desa age yang merupakan adat asli Indonesia yang berbeda dengan hukum adat majapahit yang kebanyakan eksis di provinsi bali.

A.    2. Rumusan masalah
Dari latarbelakang yang dikemukakan diatas sehingga timbul untuk menentukan suatu rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana sistem kekerabatan sebagai konsekuensi perkawinan pada hukum adat tenganan pagringsingan yang berlaku dalam anggota masyarakatnya?
2.      Bagaimana sistem kewarisan hukum adat tenganan pagringsingan yang berlaku dalam anggota masyarakatnya?

Senin, 17 November 2014

BAGAIMANA CARA PENETAPAN GANTI KERUGIAN ATAS TANAH

Tata Cara Penetapan Ganti Kerugian

Apabila penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian atas tanah tidak diterima oleh pemegang ha katas tanah akibat pencabutan sesuai ketentuan dalam Pasal 8 UU Nomor 20 Tahun 1961, Pengadilan berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan terhadap kasus tersebut. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan dengan Pencabutan Hak – Hak Atas Tanah dan benda – benda yang ada di atasnya. Dalam Pasal 2 PP Nomor 39 Tahun 1973 dinyatakan sebagai berikut.

Permintaan banding tersebut pada Pasal 1 Peraturan Pemerintah ini diajukan kepada Pengadilan Tinggi yang daerah kekuasaannya meliputi tanah dan atau benda – benda yang haknya dicabut, selambat- selambatnya dalam waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal Keputusan Presiden dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UU Nomor 20 Tahun 1961 tersebut disampaikan kepada yang bersangkutan.

Dalam kaitannya dengan ketentuan dalam Pasal 2 di atas, maka pemohon banding mengajukan permohonan baik tertulis maupun secara lisan. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 3 PP Nomor 39 Tahun 1973 dinyatakan sebagai berikut.

Permintaan banding disampaikan dengan surat atau dengan lisan kepada panitera Pengadilan Tinggi dimaksud dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah ini. Panitera membuat catatan tentang permintaan banding diterima apabila terlebih dahulu telah dibayar biaya perkara yang ditetapkan oleh ketua Pengadilan Tinggi. Apabila ternyata peminta banding tidak mampu, maka atas pertimbangan Ketua Pengadilan Tinggi, ia dapat dibebaskan dari pembayaran biaya perkara tersebut pada ayat (2) pasal ini.

Untuk kelancaran dan kecepatan pemeriksaan terhadap permohonan banding tersebut, maka Pengadilan Tinggi menentukan jangka waktu lamanya pemeriksaan. Dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa selambat – lambatnya dalam waktu 1 (satu) bulan setelah diterimanya banding, perkara tersebut harus sudah diperiksa oleh Pengadilan Tinggi yang bersangkutan. Pemeriksaan dan putusan dijatuhkan dalam waktu yang sesingkat – singkatnya.

Berkaitan dengan pemeriksaan perkara tersebut, untuk memperlancar jalannya pemeriksaan, maka pengadilan tinggi dapat memanggil para pihak untuk didengar keterangannya masing – masing (Pasal 5 ayat (1)). Selanjutnya permintaan keterangan dari para pihak dapat dilimpahkan oleh pengadilan tinggi ke pengadilan Negeri,dimana tanah dan benda tersebut terletak (ayat (2)).

Pertimbangan pemerintah memberikan kesempatan kepada para pemegang ha katas tanah, yang tidak mau menerima besarnya ganti kerugian walaupun sudah mendapat keputusan dari presiden, dimaksudkan agar pelaksanaan pencabutan ini dilakukan secara bijak dan hati – hati. Sebab dengan dilakukannya pencabutan, maka para pemegang ha katas tanah semula telah melepaskan haknya tersebut. Prinsip kehati- hatian ini membuat presiden mengeluarkan Instruksi Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak –Hak Atas Tanah dan Benda – Benda di Atasnya. Dalam instruksi tersebut ditujukan kepada semua menteri dan gubernur seluruh Indonesia, bahwa:

Pencabutan hak – hak atas tanah dan benda – benda yang ada di atasnya supaya hanya dilaksanakan benar – benar untuk kepentingan umum dan dilakukan dengan hati – hati serta dengan cara- cara yang adil dan bijaksana, segala sesuai dengan ketentuan – ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Dalam instruksi presiden ini telah ditentukan pembangunan yang bersifat kepentingan umum, yaitu apabila kegiatan tersebut menyangkut:

a. Kepentingan bangsa dan Negara, dan atau
b. Kepentingan masyarakat luas, dan/atau
c. Kepentingan rakyat banyak, dan/atau
d. Kepentingan pembangunan.

Berkaitan dengan poin diatas, menyangkut kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kepentingan umum, maka dalam instruksi presiden ini pula telah ditetapkan bidang pembangunan yang termasuk dalam kategori besifat kepentingan umum sebagi berikut:

a. Pertanahan
b. Pekerjaan umum
c. Perlengkapan umum
d. Jasa umum
e. Keagamaan
f. Ilmu pengetahuan dan seni budaya
g. Kesehatan
h. Olahraga
i. Keselamatan umum terhadap bencana
j. Kesejahteraan social
k. Makam/kuburan
l. Pariwisata dan rekreasi
m. Usaha- usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum.

Suatu hal yang dapat disalut dari adanya instruksi presiden ini menyangkut mengenai penghargaan terhadap pemegang hak atas tanah yang akan dicabut dengan alasan demi kepentingan umum, karena alasan sangat mendesak. Hal ini diatur dalam Pasal 4 instruksi Presiden ini sebagai berikut.

Dengan tetap memperhatikan kepentingan pemegang ha katas tanah yang bersangkutan, maka penguasaan atas tanah dalam keadaan yang sangat mendesak sebagai dimaksud dalam Pasal 6 UU Nomor 20 tahun 1961(LN Tahun 1961 Nomor 288) hanya dapat dilakukan apabila kepentingan umum menghendaki adanya:

a. Penyediaan tanah tersebut diperlukan dalam keadaan sangat mendesak, dimana penundaan pelaksanaannya dapat menimbulkan bencana alam yang mengancam keselamatan umum;
b. Penyediaan tanah tersebut sangat diperlukan dalam suatu kegiatan pembangunan yang oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah maupun masyarakat luas oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah maupun masyarakat luas oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah maupun masyarakat lua pelaksanaannya dianggap tidak dapat ditunda – tunda lagi.

Menelaah ketentuan dalam instruksi presiden di atas, maka pencabutan ha katas tanah dengan alasan dalam keadaan yang sangat mendesak merupakan persyaratan yang sangat berat. Sebab dengan adanya persyaratan mengenai dapat dilakukan dengan alasan menimbulkan bencana alam yang akan mengancam keselamatan umum merupakan persyaratan yang sangat sulit. Begitu pula dengan dalih suatu pembangunan yang tidak dapat ditunda, kalau ditunda akan berdampak sangat luas kepada masyarakat. Ini juga persyaratan yang sangat sulit untuk dibuktikan. Oleh karena itu, kesimpulannya bahwa pelaksanaan pencabutan ha katas tanah merupakan instrument hukumyang sangat melindungi kepentingan pemegang ha katas tanah[1].

[1] Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta,2006..
[2] http://qudchieuj.blogspot.com/

PENCABUTAN HAK ATAS TANAH

Pencabutan hak atas tanah merupakan suatu sarana yang disediakan pemerintah untuk mengambil ha katas warga Negara demi kepentingan umum, yang di dalamnya terdapat kepentingan bersama rakyat , kepentingan bangsa dan Negara, serta kepentingan pembangunan. Dalam Pasal 1 UU Nomor 20 Tahun 1961 dinyatakan bahwa:

Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan menteri yang bersangkutam dapat mencabut hak – hak atas tanah dan benda – benda yang ada di atasnya.

Memperhatikan ketentuan dalam Pasal 1 UU Nomor 20 Tahun 1961 di atas, maka sebelum Presiden mengeluarkan keputusan terhadap tanah yang akan dicabut hak – hak atasnya, terlebih dahulu mesti dilakukan suatu proses permohonan yang diajukan oleh yang berkepentingan. Dalam Pasal 2 UU Nomor 20 tahun 1961 dinyatakan bahwa :

Permintaan untuk melakukan pencabutan hak atas tanah dan/atau benda tersebut, diajukan oleh yang berkepentingan kepada Presiden dengan perantara Menteri Agraria, melalui Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan (ayat (1)). Permintaan tersebut oleh yang berkepentingan disertai dengan :

a) Rencana peruntukannya dan alasan- alasannya, bahwa untuk kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak itu;

b) Keterangan tentang nama yang berhak (jika mungkin) serta letak, luas dan macam hak dari tanah yang akan dicabut haknya serta benda – benda yang bersangkutan ;

c) Rencana penampungan orang – orang yang haknya akan dicabut itu dan kalu ada, juga orang – orang yang menggarap tanah atau menepati rumah yang bersangkutan.


Berkaitan dengan ketentuan Pasal 2 diatas , pihak yang melakukan persiapan pelaksanaan pencabutan ha katas tanah dan benda – benda yang ada di atasnya adalah Kepala Inspeksi Agraria (Badan Pertanahan Nasional Kabupaten/Kota dan Provinsi). Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 3 dinyatakan bahwa:

Setelah menerima permintaan yang dimaksud dalam ayat (1) maka kepala inspeksi agrarian segera:

(a) Meminta kepada kepala daerah yang bersangkutan untuk memberi pertimbangan mengenai permintaan pencabutan hak tersebut khususnya, bahwa untuk kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak itu dan tentang penampungan orang – orang sebagai yang dimaksudkan dalam pasal 2 ayat (2) c;

(b) Meminta kepada Panitia Penaksir tersebut pada Pasal 4 untuk melakukan penaksiran tentang ganti – kerugian mengenai tanah dan/atau benda – benda yang haknya akan dicabut.


Dalam kaitannyanya dengan tugas kepala inspeksi agrarian sebagai pelaksana proses pencabutan ha katas tanah pada tingkat daerah, maka kepala daerah harus menyampaikan pertimbangan kepada kepala inspeksi agrarian untuk disampaikan kepada menteri agrarian (Badan Pertanahan Nasional). Hal ini sesuai ketentuan Pasal 3 ayat (2) dinyatakan bahwa:

Di dalam waktu selama – lamanya tiga bulan sejak diterimanya permintaan kepala inspeksi agrarian, maka;

a) Kepala daerah itu harus sudah menyampaikan pertimbangannya kepada kepala Inspeksi agraria;

b) Panitia penaksir harus sudah menyampaikan taksiran ganti – kerugiannya yang dimaksudkan itu kepada Kepala Inspeksi Agraria,. Setelah Kepala Inspeksi Agraria menerima pertimbangan para kepala daerah dan taksiran ganti – kerugian, maka segera ia menyampaikan permintaan pencabutan kepada hak itu kepada Menteri Agraria, dengan disertai pertimbangan (ayat 3). Jika di dalam waktu tersebut pada ayat (2) pasal ini pertimbangan dan/atau taksiran ganti kerugian belum diterima oleh Kepala Inspeksi Agraria, maka ia segera menyampaikan permintaan untuk melakukan pencabutan hak tersebut diajukan kepada Menteri Agraria, dengan tidak menunggu pertimbangan kepada menteri agraria, dengan tidak menunggu pertimbangan kepala daerah dan/atau taksiran ganti kerugian panitia penaksir.


Beranjak dari ketentuan Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 1961 di atas pencabutan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan cara yang biasa dan dengan cara yang istimewa. Cara biasa diatur dalam Pasal 5 UU Nomor 20 tahun 1961 dinyatakan bahwa:

Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Pasal 6 dan 8 ayat (1), maka penguasaan tanah dan/atau benda – benda yang bersangkutan baru dapat dilakukan setelah ada surat keputusan pencabutan hak dari presiden sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 1 dan setelah dilakukan pembayaran ganti kerugian, yang jumlahnya ditetapkan dalam surat keputusan tersebut serta diselenggarakannya penampungan sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat (2) huruf e.

Dalam kaitannya dengan ketentuan dalam Pasal 5 diatas, dalam penjelasan umum UU Nomor 20 Tahun 1961 dinyatakan bahwa UU ini memuat 2 macam cara pencabutan hak, yaitu cara biasa dan cara untuk keadaan mendesak, yang memerlukan penguasaan tanah dan/atau benda – benda yang bersangkutan dengan segera. Dalam penjelasan UU Nomor 20 tahun 1961 ditentukan prosedur pencabutan dengan biasa dilakukan dengan beberapa proses sebagai berikut.

1) Yang berkepentingan harus mengajukan permintaan untuk melakukan pencabutan hak itu kepada Presiden, dengan perantaraan menteri Agraria, melalui Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan.

2) Oleh Kepala Inspeksi Agraria diusahakan supaya permintaan itu dilengkapi dengan pertimbangan para kepala daerah yang bersangkutan dan taksiran ganti kerugiannya. Taksiran ini dilakukan oleh suatu penaksiran, yang anggota – anggotanya mengangkat sumpah. Di dalamnya pertimbangnya tersebut dimuat pula penempungan orang – orang yang haknya akan dicabut itu. Demikian juga jika ada, soal penampungan orang – orang yang haknya akan dicabut itu. Demikian juga jika ada, soal penampungan orang – orang yang menempati rumah atau penggarap tanah yang bersangkutan, yaitu orang – orang karena pencabutan hak tersebut akan kehilangan tempat tinggal dan/atau sumber nafkahnya.

3) Kemudian permintaan itu bersama dengan pertimbangan Kepala Daerah dan taksiran ganti kerugian tersebut dilanjutkan oleh Kepala Inspeksi Agraria kepada Menteri agraria, disertai pertimbangannya pula.

4) Menteri Agraria mengajukan permintaan tadi kepada Presiden untuk mendapatkan keputusan, disertai dengan pertimbangannya dan pertimbangan Menteri Kehakiman serta menteri yang bersangkutan mengenai fungsi usaha yang meminta dilakukannya pencabutan hak itu dalam masyarakat dan apakah tanah dan/atau benda yang diminta itu benar – benar diperlukan secara mutlak dan tidak dapat diperoleh ditempat lain.

5) Penguasaan tanah dan/atau benda yang bersangkutan baru dapat dilakukan setelah ada surat keputusan pencabutan dari presiden dan setelah dilakukannya pembayaran ganti kerugian yang ditetapakan Presiden serta diselenggarakannya penampungan orang – orang yang dimaksud diatas.

Beranjak dari penjelasan mengenai prosedur pencabutan yang biasa, maka pencabutan dapat dilakukan dengan cara yang tidak normal (biasa), kalau benar – benar pembangunan tersebut tidak dapat dielakan lagi, dan tidak terdapat tanah pengganti. Menyangkut hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 1961 dinyatakan sebagai berikut.

Menyimpang dari ketentuan pasal 3, maka dalam keadaan yang sangat mendesak yang memerlukan penguasaan tanah/atau benda – benda yang bersangkutan dengan segera, atas permintaan yang berkepentongan Kepala Inspeksi Agraria menyampaikan permintaan untuk melakukan pencabutan hak tersebut pada Pasal 2 kepada Menteri Agraria, tanpa disertai taksiran ganti kerugian panitia penaksir dan kalau perlu juga dengan tidak menunggu diterimanya pertyimngan kepala daerah ayat (1). Dalam hal tersebut pada ayat (1) pasal ini, maka Menteri Agraria dapat mengeluarkan surat keputusan yang memberi perkenaaan kepada yang berkepentingan untuk menguasai tanah dan/atau benda – benda yang berkepentingan untuk menguasai tanah dan/atau benda- benda yang bersangkutan. Keputusan penguasaan tersebut akan segera diikuti dengan keputusan presiden mengenai dikabulkannya atau ditolaknya permintaan untuk melakukan pencabutan hak itu (2). Jika telah dilakukan penguasan atas dasar surat keputusan tersebut pada ayat (2) pasal ini, maka bilamana kemudian permintaan pencabutan haknya tidak dikabulkannya, yang berkepentingan harus mengembalikan tanah dan/atau benda – benda yang bersangkutan yang dalam keadaan semula dan/atau memberi ganti kerugian yang sepadan kepada yang mempunyai hak itu.

Berkaitan dengan ketentuan dalam pasal 6 di atas, apabila proses pencabutan telah dilakukan, tetapi pemegang ha katas tanah tetap tidak mau menerima keputusan mengenai besarnya ganti kerugian tersebut, maka penmegang ha kata tanah dapat mengajukan banding ke pengadilan tinggi. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) Keppres Nomor 55 Tahun 1993 yang menyatakan bahwa:

Jika yang berhak atas tanah dan/atau benda – benda yang haknya ditetapkan dalam surat keputusan Presiden tersebut pada pasal 5 dan 6, karena dianggap jumlahnya kurang layak, maka ia dapat minta banding kepada pengadilan tinggi, yang di daerah kekuasaannya meliputi tempat letak tanah dan/atau benda tersebut, agar pengadilan itulah yang memutuskan jumlah ganti kerugiannya. Pengadilan tinggi memutuskan soal tersebut dalam tingkat pertama dan terakhir.

Dengan mengacu pada ketentuan Pasal ketentuan pasal 8 ayat (1) di atas, terdapat gambaran bahwa walaupun surat keputusan presiden telah keluar dan menetapkan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian atas tanah tersebut, maka mereka (pemegang ha katas tanah) dapat mengajukan banding ke pengadilan tinggi. Namun demikian, putusan pengadilan tinggi tersebut merupakan putusan yang terakhir dan final serta tidak dapat lagi diajukan kasasi[1].

[1] Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta,2006.

HAPUSNYA HAK MILIK ATAS TANAH

Hak milik memiliki peran yang sangat penting, karena Hak Milik dapat diwariskan kepada keluarga yang ditinggalkan, sebab Hak Milik dapat diwariskan kepada keluarga yang di timggalkan, sebab Hak Milik tanpa batas waktu. Dalam Pasal 27 UUPA Tahun 1960 dinyatakan bahwa Hak Milik hapus bila:

a) Tanah jatuh kepada Negara;

1. Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 UUPA
2. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pihak pemiliknya
3. Karena ditelantarkan
4. Karena Ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA.

b) Tanahnya musnah.

Mengacu pada ketentuan Pasal 27 di atas, maka hak atas sebidang tanah hapus oleh pencabutan tanah. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 18 UUPA dinyatakan bahwa:

“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak – hak tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang – undang.”

Untuk menindak lanjuti keinginan Pasal 18 UUPA tersebut, pemerintah mengeluarkan UU Nomor 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak – Hak atas Tanah dan Benda – Benda yang ada diatasnya[1].


[1] Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta,2006
[2] http://qudchieuj.blogspot.com/

HAK MILIK ATAS TANAH

Hak milik merupakan hak primer yang paling utama, terkuat dan terpenuh, dibandingkan dengan hak primer lainnya, seperti Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atau hak lain- lainnya. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUPA yang berbunyi sebagi berikut:
“Hak milik adalah turun- temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.”
Demikian pentingnya hak milik atas tanah, pemerintah memberikan perhatian yang sangat serius terhadap persoalan hak milik atas tanah itu. Hal ini dapat terlihat dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 tentang Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah. Namun demikian, pada tahun 1993 pemerintah mengganti Permendagri Nomor 6 Tahun 1972 tersebut dengan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara. Dalam Pasal 3 Permenagraria Nomor 3 Tahun 1993 dinyatakan bahwa: Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya memberi keputusan mengenai:
1. Pemberian hak milik atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 ha (dua hektar);
2. Pemberian hak milik atas tanah nonpertanian yang luasnya tidak lebih dari 2.000 m2 (dua ribu meter persegi), kecuali mengenai tanah bekas Hak Guna Usaha;
3. Pemberian hak milik atas tanah dalam rangka pelaksanaan program:
a. Transmigrasi;
b. Redistribusi tanah;
c. Konsolidasi tanah;
d. Pendaftaran tanah secara massal baik dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik maupun sporadic.
Pemberian hak milik tidak hanya kepada perorangan saja, tetapi juga dapat diberikan kepada badan hukum, yang mana sesuai dengan PP Nomor 38 tahun 1963 tentang Penunjukan Badan – Badan Hukum yang apat mempunyai hak milik atas tanah. Pasal 1 PP Nomor 38 Tahun 1963 menyatakan bahwa : Badan – bdan hukum yang disebut dibawah ini dapat mempunyai hak milik atas tanah, masing – masing dengan pembatasan yang disebutkan pada Pasal 2, 3, dan 4 peraturan ini:
a. Bank – bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut bank Negara);
b. Perkumpulan – perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan UU No.79 Tahun 1958 (LN 1958 No.139);
c. Badan – badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri pertanian/Agraria, setelah mendengar menteri Kesejahteraan Sosial.
d. Badan – badan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.
Sementara itu, untuk keperluan bank – bank pemerintah dapat diberikan penguasaan ha katas tanah dalam bentuk hak milik. Pemberian hak milik tersebut sesuai Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1960, yaitu:
· I.M.A (S 1939-569);
· Indonesia Verenigengen (S 1939-570);
· B.I.N (LN. 1952-21)
· B.T.N (LN. 1955-137)
· B.N.I (LN. 1955-5)
· Badan Perusahaan Produksi Bahan Makanan dan Pembukaan Tanah ( LN. 1959-60)
· Bank Umum Negara (ln 1959-85)
· BDN (ln 1960-39)
· Bank Rakyat Indonesia (LN 1951-180 yo 1960-41)
· Bank Pembangunan Indonesia (LN 1960 – 65)
Untuk badan – badan keagamaan agar mendapat pengakuan secara hukum atas pemilikan atas tanah, maka hal itu akan ditetapkan dengan keputusan oleh Menteri Dalam Negeri, sekarang Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), setelah mendapat rekomendasi dari menteri Agama Penunjukan kepada badan – badan keagamaan tersebut telah diberikan sejak tahun 1969, sebagai berikut:
1. Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat SK Menteri Dalam Negeri Nomor 22/DDA/69;
2. Gereja Roma Katolik berdasarkan Keputusan Direktorat Jendral Agraria dan transmigrasi No.1/DDAT/Agr/67;
3. SK Mendagri No.14/DDA/1972 untuk perserikatan muhammadiyah;
4. SK Mendagri No. 3/DDA/1972 untuk gereja – gereja Protestan di Indonesia dan lain – lain.
Memperhatikan ketentuan mengenai pemilikan ha katas tanah terdapat gambaran bahwa hak milik atas tanah merupakan persoalan yang perlu mendapatkan perlindungan agar pemberian hak kepada perorangan harus dilakukan dengan seleksi yang sangat ketat, agar terjadi pemerataan atas status hak tersebut.
Pemerintah menaruh perhatian yang sangat serius terhadap pemilikan atas tanah tersebut sehingga pemerintah tidak memperkenankan hak milik atas tanah itu beralih kepada orang asing karena perkawinan. Hal ini sesuai dengan surat edaran dari Kepala Direktorat Pendaftaran Tanah tanggal 2 November 1965 Nomor 7850 yang ditujukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah Bukit tinggi, dinyatakan bahwa jika seorang wanita warga Negara Indonesia itu kawin dengan warga Negara asing terjadilah percampuran harta, sehingga berlakulah pasal 21 ayat 3 UUPA, yaitu keharusan melepaskan haknya kepada warga Indonesia dalam tempo 1 tahun, oleh karena tanah itu diperlukan sebagai dimiliki oleh orang asing sebagai akibat tidak dapat lagi dibedakan mana yang bagian warga Negara Indonesia dan orang asing, kecuali dapat dibuktikan bahwa:
· Dia tidak meninggalkan kewarganegaraannya
· Dia telah kawin diluar percampuran harta, dan dapat dibuktikan dengan suatu akta autentik (akta Notaris) tentang adanya syarat – syarat perkawinan tersebut[1].

[1] Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta,2006.

Jumat, 14 November 2014

HAK – HAK PRIMER DAN SEKUNDER ATAS TANAH

Pengertian hak – hak atas tanah primer adalah hak – hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindahkan kepada orang lain atau ahli warisnya. Dalam UUPA terdapat beberapa ha katas tanah yang bersifat primer, yaitu:

a. Hak milik atas tanah (HM)

b. Hak guna usaha (HGU)

c. Hak guna Bangunan (HGB)

d. Hak Pakai (HP)

Selain hak primer atas tanah di atas, terdapat pula hak atas tanah yang bersifat sekunder. Pengertian hak – hak atas tanah yang bersifat sekunder adalah hak – hak atas tanah yang bersifat sementara. Dikatakan bersifat sementara, karena hak – hak tersebut dinikmati dalam waktu terbatas, lagi pula hak – hak itu dimiliki oleh orang lain. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 53 UUPA yang mengatur mengenai hak – hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu ;

a. Hak gadai

b. Hak usaha bagi hasil

c. Hak menumpang

d. Hak menyewa atas tanah pertanian[1].




[1] Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta,2006

HAK BANGSA INDONESIA ATAS TANAH

Berbicara mengenai hak bangsa Indonesia, maka arah dan tujuannya berhubungan erat dengan konsep bangsa dalam arti yang sangat luas. Dalam artian bahwa konsep bangsa merupakan artikulasi dari mengangkat kepentingan bangsa di atas kepentingan perorangan atau golongan. Hal ini berarti bahwa hak bangsa Indonesia atas tanah mempunyai makna bahwa kepentingan perorangan atau golongan. Dalam Pasal 1 ayat (1,2,3) UUPA No.5 Tahun 1960 dinyatakan bahwa:

(1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang telah bersatu sebagai bangsa Indonesia.

(2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alamyang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

(3) Hubungan bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termasuk dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.

Ketentuan dalam pasal 1 ayat (1,2,3) UUPA No.5 Tahun 1960 tersebut sejalan dengan Penjelasan dengan Penjelasan Umum UUPA No.5 Tahun 1960 dinyatakan bahwa:

Bumi air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa Indonesia, jadi tidak semata – mata menjadi hak dari pemiliknya saja. Demikian tanah – tanah di daerah – daerah dan pulau – pulau tidaklah semata –mata menjadi hak rakyat asli dari demikian maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi,air, dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah Negara.

Sejalan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1,2,3) UUPA No.5 Tahun 1960 tersebut diatas, Boedi Harsono mengatakan bahwa[1]:

Hak bangsa Indonesia adalah semacam hak ulayat, berarti dalam konsepsi Hukum Tanah Nasional, hak tersebut merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi. Ini berarti bahwa hak – hak penguasaan atas tanah yang tinggi. Ini berarti bahwa hak – hak penguasaan atas tanah yang lain, termasuk hak Ulayat dan hak – hak perseorangan atas tanah yang dimaksud oleh Penjelasan Umum diatas, secara langsung maupun tidak langsung, semuanya bersumber pada hak Bangsa. Maka dalam hubungan ini, perkataan ‘pula’ dalam kalimat”menjadi hak pula dari bangsa Indonesia”,seharusnya tidak perlu ada. Karena bias menimbulkan kesan, seakan –akan Hak Bangsa adalah sejajar dengan Hak Ulayat dan hak – hak perorangan.

Selain pendapat yang dikemukakan oleh Boedi Harsono mengenai pengertian hak Bangsa Indonesia atas Tanah di atas, Sudargo Gautama menyatakan bahwa:

Selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air serta ruang angkasa Indonesia itu masih ada pula, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut. Dengan demikian biarpun sekarang ini daerah Irian Barat, yang merupakan bagian bari bumi, air, dan ruang angkasa Indonesia berada di bawah kekuasaan penjajah, atas dasar ketentuan pasal ini bagian tersebut menurut hukum tetap merupakan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia juga.

Berdasarkan uraian di atas, Boedi Harsono memberikan uraian mengenai ketentuan – ketentuan pokok yang terkandung dalam hak Menguasai bangsa Indonesia atas tanah sebagi berikut.

a. Sebutan dan Isinya

Hak bangsa adalah sebutan yang diberikan oleh para ilmuwan hukum tanah pada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret dengan bumi,air, dan ruang angkasa Indonesia, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, yang di maksud dalam pasal 1 ayat (1,2,3) UUPA No.5 Tahun 1960. Hak bangsa memiliki dua unsur, yakni unsur kepunyaan dan unsur tugas kewenangan untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah bersama yang dipunyainya.

b. Pemegang haknya

Subjek hak bangsa adalah seluruh rakyat Indonesia sepanjang masa, yaitu generasi – generasi terdahulu,sekarang dan generasi –generasi yang akan datang.

c. Tanah yang Dihaki

Hak bangsa Indonesia meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah Negara Republik Indonesia, maka tidak ada tanah yang merupakan res nullius.

d. Terciptanya Hak Bangsa

Tanah hak bangsa Indonesia sebagai lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum konkret merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Hak bangsa sebagi lembaga hukum tercipta pada saat diciptakannya hubungan hukum konkret dengan tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat Indonesia.

e. Hubungan yang Bersifat Abadi

Hubungan yang bersifat abadi mempunyai makna bahwa hubungan yang akan berlangsung tidak akan putus untuk selama – lamanya[2].




[1] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang – Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 1994.


[2] Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta,2006.

SUMBER HUKUM TANAH INDONESIA

Sumber hukum tanah di Indonesia, yang lebih identic dikenal pada saat ini yaitu status tanah dan riwayat tanah. Status tanah atau riwayat tanah merupakan kronologis masalah kepemilikkan dan penguasaan tanah baik pada masa lampau, masa kini maupun masa yang akan datang. Status tanah atau riwayat tanah, pada saat ini dikenal dengan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) untuk tanah – tanah bekas hak – hak barat dan hak – hak lainnya. Adapun riwayat tanah dari PBB atau surat keterangan riwayat tanah dari kelurahan setempat adalah riwayat yang menjelaskan pencatatan,dan peralihan tanah girik milik adat dan sejenisnya pada masa lampau dan saat ini. Sumber Hukum Tanah Indonesia dapat di kelompokkan dalam[1] 

1. Hukum Tanah Adat, Dibagi 2 Yaitu:
a. Hukum Tanah Adat Masa Lampau
b. Hukum Tanah Adat Masa Kini. 
2. Kebiasaan
3. Tanah – Tanah Swapraja
4. Tanah Partikelir
5. Tanah Negara
6. Tanah Garapan
7. Hukum Tanah Belanda
8. Hukum Tanah Jepang
9. Tanah – Tanahmilik Perusahaan Asing Belanda
10. Tanah – Tanah Milik Perseorangan Warga Belanda
11. Surat Izin Perumahan (SIP) Atau Verhuren Besluit (V.B)
12. Tanah Bondo Deso
13. Tanah Bengkok
14. Tanah Wedi Kengser
15. Tanah Kelenggahan
16. Tanah Pakulen
17. Tanah Res Extra Commercium
18. Tanah Absentee
19. Tanah Oncoran, Dan Tanah Bukan Oncoran.

[1] Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta,2006.

Kamis, 13 November 2014

PENGERTIAN TANAH HUKUM AGRARIA

Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai tanah, yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali. Sedangkan pengertian tanah yang di atur dalam Pasal 4 UUPA dinyatakan sebagai berikut:

Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam – macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang – orang, baik sendiri maupun bersama – sama dengan orang lain serta badan – badan hukum.

Dengan demikian yang dimaksud tanah dalam pasal ini ialah permukaan bumi. Dari pengertian yang demikian akan menimbulkan persoalan hukum. Persoalan hukum yang dimaksud ialah persoalan yang berkaitan dengan dianutnya asas – asas yang berkaitan dengan hubungan antara tanah dengan tanaman dan bangunan yang terdapat diatasnya.

Menurut Boedi Harsono, dalam hukum tanah Negara – Negara dipergunakan apa yang disebut asas accessie atau asas perlekatan. Makna dari asas perlekatan yakni bahwa bangunan – bangunan dan benda –benda/tanaman yang terdapat di atas merupakan satu kesatuan dengan tanah, serta merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Dengan demikian yang termasuk ha katas tanah meliputi juga pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah yang dihaki, kecuali disepakati lain dengan pihak lain (KUH Perdata Pasal 500 dan 571) [1].

A. Asas perlekatan horizontal (Horizontale Accesie Beginsel)

KUH perdata merupakan induk dari ketentuan hukum yang mengatur hubungan secara pribadi atau perdata, di anut asas perlekataan, yaitu asas yang meletakkan suatu benda pada benda pokoknya. Asas perlekatan ini terdiri atas perlekatan horizontal dan perlekatan vertical. Asas perlekatan tersebut di atur dalam perumusan Pasal 500, Pasal 506, Pasal 507 KUH Perdata.

Menurut Soebekti, asas perlekatan dianut oleh KUH Perdata, berdasarkan asas asesi maka benda – benda yang melekat pada benda pokok, secara yuridis harus dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari benda pokoknya.

Berkaitan dengan pendapat yang di kemukakan oleh Soebekti R. di atas Kleyn mengatakan:

Lebih tegas lagi asas asesi dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 506 dan Pasal 507 KUH Perdata, yaitu dalam perumusan benda tidak bergerak dimana disebutkan bahwa perlekatan dari suatu benda bergerak yang tertancap dan terpaku pada benda tidak bergerak, secara yuridis harus dianggap sebagai benda tidak bergerak pula. Perlekatan itu harus sedemikian rupa sehingga apabila keduanya dipisahkan satu sama lain, maka ini akan menimbulkan kerusakan kepada salah satu atau kedua benda itu. Tetapi apabila pemisahan itu tidak menimbulkan kerusakan pada benda – benda itu maka ketentuan tadi tidak berlaku. Pasal 500 KUH Perdata menyebutkan bahwa hubungan antara kedua benda itu harus terpaut sedemikian rupa seperti dahan dengan akarnya.

Di dalam KUH Perdata selain dikenal asas perlekatan yang bersifat horizontal, dikenal pula asas perlekatan yang vertical. Hal ini di atur dalam Pasal 571 KUH Perdata yang menyatakan bahwa hak milik atas sebidang tanah meliputi hak milik atas segala sesuatu yang ada di atasnya dan di dalam tanah itu. Berangkat dari ketentuan Pasal 571, jelaslah bahwa semua benda yang terdapat di atas tanah (tambang) termasuk si pemilik tanah tersebut.

Berkaitan dengan hal ini, Kleyn mengatakan bahwa dalam pertumbuhan milik ada dua pokok, yaitu :

1. Pemilik suatu benda adalah pemilik semua bagian – bagiannya.

2. Superficies solo cedit, artinya tanaman – tanaman dan bangunan dibawahnya dan di atasnya tanah yang secara kekal dan menyatu dengan tanah, kecuali hal hal yang diuraikan kemudian, adalah milik pemilik tanah.



B. Asas Pemisahan Horizontal (Horizontale Scheiding)

Hukum tanah di Indonesia yang di anut oleh UUPA bertumpu pada hukum adat, yang menganut asas pemisahan horizontal (Horizontale Scheiding), dimana ha katas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.

Menurut Djuhaendah Hasan:

Asas perlekatan vertical tidak dikenal di dalam Hukum Adat, karena mengenal asas lainya yaitu asas pemisahan horizontal dimana tanah terlepas dari segala sesuatu yang melekat padanya. Di dalam Hukum Adat, benda terdiri atas benda dan benda bukan tanah, dan yang dimaksud dengan tanah memang hanya tentang tanah saja (demikian pula pengaturan hukum tanah dalam UUPA) sesuatu yang melekat pada tanah dimaksud dalam pengertian benda bukan tanah dan terhadapnya tidak berlaku ketentuan benda tanah.

Pendapat ini, didukung oleh beberapa pendapat sarjana lain, yaitu Ter Haar yang menyatakan bahwa tanah terpisah dari segala sesuatu yang melekat padanya atau pemilikan atas tanah terlepas dari benda yang berada di atas tanah itu sehingga pemilik ha katas tanah dan pemilik atas bangunan yang berada di atasnya dapat berbeda.

Ternyata asas pemisahan horizontal ini hamper semua masyarakat di suatu daerah seluruh Indonesia mengakui keberadaannya, termasuk suku Bugis. Pada umumnya suku Bugis kalu membangun rumah, kebanyakan rumah tinggi atau bertiang. Filosofi yang dapat ditarik dari makna rumah tinggi adalah rumah itu bias dimiliki oleh orang lain dan tanah tersebut juga milik orang lain. Dengan demikian, apabila pemilik tanah akan mempergunakan tanahnya tersebut, pemilik rumah dapat memindahkan rumahnya ke tanah lainnya[2].




[1] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang – Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 1994,hlm.17.


[2] Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta,2006.hlm.4.

PENGERTIAN HUKUM AGRARIA

Dalam bahasa Latin agrarian berasal dari kata ager dan agrarius. Kata ager berarti tanah atau sebidang tanah, sedangkan kata agrarius mempunyai arti sama dengan “perladangan, persawahan, pertanian[1].
Dalam termonologi bahasa Indonesia, agrarian berarti urusan tanah pertanian, perkebunan, sedangkan dalam bahasa inggris kata agrarian diartikan agrarian yang selalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian.

Selain pengertian di atas, pengertian agrarian dapat pula diketemukan dalam Undang – Undang Pokok Agraria yang selanjutnya disebut UUPA. Pengertian agrarian meliputi bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (Pasal 1 ayat (2)). Sementara itu pengertian bumi meliputi permukaan bumi (yang disebut tanah), tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air (Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 4 ayat (1)).

Boedi Harsono memasukan bumi meliputi apa yang dikenal dengan sebutan Landas Kontinen Indonesi (LKI). LKI merupakan dasar laut dan tubuh bumi di bawahnya di luar perairan wilayah Republik Indonesia yang ditetapkan dengan Undang – Undang Nomor 4 Prp 1960 sampai ke dalam 200 meter atau lebih, dimana masih mungkin diselenggarakan eksploitasi dan eksplorasi kekayaan alam. Penguasaan penuh dan hak eksklusif atas kekayaan alam di LKI tersebut pada Negara RI ( Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1973 (LN 1973-1, TLN 2994)[2].

Boedi Harsono juga mengatakan bahwa pengertian air meliputi baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia (Pasal 1 ayat (5)). Dalam Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan ( yang telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air) talah diatur pengertian air yang tidak termasuk dalam arti yang seluas itu. Hal ini meliputi air yang terdapat di dalam dan atau yang berasal dari sumber air, baik yang terdapat di atas maupun di bawah permukaan tanah, tetapi tidak meliputi air yang terdapat di laut (Pasal 1 angka 3)[3].

Berkaitan dengan pengertian tersebut, dalam UUPA diatur pula mengenai pengertian kekayaan alam yang terkandung didalamnya, termasuk di dalamnya bahan galian, mineral biji – bijian dan segala macam batuan, termasuk batu – batuan mulia yang merupakan endapan – endapan alam ( UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan). Untuk pengertian mengenai kekayaan alam yang terkandung di dalam air adalah ikan dan semua kekayaan alam yang terkandung di dalam air adalah ikan dan semua kekayaan yang berada di dalam perairan pedalaman dan laur wilayah Indonesia ( UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Perikanan jo. UU Nomor 31 Tahun 2004). Pada tahun 1983 hak atas kekayaan alam yang terkandung dalam tubuh bumi dan air terwujud dengan keluarnya UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Pengertian ZEE meliputi jalur perairan dengan batas terluar 200 mil lau diukur dari pangkal laut wilayah Indonesia. Dalam ZEE ini diatur hak berdaulat untuk melakukan eksploitasi dan eksplorasi dan lain –lainya atas sumber daya alam hayati dan nonhayati yang terdapat di dasar laut serta tubuh bumi di bawah dan air di atasnya.

Berkaitan dengan pengertian agrarian di atas, tujuan pokok yang ingin dicapai dengan adanya UUPA, yaitu:

1. Meletakkan dasar – dasar bagi penyususnan hukum agrarian nasional yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan Rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.

2. Meletakkan dasar – dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.

3. Meletakkan dasar – dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak – hak atas tanah bagi rakyat keseluran.

Dengan mengacu pada tujuan pokok diadakannya UUPA jelaslah bahwa UUPA merupakan sarana yang akan dipaki untuk mewujudkan cita – cita bangsa dan Negara Indonesia sebagaimana yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD NRI 1945, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdasakan kehidupan bangsa Indonesia.


[1] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang – Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 1994, hlm 4.

[2] Ibid.,hlm 5.

[3] Ibid.

Rabu, 12 November 2014

Legalisasi Perkawinan Beda Agama



Perkawinan merupakan perbuatan hukum yang dianggap sakral oleh kalangan masyarakat. Perkawinan dianggap sakral dengan karena perkawinan merupakan perbuatan keagamaan yang seyogianya dianggap suatu ibadah. Dalam masa kini di masyarakat ada saja yang menyalahi/ menyimpangi pengaturan yang oleh hukum agamanya melarang terjadinya perkawinan beda agama.

Di Negara Indonesia yakni Negara Hukum, mempunyai hukum nasional yang mengatur tentang pengaturan suatu perbuatan hukum yang disebut perkawinan. perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki- laki dengan seorang perempuan yang bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam melakukan perbuatan hukum perkawinan, sangatlah patut untuk memperhatikan pengaturan - pengaturan oleh peraturan perundang - undangan yang mengatur perkawinan yakni Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan. Perkawinan yang sah menurut Pasal 2 ayat (1) UU tentang Perkawinan, yakni perkawinan yang di laksanakan menurut agama dan kepercayaannya. Sedang dalam Pasal (2) nya bahwa perkawinan itu harus dicatatkan untuk memenuhi syarat administratifnya.

Perkawinan beda agama, dalam hal ini tidak memenuhi Pasal 2 (1) yang mana perkawinan itu harus di laksanakan menurut agamanya yang demikian perkawinan beda agama dilarang menurut agama manapun. Yang mana menurut hukum islam tidak sah perkawinan berlainan agama sebagai mana tersebut dalam Alquran Surah Al-baqarah ayat 221. Sedang dari sudut agama Kristen pun dapat dilihat dengan tegas nasihat Al-Kitab mereka dalam Perjanjian Baru (2 Korintus 6:14).

Dengan adanya pengaturan yang demikian masih saja ada yang memaksakan untuk mengajukan legalisasi pada pengadilan untuk menetapkan perkawinan beda agama tersebut sehingga dapat dicatatkan pada Kantor Pencatatan Sipil. Tentu saja sebelumnya ada penolakan oleh Kantor Pencatatan Sipil dengan alasan karena perkawinan yang demikian tidak sesuai dengan Undang - Undang tentang Perkawinan. Penolakan oleh pegawai pencatatan perkawinan itu, dengan alasan terdapat suatu halangan dalam akan dilangsungkannya perkawinan itu. Sebagaimana adanya larangan perkawinan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 8 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan: “Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.”

Pengadilan yang menerima permohonan legalisasi perkawinan, yakni berwenang untuk menetapkan permohonan yang diajukan. Akan tetapi majelis hakim dengan berdasarkan Pasal 8 Undang - Undang tentang Perkawinan, melarang adanya perkawinan beda agama itu. Dalam hal ini hakim dapat mempertimbangkan putusannya dengan berdasarkan pada pasal ini. Yang menyatakan melarang perkawinan berbeda agama, dengan alasan terdapat halangan pada peraturan hukum agama masing – masing pihak. Sehingga penetapan tersebut bukan untuk melegalkan perkawinan beda agama tersebut akan tetapi melarang adanya perkawinan beda agama itu.

Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan



Perkawinan Beda Agama Menurut Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan



Masalah perkawinan bukanlah sekedar masalah pribadi dari mereka yang akan melangsungkan perkawinan itu saja, tetapi ia merupakan salah satu masalah keagamaan yang cukup sensitive dan erat sekali hubungannya dengan kerohanian seseorang. Sebagai suatu masalah keagamaan, hamper setiap agama di dunia ini mempunyai peraturannya sendiri tentang perkawinan sehingga pada prinsipnya diatur dan harus tunduk pada ketentuan – ketentuan ajaran agama yang dianut oleh mereka yang melangsungkan perkawinan[1].
Perkawinan merupakan suatu perbuatan keagamaan, yang menyangkut hubungan antar manusia yang mempunyai tujuan yang jelas untuk hidup bersama dengan bahagia dan kekal, maka perkawinan ini juga dianggap sebagai perbuatan hukum. Dalam melakukan suatu perbuatan hukum, mengingat Negara Indonesia adalah Negara hukum dengan demikian setiap orang yang melakukan perbuatan hukum haruslah taat pada hukum positif nasional dari suatu Negara tersebut.
Indonesia sebagai Negara hukum menetapkan suatu peraturan – peraturan sebagi landasan untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum perkawinan juga mendapatkan perhatian dari Negara Indonesia, yang di atur dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga setiap orang yang hendak melakukan perbuatan hukum perkawinan harus melandasakan pada norma positif nasional yang berlaku yakni Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Perbuatan hukum perkawinan yang dilakukan setiap orang harus didasarkan pada ketentuan hukum masing – masing agama dan kepercayaannya. Sebagaimana yang terdapat pada ketentuan Pasal 1 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dinyatakan:
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.”
Kemudian dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan penjelasannya, Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu, dengan pengertian tidak ada perkawinan di luar hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Dalam hal ini, Indonesia sebagai Negara hukun yang Pancasila sebagai norma tertinggi dalam Negara ini, agama hidup dan berkembang dengan perlindungan Negara. Pemeluk agama juga berhak untuk memilih agama masing – masing mengembangkan agamnya sesuai dengan keyakinan pada agama yang di yakininya itu. Hubungannya dengan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni memuat hukum agama sebagai nilai hukum yang asasi dan fundamental. Sehingga seorang yang melakukan perbuatan hukum perkawinan harus mendasarkan pada agama dan kepercayaan yang di yakininya masing – masing.
Dengan berlakunya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, keabsahan suatu perkawinan didasarkan pada hukum masing – masing agamanya atau kepercayaan agamanya itu. Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Penjelasannya menyatakan: “Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maka perkawinan yang dilangsungkan tidak menurut hukum masing – masing agamanya atau kepercayaanya agamanya itu, dianggap tidak sah. Sebagai konsekuensinya perkawinan yang demikian tidak dapat didaftar dan dicatatkan selanjutnya untuk dibuatkan Akta Perkawinannya oleh Kantor Catatan Sipil atau Akta Nikahnya oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mewajibkan setiap perkawinan untuk dicatatkan menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Ini sesuai dengan Pasal 29 Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, perkawinan harus dilaksanakan menurut agamanya. Maka, dilarang melakukan perkawinan diluar agama, segala sesuatunya tidak boleh menyimpang dari ajaran agama, termasuk dalam tata cara pelaksanaannya. Ini dalam rangka melaksanakan iman, ibadah, dan takwa kita sebagai warga Negara yang beragama[2].
Pada dasarnya setiap hukum agama di Indonesia tidak mengijinkan perkawinan beda agama, yang merupakan perkawinan di luar hukum agama masing masing pihak dari pasangan yang hendak melaksanakan perkawinan tersebut. Dalam kehidupan masyarakat dapat dijumpai pasangan yang tetap menikan dengan pasangannya yang berbeda agama, walaupun itu melanggar hukum agamanya masing – masing pihak.
Dari perkawinan beda agama itu menimbulkan konsekuensi tidak dapat di didaftar dan dicatatkannya perkawinan itu, sehingga tidak terdapat kepastian hukum dalam perkawinan itu. Sedangkan pada Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyatakan:
“Tiap – tiap perkawinan dicatatkan menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku.”
Kemudian dalam angka 4 Penjelasan Umum Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan antara lain dinyatakan bahwa:
“Pencatatan tiap – tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa – peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat – surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.”
Dari ketentuan tersebut, jelaslha bahwa pencatatan perkawinan ini diperlukan untuk membuktikan suatu peristiwa perkawinan telah terjadi.
Perbuatan pencatatan perkawinan, bukanlah menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Pencatatan bersifat administratif, yang menyatakan bahwa peristiwa perkawian itu memang ada dan terjadi. Dengan pencatatan itu perkawinan menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi pihak pihak lainya. Suatu perkawinan yang tidak tercatat dalam akta nikah dianggap tidak ada oleh Negara dan tidak mendapat kepastian hukum.
Dengan adanya ketentuan di atas maka pasang dari perkawinan beda agama ini melakukan pencatatan perkawinannya pada Kantor Urusan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pegawai Pencatatan Perkawinan yang berada pada Kantor Catatan Sipil bagi mereka yang selain agama islam atau instansi/pejabat yang  membantunya. Fungsi lembaga ini hanya mencatat perkawinan yang telah di langsungkan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu.
Berdasarkan pada kewenangan yang dimiliki Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil dapat menolak perkawinan yang yang tidak sesuai dengan hukum agama dan kepercayaannya itu. Dengan demikian pasangan ini disarankan untuk meminta penetapan dari pengadilan untuk mendapatkan ijin untuk melaksanakan perkawinan.
Dalam ketentuan Pasal 21 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur mengenai kewenangan pengadilan untuk mengadili permohonan penolakan pegawai pencatatan perkawinan untuk melangsungkan perkawinan yang menyatakan:
1)      Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan ada larangan menurut undang – undang ini akan menolak melangsungkan perkawinan.
2)      Di dalam hal penolakan, permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan – alasan penolakannya.
3)      Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut di atas.
4)      Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan cara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ini akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan agar supaya perkawinan dilangsungkan.
Penolakan oleh pegawai pencatatan perkawinan itu, dengan alasan terdapat suatu halangan dalam akan dilangsungkannya perkawinan itu. Sebagaimana adanya larangan perkawinan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 8 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan:
“Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.”
Dalam hal ini hakim dapat mempertimbangkan putusannya dengan berdasarkan pada pasal ini. Yang menyatakan melarang perkawinan berbeda agama, dengan alasan terdapat halangan pada peraturan hukum agama masing – masing pihak. Menurut hukum islam tidak sah perkawinan berlainan agama sebagai mana tersebut dalam Alquran Surah Al-baqarah ayat 221. Sedang dari sudut agama Kristen pun dapat dilihat dengan tegas nasihat Al-Kitab mereka dalam Perjanjian Baru (2 Korintus 6:14).
Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, memberikan suatu kehormatan tersendiri terhadap ketentuan hukum perkawinan Islam, Kristen, Katolik , Hindu, Buddha, dan ketentuan hukum perkawinan tersebut merupakan bagian integral dari hukum perkawinan nasional. Karena dapat dikatakan bahwa, Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini merupakan suatu undang – undang unifikasi yang unik, di mana mengakui adanya variasi hukum kepercayaan agamanya masing – masing itu, yang di tegaskan dalam ketentuan angka 3 Penjelasan Umum Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan[3]:
“Undang – undang perkawinan ini telah menampung di dalamnya unsur –unsur dan ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan.”
Dengan demikian yang di unifikasi adalah hukum administatifnya saja, sedangkan materi hukumnya masih tetap berlainnan. Sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan hukum agama dan kepercayaannya itu, yang harus tetap ditaati sehingga tidak terjadi suatu anggapan dapat dilaksanakannya perkawinan beda agama, sedang hukum materi yakni hukum agama dan kepercayaannya itu melarang perkawinan beda agama itu.


[1] Rahmadi Usman, 2006, Aspek- Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,Jakarta, Sinar Grafika.hal 303
[2] Rahmadi Usman, Ibid, hal 305.
[3] Rahmadi Usman, Ibid, hal 313.