Kamis, 13 November 2014

PENGERTIAN TANAH HUKUM AGRARIA

Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai tanah, yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali. Sedangkan pengertian tanah yang di atur dalam Pasal 4 UUPA dinyatakan sebagai berikut:

Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam – macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang – orang, baik sendiri maupun bersama – sama dengan orang lain serta badan – badan hukum.

Dengan demikian yang dimaksud tanah dalam pasal ini ialah permukaan bumi. Dari pengertian yang demikian akan menimbulkan persoalan hukum. Persoalan hukum yang dimaksud ialah persoalan yang berkaitan dengan dianutnya asas – asas yang berkaitan dengan hubungan antara tanah dengan tanaman dan bangunan yang terdapat diatasnya.

Menurut Boedi Harsono, dalam hukum tanah Negara – Negara dipergunakan apa yang disebut asas accessie atau asas perlekatan. Makna dari asas perlekatan yakni bahwa bangunan – bangunan dan benda –benda/tanaman yang terdapat di atas merupakan satu kesatuan dengan tanah, serta merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Dengan demikian yang termasuk ha katas tanah meliputi juga pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah yang dihaki, kecuali disepakati lain dengan pihak lain (KUH Perdata Pasal 500 dan 571) [1].

A. Asas perlekatan horizontal (Horizontale Accesie Beginsel)

KUH perdata merupakan induk dari ketentuan hukum yang mengatur hubungan secara pribadi atau perdata, di anut asas perlekataan, yaitu asas yang meletakkan suatu benda pada benda pokoknya. Asas perlekatan ini terdiri atas perlekatan horizontal dan perlekatan vertical. Asas perlekatan tersebut di atur dalam perumusan Pasal 500, Pasal 506, Pasal 507 KUH Perdata.

Menurut Soebekti, asas perlekatan dianut oleh KUH Perdata, berdasarkan asas asesi maka benda – benda yang melekat pada benda pokok, secara yuridis harus dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari benda pokoknya.

Berkaitan dengan pendapat yang di kemukakan oleh Soebekti R. di atas Kleyn mengatakan:

Lebih tegas lagi asas asesi dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 506 dan Pasal 507 KUH Perdata, yaitu dalam perumusan benda tidak bergerak dimana disebutkan bahwa perlekatan dari suatu benda bergerak yang tertancap dan terpaku pada benda tidak bergerak, secara yuridis harus dianggap sebagai benda tidak bergerak pula. Perlekatan itu harus sedemikian rupa sehingga apabila keduanya dipisahkan satu sama lain, maka ini akan menimbulkan kerusakan kepada salah satu atau kedua benda itu. Tetapi apabila pemisahan itu tidak menimbulkan kerusakan pada benda – benda itu maka ketentuan tadi tidak berlaku. Pasal 500 KUH Perdata menyebutkan bahwa hubungan antara kedua benda itu harus terpaut sedemikian rupa seperti dahan dengan akarnya.

Di dalam KUH Perdata selain dikenal asas perlekatan yang bersifat horizontal, dikenal pula asas perlekatan yang vertical. Hal ini di atur dalam Pasal 571 KUH Perdata yang menyatakan bahwa hak milik atas sebidang tanah meliputi hak milik atas segala sesuatu yang ada di atasnya dan di dalam tanah itu. Berangkat dari ketentuan Pasal 571, jelaslah bahwa semua benda yang terdapat di atas tanah (tambang) termasuk si pemilik tanah tersebut.

Berkaitan dengan hal ini, Kleyn mengatakan bahwa dalam pertumbuhan milik ada dua pokok, yaitu :

1. Pemilik suatu benda adalah pemilik semua bagian – bagiannya.

2. Superficies solo cedit, artinya tanaman – tanaman dan bangunan dibawahnya dan di atasnya tanah yang secara kekal dan menyatu dengan tanah, kecuali hal hal yang diuraikan kemudian, adalah milik pemilik tanah.



B. Asas Pemisahan Horizontal (Horizontale Scheiding)

Hukum tanah di Indonesia yang di anut oleh UUPA bertumpu pada hukum adat, yang menganut asas pemisahan horizontal (Horizontale Scheiding), dimana ha katas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.

Menurut Djuhaendah Hasan:

Asas perlekatan vertical tidak dikenal di dalam Hukum Adat, karena mengenal asas lainya yaitu asas pemisahan horizontal dimana tanah terlepas dari segala sesuatu yang melekat padanya. Di dalam Hukum Adat, benda terdiri atas benda dan benda bukan tanah, dan yang dimaksud dengan tanah memang hanya tentang tanah saja (demikian pula pengaturan hukum tanah dalam UUPA) sesuatu yang melekat pada tanah dimaksud dalam pengertian benda bukan tanah dan terhadapnya tidak berlaku ketentuan benda tanah.

Pendapat ini, didukung oleh beberapa pendapat sarjana lain, yaitu Ter Haar yang menyatakan bahwa tanah terpisah dari segala sesuatu yang melekat padanya atau pemilikan atas tanah terlepas dari benda yang berada di atas tanah itu sehingga pemilik ha katas tanah dan pemilik atas bangunan yang berada di atasnya dapat berbeda.

Ternyata asas pemisahan horizontal ini hamper semua masyarakat di suatu daerah seluruh Indonesia mengakui keberadaannya, termasuk suku Bugis. Pada umumnya suku Bugis kalu membangun rumah, kebanyakan rumah tinggi atau bertiang. Filosofi yang dapat ditarik dari makna rumah tinggi adalah rumah itu bias dimiliki oleh orang lain dan tanah tersebut juga milik orang lain. Dengan demikian, apabila pemilik tanah akan mempergunakan tanahnya tersebut, pemilik rumah dapat memindahkan rumahnya ke tanah lainnya[2].




[1] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang – Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 1994,hlm.17.


[2] Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta,2006.hlm.4.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar