Senin, 17 November 2014

HAK MILIK ATAS TANAH

Hak milik merupakan hak primer yang paling utama, terkuat dan terpenuh, dibandingkan dengan hak primer lainnya, seperti Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atau hak lain- lainnya. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUPA yang berbunyi sebagi berikut:
“Hak milik adalah turun- temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.”
Demikian pentingnya hak milik atas tanah, pemerintah memberikan perhatian yang sangat serius terhadap persoalan hak milik atas tanah itu. Hal ini dapat terlihat dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 tentang Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah. Namun demikian, pada tahun 1993 pemerintah mengganti Permendagri Nomor 6 Tahun 1972 tersebut dengan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara. Dalam Pasal 3 Permenagraria Nomor 3 Tahun 1993 dinyatakan bahwa: Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya memberi keputusan mengenai:
1. Pemberian hak milik atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 ha (dua hektar);
2. Pemberian hak milik atas tanah nonpertanian yang luasnya tidak lebih dari 2.000 m2 (dua ribu meter persegi), kecuali mengenai tanah bekas Hak Guna Usaha;
3. Pemberian hak milik atas tanah dalam rangka pelaksanaan program:
a. Transmigrasi;
b. Redistribusi tanah;
c. Konsolidasi tanah;
d. Pendaftaran tanah secara massal baik dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik maupun sporadic.
Pemberian hak milik tidak hanya kepada perorangan saja, tetapi juga dapat diberikan kepada badan hukum, yang mana sesuai dengan PP Nomor 38 tahun 1963 tentang Penunjukan Badan – Badan Hukum yang apat mempunyai hak milik atas tanah. Pasal 1 PP Nomor 38 Tahun 1963 menyatakan bahwa : Badan – bdan hukum yang disebut dibawah ini dapat mempunyai hak milik atas tanah, masing – masing dengan pembatasan yang disebutkan pada Pasal 2, 3, dan 4 peraturan ini:
a. Bank – bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut bank Negara);
b. Perkumpulan – perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan UU No.79 Tahun 1958 (LN 1958 No.139);
c. Badan – badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri pertanian/Agraria, setelah mendengar menteri Kesejahteraan Sosial.
d. Badan – badan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.
Sementara itu, untuk keperluan bank – bank pemerintah dapat diberikan penguasaan ha katas tanah dalam bentuk hak milik. Pemberian hak milik tersebut sesuai Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1960, yaitu:
· I.M.A (S 1939-569);
· Indonesia Verenigengen (S 1939-570);
· B.I.N (LN. 1952-21)
· B.T.N (LN. 1955-137)
· B.N.I (LN. 1955-5)
· Badan Perusahaan Produksi Bahan Makanan dan Pembukaan Tanah ( LN. 1959-60)
· Bank Umum Negara (ln 1959-85)
· BDN (ln 1960-39)
· Bank Rakyat Indonesia (LN 1951-180 yo 1960-41)
· Bank Pembangunan Indonesia (LN 1960 – 65)
Untuk badan – badan keagamaan agar mendapat pengakuan secara hukum atas pemilikan atas tanah, maka hal itu akan ditetapkan dengan keputusan oleh Menteri Dalam Negeri, sekarang Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), setelah mendapat rekomendasi dari menteri Agama Penunjukan kepada badan – badan keagamaan tersebut telah diberikan sejak tahun 1969, sebagai berikut:
1. Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat SK Menteri Dalam Negeri Nomor 22/DDA/69;
2. Gereja Roma Katolik berdasarkan Keputusan Direktorat Jendral Agraria dan transmigrasi No.1/DDAT/Agr/67;
3. SK Mendagri No.14/DDA/1972 untuk perserikatan muhammadiyah;
4. SK Mendagri No. 3/DDA/1972 untuk gereja – gereja Protestan di Indonesia dan lain – lain.
Memperhatikan ketentuan mengenai pemilikan ha katas tanah terdapat gambaran bahwa hak milik atas tanah merupakan persoalan yang perlu mendapatkan perlindungan agar pemberian hak kepada perorangan harus dilakukan dengan seleksi yang sangat ketat, agar terjadi pemerataan atas status hak tersebut.
Pemerintah menaruh perhatian yang sangat serius terhadap pemilikan atas tanah tersebut sehingga pemerintah tidak memperkenankan hak milik atas tanah itu beralih kepada orang asing karena perkawinan. Hal ini sesuai dengan surat edaran dari Kepala Direktorat Pendaftaran Tanah tanggal 2 November 1965 Nomor 7850 yang ditujukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah Bukit tinggi, dinyatakan bahwa jika seorang wanita warga Negara Indonesia itu kawin dengan warga Negara asing terjadilah percampuran harta, sehingga berlakulah pasal 21 ayat 3 UUPA, yaitu keharusan melepaskan haknya kepada warga Indonesia dalam tempo 1 tahun, oleh karena tanah itu diperlukan sebagai dimiliki oleh orang asing sebagai akibat tidak dapat lagi dibedakan mana yang bagian warga Negara Indonesia dan orang asing, kecuali dapat dibuktikan bahwa:
· Dia tidak meninggalkan kewarganegaraannya
· Dia telah kawin diluar percampuran harta, dan dapat dibuktikan dengan suatu akta autentik (akta Notaris) tentang adanya syarat – syarat perkawinan tersebut[1].

[1] Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta,2006.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar