Rabu, 26 November 2014

Hukum Kekeluargaan dan Waris Adat Desa Tenganan Pagringsingan



I
PENDAHULUAN
A.    1. Latarbelakang
Setiap bangsa atau masyarakat mempunyai kebudayaan masing – masing, yang tentunya setiap bangsa atau masyarakat mempunyai hukum yang berbeda. Kebudayaan yang ada pada masyarakat tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat itu sendiri. Bangsa Indonesia adalah suatu masyarakat yang plural dan heterogen, sehingga kaya akan kebudayaan dari setiap daerahnya. Yang sebagaimana semboyan bangsa Indonesia Bhinneka Tunggal Ika.
Kebiasaan yang mempunyai akibat hukum atau sangsi yang merupakan hukum adat. Hukum Adat adalah hukum yang khas Indonesia atau Melayu Polinesia. Hukum kebiasaan berada dimana – mana di seluruh dunia[1].
Di Indonesia sebagai Negara hukum sebagaimana di dalam konstitusi bangsa Indonesia. Dari pada itu, selain dari Hukum Nasional dalam kehidupan berwarganegara yakni ada hukum adat, hukum agama, kesusilaan , dan kesopanan. Dengan adanya berbagai hukum itu, akan sulit memberlakukan hukum nasional (positif) di Indonesia.
Menurut Griffiths, kondisi kemajemukan hukum terjadi karena tidak semua hukum dan pranata – pranata hukum dapat dapat dikelompokkan ke dalam satu sistem, namun berasal dari “self regulation activities” dari bidang – bidang kehidupan social yang pada dasarnya beragam.
Suatu kenyataan bahwa hukum yang satu dan hukum yang lain saling terkait, berbeda, dan saling tumapng tindih dengan gejala – gejala social lainnya. Dalam proses perkembangannya itu, ada kemungkinan sejumlah asas hukum, norma, pranata, dan lembaga hukum yang lain kehilangan peranan sosialnya sehingga kehilangan daya lakunya[2].
Dalam hal berlakunya hukum adat di Negara Indonesia, mengakui adanya hukum adat yang tumbuh dan berkembang di dalam anggota masyarakatnya. Dalam anggota masyarakat itu hukum adat eksis dan di taati oleh setiap anggota masyarkatnya. Yang berlaku berdasarkan Pasal 18 B ayat (2) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
            Juga mendasarkan pada ketentuan Pasal 28 I ayat (3) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang menyatakan:
“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
            Dalam perkembangannya desa adat juga diatur dalam peraturan perundang – undangan yakni Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
            Sehingga desa adat tenganan pagringsingan, kecamatan manggis, kabupaten karangasem, provinsi bali yang merupakan desa age di provinsi bali, masih menggunakan hukum adat sebagai hukum yang berlaku sebagai pengendalian sosial bagi anggota masyarakat adatnya. Eksistensi dari hukum adat di desa tenganan ini sangat menarik untuk dilakukan penelitian, sebagaimana desa adat ini adalah desa age yang merupakan adat asli Indonesia yang berbeda dengan hukum adat majapahit yang kebanyakan eksis di provinsi bali.

A.    2. Rumusan masalah
Dari latarbelakang yang dikemukakan diatas sehingga timbul untuk menentukan suatu rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana sistem kekerabatan sebagai konsekuensi perkawinan pada hukum adat tenganan pagringsingan yang berlaku dalam anggota masyarakatnya?
2.      Bagaimana sistem kewarisan hukum adat tenganan pagringsingan yang berlaku dalam anggota masyarakatnya?



III
KESIMPULAN
1.      Pada masyarakat desa adat tenganan pagringsingan, penggolongan anggota masyarakat secara horizontal terjadi yang disebut soroh. Sistem perkawinan dari anggota masyarakat adat ini yakni endogami terbatas, artinya perkawinan hanya dalam anggota masyarakat adat tenganan saja, tetapi tidak boleh dengan sepupu atau yang lebih dekat. Seorang dapat melakukan perkawinan apabila telah masuk dalam organisasi adat, untuk laki – laki disebut tarune dan untuk perempuan disebut dahe. Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut ketentuan adat dengan upacara adat.  Dalam desa ini juga dikenal perkawinan megandang atau kawin lari, tetapi dengan perkembangan zaman perkawinan ini tidak dikenal lagi. Adat menetap setelah melakukan perkawinan yakni neolokal, yang suami istri tersebut tinggal pada tempat yang baru.
2.      Sistem pewarisan pada anggota masyarakat adat tenganan yakni parental, dimana hak antara anak laki – laki dengan anak perempuan adalah sama. Untuk rumah yang ditempati orang tuanya yang lebih berhak adalah anak terkecil laki – laki atau perempuan. Untuk warisan yang berupa lahan, cucu laki – laki yang paling berhak memilih warisan itu, untuk pembagian warisan yakni dengan musyawarah yang sesuai dengan asaz kepatutan. Ketika pewaris istri, desa akan mendata ahli warisnya yang disebut dengan nyaputet. Ketika pewaris suami, desa akan mendata ahli warisnya yang disebut dengan mejahen. Pewarisan telah terbuka ketika anak tersebut telah melakukan perkawinan. Tidak dikenal anak angkat sebagai pewaris dalam pewarisan harta peninggalan. Putusnya hubungan pewarisan antara anak dengan orang tuanya, ketika anaknya melakukan perkawinan keluar.
 




[1] Dominikus Rato, 2009, Pengantar Hukum Adat, Yogyakarta:LaksBangPRESSindo, hlm 5.
[2] Riato Adi, 2012, Sosiologi Hukum:Kajian Hukum Secara Sosiologis, Jakarta:Yayasan Pustaka Obor Indonesia, hlm 7.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar