Kamis, 30 Oktober 2014

Pertanggungjawaban Kepala Daerah Pada Era Otonomi Daerah



BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar belakang
Di Indonesia, seiring dengan perkembangan dan perubahan tatanan kehidupan bangsa yang sesuai dengan tuntutan rakyat, telah memunculkan arus perubahan yang bernama reformasi. Reformasi mengharuskan pemerintah melakukan perubahan dan penyesuaian kebijaksanaan, salah satunya kebijaksanaan pada otonomi daerah. Kebijaksanaan itu mengarahkan kepada perkembangan yang berkelanjutan, mewujudkan integritas dan sinergi dalam pelaksanaan pembangunan yang terkonsentrasi dari daerah.
Adapun yang menjadi sumber utama kebijaksanaan umum yang mendasari pembentukan dan penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah adalah pasal 18 Undang – Undang Dasar 1945.
Pada dasarnya Undang -Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan suatu pemecahan permasalahan yang terjadi menyangkut pelaksanaan pemerintahan di daerah. Sejak berlakunya Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1974 , Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 banyak konflik yang terjadi antara DPRD dengan Kepala Daerah, maka jelaslah kondisi seperti ini menunjukkan kekuasaan DPRD menjadi ancaman terhadap kedudukan Kepala Daerah, sehingga Kepala Daerah mudah tunduk pada kemauan DPRD. Berdasarkan pengalaman yang terjadi pada waktu pemberlakuan Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut, maka timbul keinginan untuk merevisi kembali undang-undang tersebut.
Realisasinya yaitu lahirnya Undang -Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu hal yang fundamental dari ketentuan dari Undang -Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah ketentuan untuk melaksanakan pemilihan Kepala Daerah secara demokratis dan langsung yang dilakukan oleh rakyat. Sedangkan sebelumnya Kepala Daerah dipilih oleh DPRD atau pemilihan tidak langsung. Hal demikian tentu akan berdampak pula terhadap pertanggungjawaban Kepala Daerah menurut Undang -Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah diamanahkan bahwa tugas dan kewenangan sebagian urusan pemerintahan diserahkan kepada daerah melalui desentralisasi kewenangan dan dengan memperkuat otonomi daerah. Di era otonomi daerah menuntut adanya keterbukaan, akuntabilitas, ketanggapan, dan kreatifitas dari segenap aparatur Negara, sehingga peran kepemimpinan sangat dibutuhkan.
Pada setiap negara  di dunia penuh kompetisi, sangat diperlukan kemampuan seorang pemimpin dan sumber daya aparatur untuk memberikan tanggapan atau responsive terhadap berbagai tantangan secara akurat, bijaksana, adil dan efektif. Demikian penulis tertarik membuat makalah yang berjudul “
Kepemimpinan Kepala Daerah dalam Otonomi Daerah”.
2.      Dasar Hukum
·         Pasal 18 Undang – Undang Dasar 1945. Yang berbunyi :
1.      Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.** )
2.      Pemerintah daerah provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.**)
3.      Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.** )
4.      Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.**)
5.      Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat.**)
6.      Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.** )
7.      Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.** )
·         Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1974
·         Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999
·         Undang – Undang  Nomor 32 Tahun 2004
·         Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007
3.      Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas dapatlah dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana kepemimpinan pada era otonomi daerah?
2.      Bagaimana pertanggungjawaban Kepala Daerah setelah berlakunya UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kepada Pemerintah?
3.      Bagaimana wujud pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada Rakyatnya?



Analisa Kasus Pengampuan (Curatela) menurut KUH Perdata



Kajian Pustaka
Pengampuan ( curatele)
            Orang yang ditaruh dibawah pengampuan adalah orang dewasa akan tetapi karena beberapa sebab orang tersebut tidak dapat bertindak secara leluasa. Pada prinsipnya pengampuan berbeda dengan perwalian. Pengampuan disebut curatele; Pengampu disebut curator dan Curandus adalah orang berada dibawah pengampuan.
            Didalam undang – undang terdapat beberapa ketentuan yakni:
1.      Setiap keluarga sedarah berhak meminta pengampuan seorang keluarga sedarahnya, berdasar atas keadaannya dungu, sakit otak atau gelap mata, berdasar atas keborosannya, pengampuan hanya boleh diminta oleh para keluarga semendanya dalam garis menyimpang sampai dengan derajat keempat.
Dalam hal yang satu dan yang lain, seorang suami atau istri boleh meminta pengampuan akan istri atau suaminya. “barang siapa karena kelemahan kekuatan akalnya, merasa tak cakap mengurus kepentingan – kepentingan diri sendiri sebaik – baiknya, diperbolehkan meminta pengampuan bagi diri sendiri.” Ketentuan ini diatur di dalam pasal 434 KUH Perdata.
2.      Sedangkan dari alternatif lain dari ketentuan pasal 434 diatur lebih jelas di dalam pasal berikutnya, yakni jika dalam hal adanya keadaan mata gelap, pengampuan tidak diminta oleh mereka yang tersebut dalam pasal yang lalu, maka Jawatan Kejaksaan adalah wajib menuntutnya.
Dalam hal adanya keadaan dungu atau sakit otak, pengampuan boleh ditntut juga oleh Jawatan Kejaksaan akan seorang, yang tidak mempunyai suam atau istri , pun tak mempunyai keluarga sedarah yang dikenal di Indonesia.
3.      Pengangkatan seorang pengampu oleh Pengadilan diberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan sesuai ketentuan pasal 449 yang apabila keputusan untuk pengampuan, telah memperoleh kekuatan mutlak, maka diangkat oleh Pengadilan seorang pengampu. Pengangkatan itu segera diberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan. Pengampuan pengawas diperintahkan kepada Balai. Dalam hal demikian, berakhirlah segala usaha pengurus sementara, yang mana karena itu berwajib mengadakan perhitungan tanggung jawab atas pengurusannya kepada pengampu; sekiranya dia sendirilah yang di angkat menjadi pengampu, maka perhitungan tanggung jawab tadi harus dilakukan kepada pengampu pengawas.
4.      Disamping itu dapat terjadi pengampuan antara suami istri yang secara otentik diatur dalam pasal 351 yang ditegaskan bahwa :”Kecuali alasan – alasan penting menghendaki pengangkatan seorang lain menjadi pengampu, suami atau istri harus diangkat menjadi pengampu bagi istri atau suaminya, dengan tidak mewajibkan kepada si isteri untuk mengenakan sesuatu bantuan atau kuasa apapun juga, guna menerima pengangkatan itu.
5.      Akibat dari pengampuan tersebut secara otentik diatur disetiap orang ditaruh di bawah pengampuan, mempunyai kedudukan yang sama dengan seorang belum dewasa. Jika seorang yang karena keborosannya ditaruh di bawah pengampuan, hendak mengikat diri dalan perkawinan, maka ketentuan – ketentuan pasal 38 dan 151 berlaku terhadapnya. Ketentuan – ketentuan undang – undang mengenai perwalian atas anak – anak belum dewasa tercantum dalam pasal 331 sampai dengan 344, dalam pasal 362, 367, 369, sampai 388, 391 dan berikutnya dalam bagian kesebelas keduabelas ketiga belas-bab kelima belas, berlaku juga terhadap pengampuan.
6.      Menurut undang – undang dapat pula terjadi si terampu telah memiliki anak – anak belum dewasa yang di dalam pasal 453 di tentukan bahwa “jika si terampu mempunyai anak – anak belum dewasa, yang mana ia memangku kekuasaan orang tuanya, sedangkan isteri atau suaminya telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua, atau menurut pasal 246 tidak diperintahkan memangku kekuasaan orang tua atau berada dalam ketakmampuan untuk memangkunya. Sepertipun jika si terampu menjadi wali atas anak – anaknya sekandung, maka si pengampu adalah demi hukum wali atas anak – anak belum dewasa itu, sampai pengampuannya dihentikan, atau sampai isteri atau suaminya karena suatu penetapan berdasarkan pasal 206 dan pasal 230, kiranya mendapat perintah akan perwalian itu, atau berdasarkan pasal 246a memperoleh pengangkatan sebagai wali, atau dipulihkan kiranya dalam kekuatan orang tua atau perwaliannya.
7.      Pengampuan dapat berakhir dengan adanya beberapa sebab sesuai dengan ketentuan pasal 460, bahwa:” pengampuan berakhir, apabila sebab – sebab yang mengakibatkannya telah hilang; sementara itu, pembebasan dari pengampuan tak akan diberikan melainkan dengan memperhatikan acara yang ditentukan oleh undang – undang guna memperoleh pengampuan dan karena itu seorang yang ditaruh dibawah pengampuan tak boleh menikmati kembali hak – haknya sebelum putusan tentang pembebasannya memperoleh kekuatan mutlak[1].


Pengaturan pengampuan dalam KUH Perdata antara lain pada pasal:
433. Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan. (KUHPerd. 456 dst., 460, 462, 895, 1006, 1330.)
434. Setiap keluarga sedarah berhak minta pengampuan keluarga sedarahnya berdasarkan keadaan dungu, gila atau mata gelap. Disebabkan karena pemborosan, pengampuan hanya dapat diminta oleh para keluarga sedarah dalam garis lurus, dan oleh mereka dalam garis samping sampai derajat keempat. Dalam satu dan lain hal, suami atau istri dapat minta pengampuan bagi istrinya atau suaminya. Barangsiapa, karena lemah akal pikirannya, merasa tidak cakap mengurus kepentingan diri sendiri dengan baik, dapat minta pengampuan bagi diri sendiri. (KUHPerd. 114, 290 dst. 445; IR. 229 dsb.)
435. Bila seseorang yang dalam keadaan mata gelap tidak dimintakan pengampuan oleh orang-orang tersebut dalam pasal yang lalu, maka jawatan kejaksaan wajib memintanya. Dalam hal dungu atau gila, pengampuan dapat diminta oleh jawatan kejaksaan bagi seseorang yang tidak mempunyai suami atau istri, juga yang tidak mempunyai keluarga sedarah yang dikenal di Indonesia.
436. Semua permintaan untuk pengampuan harus diajukan kepada pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya tempat berdiam orang yang dimintakan pengampuan. (KUHPerd. 17 dst.)
437. Peristiwa-peristiwa yang menunjukkan keadaan dungu, gila mata gelap atau keborosan, harus dengan jelas disebutkan dalam surat permintaan, dengan bukti-bukti dan penyebutan saksi-saksinya. (KUHPerd. 440, 456 dst., 1909, 1914.)
438. Bila pengadilan negeri berpendapat, bahwa peristiwa-peristiwa itu cukup penting guna mendasarkan suatu pengampuan, maka perlu didengar para keluarga sedarah atau semenda. (KUHPerd. 290, 333 dst., 453; IR. 230.)
439. Pengadilan negeri, setelah mendengar atau memanggil dengan sah orang-orang tersebut dalam pasal yang lalu, harus mendengar pula orang yang dimintakan pengampuan; bila orang ini tidak mampu untuk datang, maka pemeriksaan harus dilangsungkan di rumahnya oleh seorang atau beberapa orang hakim yang diangkat untuk itu, disertai oleh panitera, dan dalam segala hal dihadiri oleh jawatan kejaksaan. (KUHPerd. 445.) Bila rumah orang yang dimintakan pengampuan itu terletak dalam jarak sepuluh pal lebih dari pengadilan negeri, maka pemeriksaan dapat dilimpahkan kepada kepala pemerintahan setempat. Dari pemeriksaan ini, yang tidak usah dihadiri oleh jawatan kejaksaan, harus dibuat berita acara yang salinan otentiknya dikirimkan kepada pengadilan negeri. (KUHPerd. 445, 1023.) Pemeriksaan tidak akan berlangsung sebelum kepada yang dimintakan pengampuan itu diberitahukan isi surat permintaan dan laporan yang memuat pendapat dari anggota-anggota keluarga sedarah. (KUHPerd. 441, 443, 455.)
440. Bila pengadilan negeri, setelah mendengar atau memanggil dengan sah keluarga sedarah atau semenda, dan setelah mendengar pula orang yang dimintakan pengampuan, berpendapat bahwa telah cukup keterangan yang diperoleh, maka pengadilan dapat memberi keputusan tentang surat permintaan itu tanpa tata-cara lebih lanjut; dalam hal yang sebaliknya, pengadilan negeri harus memerintahkan pemeriksaan saksi-saksi agar peristiwa-peristiwa yang dikemukakannya menjadi jelas. (KUHPerd. 437, 445.)
441. Setelah mengadakan pemeriksaan tersebut dalam pasal 439, bila ada alasan, pengadilan negeri dapat mengangkat seorang pengurus sementara untuk mengurus pribadi dan barang-barang orang yang dimintakan pengampuannya. (KUHPerd. 445 dst., 449; IR. 231.)
442. Putusan atas suatu permintaan akan pengampuan harus diucapkan dalam sidang terbuka, setelah mendengar atau memanggil dengan sah semua pihak dan berdasarkan kesimpulan jaksa. (KUHPerd. 445.)
443. Bila dimohonkan banding, maka hakim banding, sekiranya ada alasan, dapat mendengar lagi atau menyuruh mendengar lagi orang yang dimintakan pengampuan. (KUHPerd. 439; IR. 236.)
444. Semua penetapan dan putusan yang memerintahkan pengampuan, dalam waktu yang ditetapkan dalam penetapan atau keputusan itu, harus diberitahukan oleh pihak yang memintakan pengampuan kepada pihak lawannya dan diumumkan dengan menempatkannya dalam berita negara; semuanya atas ancaman hukuman membayar segala biaya, kerugian dan bunga sekiranya ada alasan untuk itu. (Ov. 105; KUHPerd. 445 dst., 461.)
445. Bila pengampuan diminta sehubungan dengan alinea keempat pasal 434, pengadilan negeri mendengar para keluarga sedarah atau keluarga semenda dan, sendiri atau dengan wakilnya, si suami atau si istrinya yang meminta, sekiranya ini berada di Indonesia; juga harus dilakukan ketentuan-ketentuan dalam pasal 439 alinea kesatu dan kedua, 440, 441 dan 442. Dalam hal demikian, jawatan kejaksaan harus menyelenggarakan pengumuman mengenai keputusan dengan cara yang ditentukan dalam pasal 444.
446. Pengampuan mulai berjalan, terhitung sejak putusan atau penetapan diucapkan. Semua tindak perdata yang setelah itu dilakukan oleh orang yang ditempatkan di bawah pengampuan, adalah batal demi hukum. Namun demikian, seseorang yang ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan, tetap berhak membuat surat-surat wasiat. (KUHPerd. 88, 441, 444, 449, 895, 1330, 1446, 1813; Rv. 248-2?.)
447. Semua tindak perdata yang terjadi sebelum perintah pengampuan diucapkan berdasarkan keadaan dungu, gila dan mata gelap, boleh dibatalkan, bila dasar pengampuan ini telah ada pada saat tindakan-tindakan itu dilakukan. (KUHPerd. 61-3?, 88, 1330-2?.)
448. Setelah seseorang meninggal dunia, maka segala tindak perdata yang telah dilakukannya, kecuali pembuatan surat-surat wasiat berdasarkan keadaan dungu, gila dan mata gelap, tidak dapat disanggah, selain bila pengampuan atas dirinya telah diperintahkan atau dimintakan sebelum ia meninggal dunia, kecuali bila bukti-bukti tentang penyakit-penyakit itu tersimpul dari perbuatan yang disanggah itu. (KUHPerd. 446, 895, 1320-1?.)
449. Bila keputusan tentang pengampuan telah mendapatkan kekuatan hukum yang pasti, maka oleh pengadilan negeri diangkat seorang pengampu. Pengangkatan itu segera diberitahukan kepada balai harta peninggalan. Pengampuan pengawas diperintahkan kepada balai harta peninggalan, (KUHPerd. 418.) (s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Dalam hal yang demikian, berakhirlah segala campur tangan pengurus sementara, yang wajib mengadakan perhitungan dan pertanggungjawaban atas pengurusannya kepada pengampu; bila ia sendiri yang diangkat menjadi pengampu, maka perhitungan dan pertanggungjawaban itu harus di harus dilakukan kepada pengampu pengawas. (KUHPerd. 359 dst., 377 dst., 379 dst., 441, 446; Rv. 580-8?; Wak. 60.)
450. Dicabut dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.
451. (s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Kecuali jika alasan-alasan penting menghendaki pengangkatan orang lain menjadi pengampu, suami atau istri harus diangkat menjadi pengampu bagi istri atau suaminya, tanpa mewajibkan si istri mendapatkan persetujuan atau kuasa apa pun juga untuk menerima pengangkatan itu. (KUHPerd. 103, 300, 349, 359, 377 dst., 379-3?, 380, 418.)
452. Orang yang ditempatkan di bawah pengampuan berkedudukan sama dengan anak yang belum dewasa. Bila seseorang yang karena keborosan ditempatkan di bawah pengampuan hendak melangsungkan perkawinan, maka ketentuan-ketentuan pasal 38 dan pasal 151 berlaku terhadapnya. (s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Ketentuan undang-undang tentang perwalian atas anak belum dewasa, yang tercantum dalam pasal 331 sampai dengan 344, pasal-pasal 362, 367, 369 sampai dengan 388, 391 dan berikutnya dalam Bagian 11, 12, dan 13 Bab XV, berlaku juga terhadap pengampuan. (Ov. 23; KUHPerd. 63, 330, 458, 539, 1006, 1046, 1149-7?, 1330 dst., 1446, 1454, 1813; Rv. 336; KUHP. 35, 37, 524.)
453. (s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Bila seseorang yang ditempatkan di bawah pengampuan mempunyai anak-anak belum dewasa serta menjalankan kekuasaan orang tua, sedangkan istri atau suaminya telah dibebaskan atau diberhentikan dari kekuasaan orang tua, atau berdasarkan pasal 246 tidak diperintahkan menjalankan kekuasaan orang tua atau tidak memungkinkan untuk menjalankan kekuasaan orang tua, seperti juga jika orang yang di bawah pengampuan itu menjadi wali atas anak-anaknya yang sah, maka demi hukum pengampu adalah wali atas anak-anak belum dewasa itu sampai pengampuannya dihentikan, atau sampai istri atau suaminya memperoleh perwalian itu karena penetapan yang dimaksudkan dalam pasal 206 dan pasal 230, atau mendapatkan kekuasaan orang tua berdasarkan pasal 246a, atau dipulihkan dalam kekuasaan orang tua atau perwalian. (KUHPerd. 300, 345, 353, 458.)
454. Penghasilan orang yang ditempatkan di bawah pengampuan karena keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus digunakan khusus untuk memperbaiki nasibnya dan memperlancar penyembuhan. (KUHPerd. 388, 391, 451.)
455. Dicabut dg. S. 1897-53.
456. (s.d.u. dg. S. 1897-53.) Terhadap orang-orang yang tidak dapat dibiarkan mengurus diri sendiri atau membahayakan keamanan orang lain karena kelakuannya terlanjur buruk dan terus-menerus buruk, harus dilakukan tindakan seperti diatur dalam Reglemen Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili di Indonesia. (RO. 134; KUHPerd. 455, 457; IR. 234.)
457. Dalam hal adanya kepentingan yang mendesak, para kepala daerah setempat, menjelang pengesahan pengadilan negeri, berkuasa memerintahkan penahanan sementara orang-orang yang dimaksud dalam pasal-pasal yang lalu. Mereka wajib untuk bertindak dengan cermat; dan selambat-lambatnya dalam empat hari atau, dalam hal tempat kedudukan pengadilan negeri yang bersangkutan ada di pulau lain, dengan kapal yang pertama, mereka harus mengirimkan surat-surat tentang penahanan kepada kejaksaan yang berwenang, yang harus menyampaikan lagi surat-surat itu dengan tuntutannya kepada pengadilan negeri segera setelah menerima surat-surat itu. Bila pengadilan negeri tidak menemukan alasan-alasan guna menguatkan penahanan, maka dengan putusan harus diperintahkan supaya orang yang ditahan itu segera dikeluarkan dari tahanan. Putusan ini harus segera dilaksanakan oleh kepala daerah yang bersangkutan segera setelah diterimanya, dan hal itu harus diberitahukan kepada kejaksaan dengan cara seperti yang ditentukan dalam alinea kedua pasal ini. (KUHPerd. 462.)
458. Seorang anak belum dewasa yang ada di bawah pengampuan tidak dapat melakukan perkawinan, pula tidak dapat mengadakan perjanjian-perjanjian, selain dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan pada pasal 38 dan pasal 151. (KUHPerd. 453.)
459. Tidak seorang pun, kecuali suami-istri dan keluarga sedarah dalam garis ke atas atau ke bawah, wajib menjalankan suatu pengampuan lebih dari delapan tahun lamanya; setelah waktu itu lewat, pengampu boleh minta dibebaskan dan permintaan ini harus dikabulkan. (KUHPerd. 290 dst., 376 dst.)
460. Pengampuan berakhir bila sebab-sebab yang mengakibatkannya telah hilang; tetapi pembebasan dari pengampuan ini tidak akan diberikan, selain dengan memperhatikan tata cara yang ditentukan oleh undang-undang guna memperoleh pengampuan, dan karena itu orang yang ditempatkan di bawah pengampuan tidak boleh menikmati kembali hak-haknya sebelum keputusan tentang pembebasan pengampuan itu memperoleh kekuatan hukum yang pasti. (KUHPerd. 88, 433 dst., IR. 232.)
461. Pembebasan diri pengampuan harus diumumkan dengan cara yang diatur dalam pasal 444.
462. Seorang anak belum dewasa yang berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, tidak boleh ditempatkan di bawah pengampuan, tetapi tetap berada di bawah pengawasan ayahnya, ibunya atau walinya. (KUHPerd. 299, 330, 383, 433.) Alinea kedua dan ketiga dicabut berdasarkan S. 1897-53.


Perlakuan Pajak Terhadap Bentuk Usaha Tetap di Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Indonesia sebagai Negara hukum tentunya mempunyai pengaturan terhadap perlakuan pajak di Indonesia. Demikian sebagaimana yang di atur pada Undang – Undang Dasar 1945, pasal 23 A yang berbunyi “ pajak dan pungutan lainyang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang – undang”. Kemudian di atur lebih konkret dengan disahkannya Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. Dan pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Pemungutan pajak sebagaimana fungsinya antara lain adalah budgetary, yaitu menghimpun penerimaan negara dari masyarakat sebagai dana pembiayaan fungsi pembangunan. Sistem atau prinsip perpajakan yang dianut oleh suatu negara akan dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain oleh falsafah bangsa yang bersangkutan dan kebijakan-kebijakan tertentu yang berhubungan dengan pemberian dorongan investasi kepada sektor-sektor tertentu.
Bentuk usaha tetap dalam sistem perpajakan Indonesia menempati suatu kedudukan yang khusus karena di samping pemajakan atas bentuk usaha tetap tersebut agak berbeda dibandingkan dengan pemajakan atas wajib pajak pada umumnya, juga dalam kaitannya dengan perjanjian perpajakan (tax treaty), ada tidaknya suatu bentuk usaha tetap sangat menentukan dapat atau tidaknya suatu negara sumber mengenakan pajak atas laba usaha yang diperoleh suatu perusahaan yang berkedudukan di luar negeri.
Kedudukan bentuk usaha tetap (permanent establishment) dalam sistem perpajakan Indonesia mempunyai kedudukan yang sangat unik. Pada saat Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1984, bentuk usaha tetap dikelompokkan sebagai subjek pajak badan dalam negeri. Keadaan ini sangat berbeda dengan yang berlaku di banyak negara, di mana bentuk usaha tetap diperlakukan sebagai subjek pajak luar negeri. Dalam perkembangannya kemudian, menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 sebagai Undang-Undang Perubahan dari Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984, bentuk usaha tetap tidak lagi dikelompokkan sebagai subjek pajak badan dalam negeri, tetapi dikelompokkan sebagai subjek pajak yang berdiri sendiri dan dianggap sebagai subjek pajak luar negeri. Namun demikian, kewajiban-kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak dalam negeri. Keadaan ini masih tetap tidak berubah setelah adanya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 sebagai undang-undang perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan yang terbaru.
Pengaturan terhadap pemungutan pajak ini sangatlah penting. Selain menciptakan adanya kepastian hukum yang lebih nyata, dengan demikian ini akan berfungsi sebagai salah satu pendorong masuknya investasi asing. Dengan kata lain, suatu pengaturan pajak yang baik membantu menciptakan iklim investasi yang favorable. Ini akan menguntung Indonesia sebagai pasar investasi yang sangat strategis, akan meningkatkan perolehan keuangan Negara yang bersumber dari perpajakan.

2.      Dasar Hukum
·         Undang – Undang Dasar 1945, pasal 23 A yang berbunyi “ pajak dan pungutan lainyang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang – undang”.
·         Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.
·         Ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
·         Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 602/KMK.04/1994 tanggal 21 Desember 1994 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Bentuk Usaha Tetap Yang Ditanamkan Kembali di Indonesia juncto Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/Pj.4/1995 tanggal 8 Februari 1995 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap yang Ditanamkan kembali di Indonesia;
·         Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 113/KMK.03/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap. (Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 113/KMK.03/2002 tanggal 28 Maret 2002 menggantikan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 602/KMK.04/1994 tanggal 21 Desember 1994);
·         Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 624/KMK.04/1994 tanggal 17 Desember 1994 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan berupa Premi Asuransi yang Dibayar Kepada Perusahaan di Luar Negeri;
·         Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 634/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia;
·         Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 417/KMK.04/1996 tanggal 14 Juni 1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri.

3.      Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas dapatlah dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana perlakuan perpajakan terhadap bentuk usaha tetap sebagai wajib pajak penghasilan?
2.      Bagaimana perlakuan perpajakan terhadap wajib pajak luar negeri yang melakukan kegiatan atau usaha melalui bentuk usaha tetap?
3.      Bagaimana perlakuan perpajakan terhadap wajib pajak luar negeri yang melakukan kegiatan atau usaha yang tidak memenuhi syarat sebagai bentuk usaha tetap?



Mengenai Perseroan Terbatas

PERSEROAN TERBATAS
Perseroan Terbatas yang didirikan tidak boleh menggunakan nama yang telah dipakai dan atau mirip secara sah oleh perseroan yang lain serta bertentangan dengan ketertiban umum, dan atau kesusilaan. Tahap selanjutnya untuk memperoleh status badan hukum, para pendiri Perseroan harus mengajukan permohonan kepada Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia yang kemudian akan disahkan oleh Menteri. Akta pendirian Perseroan yang telah disahkan sebagi badan hukum, wajib diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia[10].
Alat kelengkapan Perseroan yakni Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris yang selanjutnya pada UU Nomor 40 tahun 2007 disebut sebagai Organ perseroan. Sebelum berlakunya UU Nomor 40 tahun 2007 dari alat kelengkapan Perseroan tersebut Rapat Umum Pemegang Saham adalah pemegang kuasa yang tertinggi, dan setelah berlakunya UU Nomor 40 tahun 2007 Alat kelengkapan Perseroan yang selanjutnya di sebut Organ Persero mempunyai kedudukan yang sama satu sama lain.
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar[11].
Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi[12].
Perseroan Terbuka adalah Perseroan Publik atau Perseroan yang melakukan penawaran umum saham, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Perseroan Publik adalah Perseroan yang memenuhi kriteria jumlah pemegang saham dan modal disetor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal[13].
Dalam Perseroan Terbatas juga dikenal penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahaan. Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum. Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut. Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perseroan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada dua Perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada satu Perseroan atau lebih[14].
Macam subjek hukum , yaitu subjek hukum pribadi (orang-perorangan). Dan subjek hukum berupa badan hukum, Terhadap masing-masing subjek hukum tersebut berlaku ketentuan hukum yang berbeda satu sama lainnya, meskipun dalam hal – hal tertentu terhadap keduanya dapat diterapkan suatu aturan yang berlaku umum. Salah satu ciri khas yang membedakan subjek hukum pribadi dengan subjek hukum berupa badan bukum adalah saat lahirnya subjek hukum tersebut, yang pada akhirnya akan menentukan saat lahirnya hak-hak dan kewajiban bagi masing – masing subjek hukum tersebut. Pada subjek hukum pribadi, status subjek hukum dianggap telah ada bahkan pada saat pribadi orang perorangan tersebut berada dalam kandungan (Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang- Undang Hukum Perdata). Sedangkan pada badan hukum, keberadaan status badan hukumnya baru diperoleh setelah ia memperoleh pengesahan dari pejabat yang berwenang, yang memberikan hak – hak, kewajiban dan harta kekayaan sendiri bagi badan hukum tersebut, terlepas dari hak –hak, kewajiban dan harta kekayaan para pendiri, pemegang saham, maupun para pengurusnya.
Dalam kitab Undang – Undang Hukum Dagang tidak satu pasal pun yang menyatakan perseroan sebagai badan hukum, tetapi dalam Undang – Undang Perseroan Terbatas secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1 ( butir 1) bahwa Perseroan adalah badan hukum, ini berarti perseroan tersebut memenuhi syarat keilmuan sebagai pendukung kewajiban dan hak, antara lain memiliki harta kekayaan sendiri terpisah dari harta kekayaan pendiri atau pengurusnya.
Dalam Pasal 2 Undang -Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, mengatakan :
“Perseoran harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang – undangan, ketertiban umum, dan atau kesusilaan.”
Berdasarkan ketentuan ini, setiap Perseroan harus mempunyai “maksud dan tujuan” serta kegiatan usaha” yang jelas dan tegas dalam pengkajian hukum, disebut “klausul objek” Perseroan yang tidak mencantumkan dengan jelas dan tegas apa maksud dan tujuan serta kegiatan usahanya, dianggap “ cacat hukum” (legal defect), sehingga keberadaannya “tidak valid” (invalidate). Pencantuman maksud dan tujuan serta kegiatan usaha dalam Anggaran Dasar, dilakukan bersamaan pada saat pembuatan akta pendirian. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang – undang Nomor 40 Tahun 2007 yang menggariskan, Akta Pendirian memuat Anggaran Dasar dan keterangan lain yang berhubungan dengan perseroan, jadi, penempatan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha dalam Anggaran Dasar, bersifat “imperative” (dwingendrecht, mandatory rule). Lebih lanjut sifat imperaktif tersebut, dikemukakan pada pasal 9 ayat1 huruf c. yang menyatakan, untuk memperoleh Keputusan Menteri mengenai “Pengesahan” badan hukum Perseroan
Dengan diberlakukannya UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, maka setiap Pemegang Saham mempunyai hak satu suara, kecuali anggaran dasar menentukan lain. Pemegang saham mempunyai hak suara sesuai dengan jumlah saham yang dimiliki. ( one share one vote ). Ini berdasarkan Pasal 84 ayat 1 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sehingga dapat disimpulkan bahwa UU PT ini tidak membatasi kekuatan Pemegang saham dalam jumlah yang besar dalam perolehan hak suara yang didapat. Seperti yang tercantum dalam Pasal 54 KUHD. Dan dari sini bagaimana dengan Pemegang Saham Minoritas yang mempunyai saham yang lebih sedikit?
1.         Pasal 61 tentang Pengajuan Gugatan oleh Pemegang Saham.
(1)       Setiap Pemegang Saham berhak mengajukan gugatan terhadap Perseroan Ke Pengadilan Negeri apabila dirugikan karena tindakan Perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat Keputusan RUPS, Direksi, dan atau Dewan Komisaris.
(2)       Gugatan sebagaimana maksud ayat 1 diajukan ke Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan.
Berdasarkan Ketentuan diatas, maka UU No. 40 Tahun 2007 memberikan perlindungan kepada para Pemegang Saham, jika merasa dirugikan, khususnya Pemegang Saham minoritas.
2.         Pasal 62 tentang Pembelian saham
(1)       Setiap pemegang saham berhak meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan perseroan yang merugikan pemegang saham, berupa :
a.         perubahan anggaran dasar
b.         pengalihan atau penjaminan kekayaan Perseroan yang mempunyai nilai lebih dari 50 % (lima puluh persen) kekayaan bersih Perseroan; atau
c.         Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan. (2) Dalam hal saham yang diminta untuk dibeli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi batas ketentuan pembelian kembali saham oleh Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, Perseroan wajib mengusahakan agar sisa saham dibeli oleh pihak ketiga.
Berdasarkan Pasal diatas dapat diketahui bahwa Pemegang saham minoritas dapat menjual saham kepada Persero jika Pemegang saham merasa Perseroan mengambil tindakan yang merugikan.
3.         Pasal 126
(1)        Perbuatan hukum Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan wajib memperhatikan kepentingan:
a.         Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan;
b.         kreditur dan mitra usaha lainnya dari Perseroan
c.         masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.
(2)        Pemegang saham yang tidak setuju terhadap keputusan RUPS mengenai Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya boleh menggunakan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62.
(3)        Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghentikan proses pelaksanaan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan.
Maka Hak Pemegang Saham harus diperhaikan ketika terjadinya penggabungan, pengambilalihan, pemisahan Perseroan. Jika pemegang saham minoritas tidak menyetujui hasil dari RUPS tersebut, pemegang saham dapat mengajukan gugaan ke Pengadilan Negeri.
4.         Pasal 138
(1)        Pemeriksaan terhadap Perseroan dapat dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan dalam hal terdapat dugaan bahwa:
a.         Perseroan melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang saham atau pihak ketiga; atau
b.         anggota Direksi atau Dewan Komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan Perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga.
(2)       Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengajukan permohonan secara tertulis beserta alasannya ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan.
(3)        Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan oleh :
a.         1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara
b.         pihak lain yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, anggaran dasar Perseroan atau perjanjian dengan Perseroan diberi wewenang untuk mengajukan permohonan pemeriksaan;
c.         kejaksaan untuk kepentingan umum.
(4)        Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diajukan setelah pemohon terlebih dahulu meminta data atau keterangan kepada Perseroan dalam RUPS dan Perseroan tidak memberikan data atau keterangan tersebut.
(5)        Permohonan untuk mendapatkan data atau keterangan tentang Perseroan atau
permohonan pemeriksaan untuk mendapatkan data atau keterangan tersebut harus didasarkan atas alasan yang wajar dan itikad baik.
(6)        Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) huruf a, dan ayat (4) tidak menutup kemungkinan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal menentukan lain.
Harus dilakukannya pemeriksaan terhadap Perseroan apakah terjadi perbuatan melawan hukun yang nantinya akn diselesaikan di pengadilan negeri dan juga harus adanya keterangan tentang Perseroan dalam RUPS.
Perbedaaan – perbedaan yang terdapat antara koperasi dan perseroan terbatas yang sama –sama  berkedudukan sebagai  Badan Hukum[15] :
a)      Pada perkumpulan koperasi, yang di kemukakan ialah pribadi wajar ( natuurlijk person), jadi bukannya persero hukum atau badan hukum, sedang pada perseroan terbatas yang terpenting ialah modalnya. Persero di belakangkan pada perseroan terbatas. Sebaliknya masalah modal yang diutamakan.
b)      Pada perkumpulan koperasi, anggota anggota dapat masuk dan keluar dengan bebas; pada perseroan terbatas tidak bebas.
c)      Berhubung dengan yang diuraikan pada sub 2, modal perkumpulan koperasi tidak tetap (modal berubah dengan jumlah anggota anggota). Pada perseroan terbatas modal tetap.
d)     Pada koperasi ada kemungkinan, anggota anggotanya bertanggung jawab lebih dari jumlah bagiannya dalam koperasi.