Senin, 17 November 2014

PENCABUTAN HAK ATAS TANAH

Pencabutan hak atas tanah merupakan suatu sarana yang disediakan pemerintah untuk mengambil ha katas warga Negara demi kepentingan umum, yang di dalamnya terdapat kepentingan bersama rakyat , kepentingan bangsa dan Negara, serta kepentingan pembangunan. Dalam Pasal 1 UU Nomor 20 Tahun 1961 dinyatakan bahwa:

Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan menteri yang bersangkutam dapat mencabut hak – hak atas tanah dan benda – benda yang ada di atasnya.

Memperhatikan ketentuan dalam Pasal 1 UU Nomor 20 Tahun 1961 di atas, maka sebelum Presiden mengeluarkan keputusan terhadap tanah yang akan dicabut hak – hak atasnya, terlebih dahulu mesti dilakukan suatu proses permohonan yang diajukan oleh yang berkepentingan. Dalam Pasal 2 UU Nomor 20 tahun 1961 dinyatakan bahwa :

Permintaan untuk melakukan pencabutan hak atas tanah dan/atau benda tersebut, diajukan oleh yang berkepentingan kepada Presiden dengan perantara Menteri Agraria, melalui Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan (ayat (1)). Permintaan tersebut oleh yang berkepentingan disertai dengan :

a) Rencana peruntukannya dan alasan- alasannya, bahwa untuk kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak itu;

b) Keterangan tentang nama yang berhak (jika mungkin) serta letak, luas dan macam hak dari tanah yang akan dicabut haknya serta benda – benda yang bersangkutan ;

c) Rencana penampungan orang – orang yang haknya akan dicabut itu dan kalu ada, juga orang – orang yang menggarap tanah atau menepati rumah yang bersangkutan.


Berkaitan dengan ketentuan Pasal 2 diatas , pihak yang melakukan persiapan pelaksanaan pencabutan ha katas tanah dan benda – benda yang ada di atasnya adalah Kepala Inspeksi Agraria (Badan Pertanahan Nasional Kabupaten/Kota dan Provinsi). Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 3 dinyatakan bahwa:

Setelah menerima permintaan yang dimaksud dalam ayat (1) maka kepala inspeksi agrarian segera:

(a) Meminta kepada kepala daerah yang bersangkutan untuk memberi pertimbangan mengenai permintaan pencabutan hak tersebut khususnya, bahwa untuk kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak itu dan tentang penampungan orang – orang sebagai yang dimaksudkan dalam pasal 2 ayat (2) c;

(b) Meminta kepada Panitia Penaksir tersebut pada Pasal 4 untuk melakukan penaksiran tentang ganti – kerugian mengenai tanah dan/atau benda – benda yang haknya akan dicabut.


Dalam kaitannyanya dengan tugas kepala inspeksi agrarian sebagai pelaksana proses pencabutan ha katas tanah pada tingkat daerah, maka kepala daerah harus menyampaikan pertimbangan kepada kepala inspeksi agrarian untuk disampaikan kepada menteri agrarian (Badan Pertanahan Nasional). Hal ini sesuai ketentuan Pasal 3 ayat (2) dinyatakan bahwa:

Di dalam waktu selama – lamanya tiga bulan sejak diterimanya permintaan kepala inspeksi agrarian, maka;

a) Kepala daerah itu harus sudah menyampaikan pertimbangannya kepada kepala Inspeksi agraria;

b) Panitia penaksir harus sudah menyampaikan taksiran ganti – kerugiannya yang dimaksudkan itu kepada Kepala Inspeksi Agraria,. Setelah Kepala Inspeksi Agraria menerima pertimbangan para kepala daerah dan taksiran ganti – kerugian, maka segera ia menyampaikan permintaan pencabutan kepada hak itu kepada Menteri Agraria, dengan disertai pertimbangan (ayat 3). Jika di dalam waktu tersebut pada ayat (2) pasal ini pertimbangan dan/atau taksiran ganti kerugian belum diterima oleh Kepala Inspeksi Agraria, maka ia segera menyampaikan permintaan untuk melakukan pencabutan hak tersebut diajukan kepada Menteri Agraria, dengan tidak menunggu pertimbangan kepada menteri agraria, dengan tidak menunggu pertimbangan kepala daerah dan/atau taksiran ganti kerugian panitia penaksir.


Beranjak dari ketentuan Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 1961 di atas pencabutan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan cara yang biasa dan dengan cara yang istimewa. Cara biasa diatur dalam Pasal 5 UU Nomor 20 tahun 1961 dinyatakan bahwa:

Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Pasal 6 dan 8 ayat (1), maka penguasaan tanah dan/atau benda – benda yang bersangkutan baru dapat dilakukan setelah ada surat keputusan pencabutan hak dari presiden sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 1 dan setelah dilakukan pembayaran ganti kerugian, yang jumlahnya ditetapkan dalam surat keputusan tersebut serta diselenggarakannya penampungan sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat (2) huruf e.

Dalam kaitannya dengan ketentuan dalam Pasal 5 diatas, dalam penjelasan umum UU Nomor 20 Tahun 1961 dinyatakan bahwa UU ini memuat 2 macam cara pencabutan hak, yaitu cara biasa dan cara untuk keadaan mendesak, yang memerlukan penguasaan tanah dan/atau benda – benda yang bersangkutan dengan segera. Dalam penjelasan UU Nomor 20 tahun 1961 ditentukan prosedur pencabutan dengan biasa dilakukan dengan beberapa proses sebagai berikut.

1) Yang berkepentingan harus mengajukan permintaan untuk melakukan pencabutan hak itu kepada Presiden, dengan perantaraan menteri Agraria, melalui Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan.

2) Oleh Kepala Inspeksi Agraria diusahakan supaya permintaan itu dilengkapi dengan pertimbangan para kepala daerah yang bersangkutan dan taksiran ganti kerugiannya. Taksiran ini dilakukan oleh suatu penaksiran, yang anggota – anggotanya mengangkat sumpah. Di dalamnya pertimbangnya tersebut dimuat pula penempungan orang – orang yang haknya akan dicabut itu. Demikian juga jika ada, soal penampungan orang – orang yang haknya akan dicabut itu. Demikian juga jika ada, soal penampungan orang – orang yang menempati rumah atau penggarap tanah yang bersangkutan, yaitu orang – orang karena pencabutan hak tersebut akan kehilangan tempat tinggal dan/atau sumber nafkahnya.

3) Kemudian permintaan itu bersama dengan pertimbangan Kepala Daerah dan taksiran ganti kerugian tersebut dilanjutkan oleh Kepala Inspeksi Agraria kepada Menteri agraria, disertai pertimbangannya pula.

4) Menteri Agraria mengajukan permintaan tadi kepada Presiden untuk mendapatkan keputusan, disertai dengan pertimbangannya dan pertimbangan Menteri Kehakiman serta menteri yang bersangkutan mengenai fungsi usaha yang meminta dilakukannya pencabutan hak itu dalam masyarakat dan apakah tanah dan/atau benda yang diminta itu benar – benar diperlukan secara mutlak dan tidak dapat diperoleh ditempat lain.

5) Penguasaan tanah dan/atau benda yang bersangkutan baru dapat dilakukan setelah ada surat keputusan pencabutan dari presiden dan setelah dilakukannya pembayaran ganti kerugian yang ditetapakan Presiden serta diselenggarakannya penampungan orang – orang yang dimaksud diatas.

Beranjak dari penjelasan mengenai prosedur pencabutan yang biasa, maka pencabutan dapat dilakukan dengan cara yang tidak normal (biasa), kalau benar – benar pembangunan tersebut tidak dapat dielakan lagi, dan tidak terdapat tanah pengganti. Menyangkut hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 1961 dinyatakan sebagai berikut.

Menyimpang dari ketentuan pasal 3, maka dalam keadaan yang sangat mendesak yang memerlukan penguasaan tanah/atau benda – benda yang bersangkutan dengan segera, atas permintaan yang berkepentongan Kepala Inspeksi Agraria menyampaikan permintaan untuk melakukan pencabutan hak tersebut pada Pasal 2 kepada Menteri Agraria, tanpa disertai taksiran ganti kerugian panitia penaksir dan kalau perlu juga dengan tidak menunggu diterimanya pertyimngan kepala daerah ayat (1). Dalam hal tersebut pada ayat (1) pasal ini, maka Menteri Agraria dapat mengeluarkan surat keputusan yang memberi perkenaaan kepada yang berkepentingan untuk menguasai tanah dan/atau benda – benda yang berkepentingan untuk menguasai tanah dan/atau benda- benda yang bersangkutan. Keputusan penguasaan tersebut akan segera diikuti dengan keputusan presiden mengenai dikabulkannya atau ditolaknya permintaan untuk melakukan pencabutan hak itu (2). Jika telah dilakukan penguasan atas dasar surat keputusan tersebut pada ayat (2) pasal ini, maka bilamana kemudian permintaan pencabutan haknya tidak dikabulkannya, yang berkepentingan harus mengembalikan tanah dan/atau benda – benda yang bersangkutan yang dalam keadaan semula dan/atau memberi ganti kerugian yang sepadan kepada yang mempunyai hak itu.

Berkaitan dengan ketentuan dalam pasal 6 di atas, apabila proses pencabutan telah dilakukan, tetapi pemegang ha katas tanah tetap tidak mau menerima keputusan mengenai besarnya ganti kerugian tersebut, maka penmegang ha kata tanah dapat mengajukan banding ke pengadilan tinggi. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) Keppres Nomor 55 Tahun 1993 yang menyatakan bahwa:

Jika yang berhak atas tanah dan/atau benda – benda yang haknya ditetapkan dalam surat keputusan Presiden tersebut pada pasal 5 dan 6, karena dianggap jumlahnya kurang layak, maka ia dapat minta banding kepada pengadilan tinggi, yang di daerah kekuasaannya meliputi tempat letak tanah dan/atau benda tersebut, agar pengadilan itulah yang memutuskan jumlah ganti kerugiannya. Pengadilan tinggi memutuskan soal tersebut dalam tingkat pertama dan terakhir.

Dengan mengacu pada ketentuan Pasal ketentuan pasal 8 ayat (1) di atas, terdapat gambaran bahwa walaupun surat keputusan presiden telah keluar dan menetapkan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian atas tanah tersebut, maka mereka (pemegang ha katas tanah) dapat mengajukan banding ke pengadilan tinggi. Namun demikian, putusan pengadilan tinggi tersebut merupakan putusan yang terakhir dan final serta tidak dapat lagi diajukan kasasi[1].

[1] Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta,2006.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar