Kamis, 30 Oktober 2014

Perlakuan Pajak Terhadap Bentuk Usaha Tetap di Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Indonesia sebagai Negara hukum tentunya mempunyai pengaturan terhadap perlakuan pajak di Indonesia. Demikian sebagaimana yang di atur pada Undang – Undang Dasar 1945, pasal 23 A yang berbunyi “ pajak dan pungutan lainyang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang – undang”. Kemudian di atur lebih konkret dengan disahkannya Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. Dan pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Pemungutan pajak sebagaimana fungsinya antara lain adalah budgetary, yaitu menghimpun penerimaan negara dari masyarakat sebagai dana pembiayaan fungsi pembangunan. Sistem atau prinsip perpajakan yang dianut oleh suatu negara akan dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain oleh falsafah bangsa yang bersangkutan dan kebijakan-kebijakan tertentu yang berhubungan dengan pemberian dorongan investasi kepada sektor-sektor tertentu.
Bentuk usaha tetap dalam sistem perpajakan Indonesia menempati suatu kedudukan yang khusus karena di samping pemajakan atas bentuk usaha tetap tersebut agak berbeda dibandingkan dengan pemajakan atas wajib pajak pada umumnya, juga dalam kaitannya dengan perjanjian perpajakan (tax treaty), ada tidaknya suatu bentuk usaha tetap sangat menentukan dapat atau tidaknya suatu negara sumber mengenakan pajak atas laba usaha yang diperoleh suatu perusahaan yang berkedudukan di luar negeri.
Kedudukan bentuk usaha tetap (permanent establishment) dalam sistem perpajakan Indonesia mempunyai kedudukan yang sangat unik. Pada saat Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1984, bentuk usaha tetap dikelompokkan sebagai subjek pajak badan dalam negeri. Keadaan ini sangat berbeda dengan yang berlaku di banyak negara, di mana bentuk usaha tetap diperlakukan sebagai subjek pajak luar negeri. Dalam perkembangannya kemudian, menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 sebagai Undang-Undang Perubahan dari Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984, bentuk usaha tetap tidak lagi dikelompokkan sebagai subjek pajak badan dalam negeri, tetapi dikelompokkan sebagai subjek pajak yang berdiri sendiri dan dianggap sebagai subjek pajak luar negeri. Namun demikian, kewajiban-kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak dalam negeri. Keadaan ini masih tetap tidak berubah setelah adanya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 sebagai undang-undang perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan yang terbaru.
Pengaturan terhadap pemungutan pajak ini sangatlah penting. Selain menciptakan adanya kepastian hukum yang lebih nyata, dengan demikian ini akan berfungsi sebagai salah satu pendorong masuknya investasi asing. Dengan kata lain, suatu pengaturan pajak yang baik membantu menciptakan iklim investasi yang favorable. Ini akan menguntung Indonesia sebagai pasar investasi yang sangat strategis, akan meningkatkan perolehan keuangan Negara yang bersumber dari perpajakan.

2.      Dasar Hukum
·         Undang – Undang Dasar 1945, pasal 23 A yang berbunyi “ pajak dan pungutan lainyang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang – undang”.
·         Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.
·         Ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
·         Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 602/KMK.04/1994 tanggal 21 Desember 1994 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Bentuk Usaha Tetap Yang Ditanamkan Kembali di Indonesia juncto Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/Pj.4/1995 tanggal 8 Februari 1995 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap yang Ditanamkan kembali di Indonesia;
·         Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 113/KMK.03/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap. (Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 113/KMK.03/2002 tanggal 28 Maret 2002 menggantikan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 602/KMK.04/1994 tanggal 21 Desember 1994);
·         Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 624/KMK.04/1994 tanggal 17 Desember 1994 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan berupa Premi Asuransi yang Dibayar Kepada Perusahaan di Luar Negeri;
·         Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 634/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia;
·         Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 417/KMK.04/1996 tanggal 14 Juni 1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri.

3.      Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas dapatlah dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana perlakuan perpajakan terhadap bentuk usaha tetap sebagai wajib pajak penghasilan?
2.      Bagaimana perlakuan perpajakan terhadap wajib pajak luar negeri yang melakukan kegiatan atau usaha melalui bentuk usaha tetap?
3.      Bagaimana perlakuan perpajakan terhadap wajib pajak luar negeri yang melakukan kegiatan atau usaha yang tidak memenuhi syarat sebagai bentuk usaha tetap?





 
BAB II
PEMBAHASAN
1.      Bentuk usaha tetap sebagai wajib pajak penghasilan di Indonesia.
Penentuan subjek pajak sangat penting dalam sistem pemungutan Pajak Penghasilan karena subjek pajak adalah pihak yang dituju untuk membayar Pajak Penghasilan. Apabila subjek pajak menerima atau memperoleh penghasilan sebagai objek pajak, maka subjek pajak tersebut menjadi wajib pajak dan wajib untuk membayar Pajak Penghasilan. Namun, apabila tidak termasuk subjek pajak, maka tidak mempunyai kewajiban membayar pajak penghasilan meskipun menerima atau memperoleh penghasilan yang menjadi objek pajak[1].
Pemerintah Indonesia mempunyai kewenangan untuk memungut pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh setiap orang dan/atau badan yang berdomisili di Indonesia, dan memungut pajak atas penghasilan yang bersumber dari wilayah Indonesia yang diterima oleh siapapun sebagaimana dalam Undang – Undang Dasar 1945,pasal 23 A.
Berdasarkan kewenangan untuk memungut pajak tersebut, menurut Pasal 2 ayat (2) Undang- Undang Pajak Penghasilan, subjek pajak menjadi dua yaitu:
1.      Subjek Pajak Dalam Negeri.
Menurut Pasal 2 ayat (3) Undang- Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang termasuk subjek pajak dalam negeri adalah :
a.       Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia
b.      Orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan
c.       Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia
d.      Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
e.       Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia

2.      Subjek Pajak Luar Negeri
Menurut Pasal 2 ayat (3) Undang- Undang Pajak Penghasilan, yang termasuk dalam subjek pajak luar negeri adalah:
a.       Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
b.      Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia;
yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dengan cara menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, atau menerima/memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Kriteria Badan Usaha Tetap (BUT) sesuai Undang- Undang Pajak Penghasilan hanya berlaku apabila antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah dari subjek pajak luar negeri tidak mengadakan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B/Tax Treaty). Apabila antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah dari subjek pajak luar negeri tersebut telah mengadakan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B/Tax Treaty), maka kriteria BUT (permanent establishment) harus mengacu kepada bunyi P3B/Tax Treaty yang bersangkutan. P3B atau Tax Treaty merupakan perjanjian tertulis antara 2 pemerintah atau negara untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak pemajakan dan sekaligus menghilangkan pengenaan pajak dua kali/berganda.
Menurut Pasal 3 Undang- Undang Pajak Penghasilan, orang yang tidak termasuk subjek pajak adalah:
1.      Badan perwakilan negara asing;
2.      Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan mereka yang bekerja dan bertempat tinggal bersama-sama, dengan syarat : bukan warga negara Indonesia, tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut dan negara yang bersangkutan memberikan perlakuan yang timbal balik.
3.      Organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan (Kepmenkeu No.574 Tahun 2000), dengan syarat : Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
4.      Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan (Kepmenkeu No.574 Tahun 2000), dengan syarat : bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Di samping itu menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PPh terdapat unit Pemerintah Indonesia yang tidak termasuk sebagai subjek pajak adalah:
1.        Dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2.        Dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD;
3.        Penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran pemerintah pusat atau daerah;
4.        Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
Terdapat perubahan yang fundamental dalam pengelompokan bentuk usaha tetap sebagai subjek pajak, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (sebagai perubahan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000). Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983, bentuk usaha tetap dikelompokkan sebagai subjek badan dan sebagai subjek pajak dalam negeri. Akan tetapi, dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, begitu juga dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, bentuk usaha tetap dikelompokkan sebagai subjek pajak yang berdiri sendiri, dan dianggap sebagai subjek pajak luar negeri[2].
Definisi, sebenarnya tidak tepat apabila bentuk usaha tetap dikategorikan sebagai subjek pajak. Dilihat dari pengertian subjek pajak yang umum, yang merupakan subjek pajak biasanya adalah orang, yang dapat berupa orang pribadi atau badan (misalnya PT, CV, Firma, kongsi, koperasi, dan perkumpulan). Sebaliknya, bentuk usaha tetap pada umumnya berupa aset, misalnya pabrik, gedung, kantor, bengkel, perkebunan dan sebagainya, atau yang melakukan pemberian jasa tersebut, bukan pabrik, gedung, kantor, bengkel, perkebunan atau pemberian jasa lainnya. Alasan menjadikan bentuk usaha tetap sebagai subjek pajak adalah untuk menggantikan subjek pajak luar negeri yang mempunyai bentuk usaha tetap tersebut agar memudahkan pemungutan pajak terhadap subjek pajak luar negeri yang bersangkutan. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa bentuk usaha tetap adalah subjek pajak substitusi atau kadang kala disebut sebagai subjek pajak palsu (pseudo tax subject).
Sebenarnya ada alternatif lain untuk memudahkan pemungutan pajak terhadap orang pribadi atau badan luar negeri yang melakukan kegiatan atau usaha di Indonesia melalui bentuk usaha tetap, tanpa harus menjadikan bentuk usaha tetap sebagai subjek pajak. Alternatif tersebut adalah melalui suatu mekanisme yang mewajibkan orang pribadi atau badan yang merupakan subjek pajak luar negeri yang melakukan kegiatan atau usaha di Indonesia melalui bentuk usaha tetap untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), sebagaimana yang diwajibkan kepada subjek pajak dalam negeri.
Saat bentuk usaha tetap menjadi subjek pajak dan pada saat yang bersamaan sekaligus juga menjadi wajib pajak, adalah pada saat orang pribadi atau badan luar negeri mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia melalui bentuk usaha tetap tersebut dan berakhir pada saat hubungan ekonomis dengan Indonesia tidak ada lagi. Hubungan ekonomis dengan Indonesia dianggap ada apabila orang pribadi atau badan luar negeri tersebut menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.
Perbedaan penting antara wajib pajak dalam negeri dan wajib pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya, antara lain sebagai berikut:
a)      Wajib pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia/ penghasilan global (world wide income), sedangkan wajib pajak luar negeri dikenakan pajak hanya terbatas atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia (territorial principle).
b)      Wajib pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan kena pajak, yang diperoleh dari pengurangan penghasilan bruto dengan pengurangan-pengurangan yang diperkenankan (net basis of taxation), dengan menggunakan tarif umum (progresif) yaitu tarif Pasal 17 UU PPh, sedangkan wajib pajak luar negeri pada dasarnya dikenakan pajak atas penghasilan bruto dengan mempergunakan tarif sepadan (flat rate) yaitu tarif Pasal 26 UU PPh sebesar 20% atau sesuai dengan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda[3].
c)      Wajib pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), sedangkan wajib pajak luar negeri tidak diwajibkan karena kewajiban pembayaran pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final oleh si pemberi hasil.
d)     WPDN dikenakan pajak dengan assessment (ketetapan), sedangkan WPLN (kecuali yang menjalankan usaha dengan BUT yang juga dikenakan berdasar SPT dan ketetapan) pada umumnya dikenakan pajak dengan metode pemotongan pajak (withholding system) oleh pihak ketiga[4].
WPLN yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia melalui BUT dikenakan pajak selayaknya usaha yang dijalankan atau kegiatan yang dilakukan WPDN. Hal tersebut diterapkan selaras dengan prinsip pemajakan internasional yang menghendaki perlakuan non diskriminasi dan kesetaraan perlakuan (Pasal 24 OECD Model). Dengan demikian, BUT dikenakan pajak antara lain berdasarkan (1) basis neto, (2) tarif umum, (3) hak atas kompensasi kerugian, (4) kewajiban administratif lainnya.
Demikian khusus untuk bentuk usaha tetap, walaupun bentuk usaha tetap mempunyai status sebagai wajib pajak luar negeri, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan bagi wajib pajak dalam negeri yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. Dengan demikian, bentuk usaha tetap antara lain berkewajiban mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) sebagai sarana untuk menetapkan besarnya pajak terutang dalam suatu tahun pajak, serta pengenaan pajaknya dilaksanakan atas penghasilan kena pajak dengan menggunakan tarif umum seperti yang berlaku untuk wajib pajak dalam negeri pada umumnya[5].
Dalam praktik, kantor perwakilan perusahaan luar negeri (representative office) terdaftar sebagai subjek pajak penghasilan badan dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. Namun demikian, dalam pemenuhan kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan, SPT Tahunan yang disampaikan adalah SPT Tahunan nihil (nil corporate annual income tax return) yang tidak dilampiri laporan keuangan berupa neraca maupun perhitungan rugi laba, tetapi hanya dilampiri dengan Daftar Pengeluaran (List of Expenses). Daftar Pengeluaran ini dibutuhkan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan pemenuhan kewajiban kantor perwakilan perusahaan sebagai pemungut atau pemotong pajak, misalnya kewajiban terhadap pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/Pasal 26 bagi karyawannya, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 untuk jenis-jenis pembayaran yang dilakukan oleh kantor perwakilan perusahaan tersebut yang merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23, dan sebagainya.
Pada Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a UU PPh, (2) penegasan sumber penghasilan BUT hanya “terbatas” pada tempat BUT menjalankan usaha atau melakukan kegiatan (Pasal 24 ayat (3) huruf e UU PPh) dan (3) pembatasan pemberian kredit pajak luar negeri hanya kepada Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN), (Pasal 24 ayat (1) UU PPh). Berdasarkan beberapa petunjuk tersebut nampak bahwa BUT dikenakan pajak per basis territorial, sebatas pada penghasilan yang diperoleh dari sumber di Indonesia (tempat BUT menjalankan usaha atau melakukan kegiatan). Perlakuan demikian selain memperlonggar iklim usaha dan investasi asing (dengan pemangkasan objek pajak) juga akan menyederhanakan administrasi pengenaan pajak.
Untuk keperluan pemajakan, walaupun secara legal mereka merupakan satu kesatuan entitas, BUT dan Kantor Pusat (secara administratif) dianggap mempunyai kewajiban perpajakan tersendiri. Hal demikian tampaknya telah diterima secara internasional. Misalnya, dalam Paragraf 11 Komentar Pasal 7 (2) OECD 2003 dinyatakan bahwa laba yang dialokasikan kepada BUT adalah laba yang seharusnya diperoleh BUT apabila, ia seandainya seolah-olah tidak berhubungan dengan kantor pusat, telah bermitra usaha dengan suatu perusahaan yang mandiri berdasarkan persyaratan dan harga yang berlaku di pasar bebas.

2.      Perlakuan perpajakan terhadap wajib pajak luar negeri yang melakukan kegiatan atau usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Wajib pajak luar negeri tersebut memperoleh atau menerima penghasilan yang bersumber di Indonesia dapat dilakukan dengan cara[6]:
1.      Menjalankan kegiatan atau usaha di Indonesia (doing business/active income in Indonesia) dan memenuhi syarat sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT). Pemajakan terhadap penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri ini sama dengan Wajib Pajak Dalam Negeri Badan, namun terdapat beberapa perbedaan.
2.      Menjalankan kegiatan atau usaha di Indonesia (doing business/active income in Indonesia) dan belum memenuhi syarat sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT). Pemajakan terhadap penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri ini terutang PPh Pasal 26 menurut UU PPh atau Tax Treaty.
3.      Menerima penghasilan diluar kegiatan usaha (passive income) bersumber dari Indonesia. Pemajakan atas wajib pajak luar negeri ini terutang PPh Pasal 26 menurut UU PPh atau Tax Treaty.
Pada bagian ini, akan dibahas mengenai pemajakan wajib pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber di Indonesia dengan menjalankan kegiatan atau usaha di Indonesia dan memenuhi syarat sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT). Karena pemajakan ini terkait dengan WPLN dan pemerintah dari WPLN tersebut karena pemerintah dari WPLN tersebut juga berhak untuk memungut pajak atas penghasilan wajib pajak tersebut, maka atas WPLN berlaku penuh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 jo Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 jo Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) apabila tidak ada Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah dari WPLN tersebut. Namun, apabila terdapat P3B atau Tax Treaty dengan pemerintah dari WPLN, maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan yang tercantum dalam P3B atau Tax Treaty. Kriteria BUT, objek pajak BUT dan laba setelah BUT mengacu pada isi P3B tersebut, dan mengesampingkan ketentuan sebagaimana tercantum dalam UU PPh.
Perbedaan perlakuan perpajakan terhadap wajib pajak luar negeri yang melakukan kegiatan atau usaha yang melalui bentuk usaha tetap dengan yang tidak melalui bentuk usaha tetap adalah:
a)      Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT:
1.      kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam negeri;
2.      penghasilan yang menjadi objek pajak hanya terbatas yang bersumber di Indonesia.
b)      Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan bukan melalui BUT:
1.      dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia;
2.      berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan;
3.      tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU PPh, yang termasuk objek pajak BUT adalah[7]:
1.      Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai (penghasilan BUT yang bersangkutan).
2.      Penghasilan kantor pusat dari usaha, kegiatan, penjualan barang atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan/dilakukan oleh BUT di Indonesia (force of attraction). Pendekatan ini didasarkan kenyataan bahwa usaha atau kegiatan kantor pusat tersebut di Indonesia masih termasuk ruang lingkup usaha atau kegiatan yang dapat dilakukan BUT.
3.      Penghasilan berupa dividen, bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, royalti, sewa, imbalan sehubungan dengan jasa/pekerjaan/kegiatan, hadiah atau penghargaan, pensiun/pembayaran berkala lainnya, yang diterima oleh kantor pusat WPLN dari Indonesia, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT-nya dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut.
Pemajakan BUT menurut UU PPh juga menganut 2 sistem pemajakan, yaitu[8]:
1.      Tarif Tertentu
Tarif tertentu dikenakan kepada jenis bentuk usaha tetap yang menjalankan kegiatan usaha tertentu:
a)      Kepmenkeu No. 417/KMK.04/1996 tanggal 14 Juni 1996
PPh yang terutang atas BUT berupa cabang perusahaan pelayaran dan penerbangan internasional sebesar 2,64% dari peredaran bruto/ kotor dan bersifat final.
b)      Kepmenkeu No. 634/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994
PPh yang terutang kantor perwakilan dagang asing (representative office) sebesar 0,44% dari nilai ekspor perusahaan ke Indonesia.
2.      Tarif Umum Pasal 17 dan Pasal 23 UU PPh
Tarif Umum Pasal 17 UU PPh dikenakan kepada jenis bentuk usaha tetap selain cabang perusahaan pelayaran dan penerbangan internasional serta kantor perwakilan dagang asing tersebut, dengan penghitungan sebagai berikut:
a)      PPh terutang = tarif Pasal 17 UU PPh dikalikan penghasilan kena pajak
b)      Penghasilan kena pajak = Penghasilan neto dikurangi kompensasi
c)      Penghasilan neto = Objek BUT – biaya fiskal Pasal 6 ayat (1) UU PPh dan biaya tertentu bagi BUT.
d)     PPh 26 atas laba setelah pajak khusus BUT = 20%/ tarif P3B dikalikan laba setelah Pajak Penghasilan.
Ketentuan Pasal 23 UU PPh mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelengaraan kegiatan selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UUPPh, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
Tarif pemotongan untuk penghasilan Pasal 23 UU PPh adalah:
1.      15% dari jumlah bruto atas penghasilan berupa :
a)      Dividen
b)      bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.
c)      Royalty
d)     Hadiah dan penghargaan
2.      15% dari perkiraan penghasilan neto atas penghasilan berupa:
a)      imbalan sehubungan dengan jasa teknik, manajemen, konstruksi, konsultan, dan jasa lain
b)      sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
Dalam menentukan besarnya laba suatu BUT juga diberikan tambahan penjelasan sebagai berikut:
1.      Biaya administrasi kantor pusat yang boleh dikurangkan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
2.      Pembayaran kepada kantor pusat yang tidak boleh dikurangkan adalah royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya, imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya, bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan. Pembayaran serupa yang diterima atau diperoleh dari kantor pusat tidak dianggap sebagai objek pajak BUT, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.
Pemajakan Laba setelah Pajak BUT (Branch Profit Taxation)
1.      Sebagaimana diketahui dividen atau bagian laba hasil usaha wajib pajak dalam negeri terutang PPh Pasal 23, dan untuk memberikan perlakuan yang sama maka laba setelah BUT dikenakan pajak dengan tarif 20% sebagaimana tercantum dalam Pasal 26 ayat (4) UU PPh dan sisanya jika diinvestasikan kembali ke Indonesia tidak dipotong PPh Pasal 26[9].
2.      Sesuai Kepmenkeu No.602/KMK.04/1994 jo. KMK No.113/KMK.03/2002, pengecualian pajak setelah laba BUT dapat diberikan dengan syarat:
a)      Penanaman kembali dilakukan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri.
b)      Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan.
c)      Pengalihan atas penanaman kembali tersebut tidak dilakukan sekurang-kurangnya dalam jangka waktu dua tahun setelah perusahaan tempat penanaman dilakukan berproduksi komersil.
Pada umumnya objek BUT menurut P3B hampir sama dengan UU PPh, demikian pula pajak setelah laba yang diperoleh BUT, namun perbedaannya adalah tarif yang lebih rendah dari 20%.

3.      Perlakuan perpajakan terhadap wajib pajak luar negeri yang melakukan kegiatan atau usaha yang tidak memenuhi syarat sebagai bentuk usaha tetap.

Terhadap wajib pajak luar negeri yang menjalankan kegiatan atau usaha dan tidak memenuhi syarat sebagai BUT, maka penghasilannya akan terutang PPh Pasal 26 UU PPh dan kewajiban perpajakannya menjadi tanggung jawab subjek pajak dalam negeri yang membayarkan penghasilan kepada subjek pajak luar negeri dalam bentuk wajib memotong PPh Pasal 26[10].
Ketentuan Pasal 26 UU PPh mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh wajib pajak luar negeri (orang pribadi maupun badan) selain BUT.
Mengacu pada pasal 2 ayat (5) UU PPh, kegiatan usaha WPLN di Indonesia yang tidak memenuhi syarat sebagai bentuk usaha tetap dapat dikelompokkan ke dalam:
1.      Kegiatan usaha / bisnis di luar jasa
Kegiatan usaha/business income/ active income yang diperoleh WPLN dan tidak memenuhi syarat sebagai BUT adalah usaha dagang berupa ekspor barang langsung dari luar negeri ke Indonesia dan tidak mempunyai tempat usaha di Indonesia. Sedangkan kegiatan usaha industri di Indonesia tentu menimbulkan BUT di Indonesia karena adanya tempat/fasilitas fisik. Pengenaan PPh atas kuasa pasal 2 ayat (5) tidak dapat dilakukan karena usaha ekspor barang dari luar negeri Indonesia tidak menimbulkan BUT, sehingga pengenaan pemajakannya dapat mengacu Pasal 26 UU PPh. Dalam Pasal 26 UU PPh, penghasilan active income dari Indonesia yang dikenakan pajak hanya mengenai jasa dan asuransi saja. Dengan demikian, penghasilan WPLN berupa ekspor ke luar negeri ke Indonesia tidak dikenakan pajak di Indonesia, dan hal tersebut selaras dengan ketentuan perpajakan internasional yang dianut dalam OECD maupun UN Model[11].
2.      Kegiatan pemberian jasa
Pemberian jasa di sini adalah:
a)      Jasa konstruksi, instalasi, dan perakitan yang tidak dilakukan di Indonesia. Apabila dilakukan di Indonesia, menurut UU PPh menimbulkan BUT tanpa melihat berapa lama jasa tersebut dilakukan di Indonesia.
b)      Jasa selain ketiga jasa tersebut di atas yang tidak dilakukan di Indonesia, atau jasa tersebut dilakukan di Indonesia namun tidak memenuhi syarat lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (5) UU PPh.
Karena tidak memenuhi kriteria sebagai BUT sesuai Pasal 2 ayat (5) UU PPh, maka pemajakan WPLN dapat mengacu pada ketentuan Pasal 26 UU PPh. Berdasarkan Pasal 26 (1) huruf d UU PPh, pembayaran jasa kepada wajib pajak luar negeri wajib dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% dari jumlah bruto dan bersifat final.
3.      Kegiatan asuransi
Menurut UU PPh, pengenaan PPh atas kegiatan asuransi yang diterima dari Indonesia oleh WPLN sama dengan pengenaan PPh atas penghasilan jasa yang diterima WPLN dari Indonesia. Apabila memenuhi kriteria BUT sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (5) UU PPh, maka pengenaan PPh sama dengan perusahaan asuransi WPDN, yaitu berdasarkan basis neto dan tarif Pasal 17 UU PPh. Apabila tidak memenuhi kriteria BUT, maka terutang PPh Pasal 26 dengan mengacu Kepmenkeu No. 624/KMK.04/1994 tanggal 27 Desember 1994, yaitu:
a)      20% x 50% x penghasilan bruto, untuk asuransi pertama (orang Indonesia membayar premi pada perusahaan asuransi WPLN)
b)      20% x 10% x penghasilan bruto, untuk reasuransi pertama (perusahaan asuransi Indonesia membayar premi kepada perusahaan reasuransi WPLN).
c)      20% x 5% x penghasilan bruto, untuk asuransi kedua dan seterusnya (perusahan reasuransi Indonesia membayar kepada perusahaan reasuransi WPLN).
Apabila antara pemerintah Indonesia mengadakan P3B dengan negara lain dan tidak memenuhi kriteria BUT, maka menurut P3B pengenaan pajaknya harus mengacu kepada P3B tersebut dan mengesampingkan ketentuan Pasal 26 UU PPh. Pada umumnya, hampir semua P3B antara Pemerintah Indonesia dengan negara lain, Indonesia tidak berhak sama sekali memungut PPh atas kegiatan usaha, jasa, dan asuransi (active income) yang tidak memenuhi kriteria BUT, kecuali negara tertentu saja antara lain: Jerman, Luxembourg, Swiss, Pakistan, dan Venezuela untuk jasa teknik, jasa manajemen, dan konsultasi yang dilakukan di Indonesia, dikenakan pemotongan PPh Pasal 26 meskipun pemberi jasa tidak mempunyai BUT di Indonesia.165 PPh Pasal 26 atas penghasilan jasa teknik, manajemen, dan konsultan di atur sebagai berikut : Jerman 7,5%, Luxemburg 10%, Swiss 5%, dan Pakistan 15%[12].
BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan diatas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.      Penentuan subjek pajak sangat penting dalam sistem pemungutan PPh karena subjek pajak adalah pihak yang dituju untuk membayar Pajak Penghasilan. Saat bentuk usaha tetap menjadi subjek pajak dan pada saat yang bersamaan sekaligus juga menjadi wajib pajak luar negeri, adalah pada saat orang pribadi atau badan luar negeri mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia. Pemenuhan kewajiban perpajakan BUT dipersamakan dengan wajib pajak dalam negeri. Bentuk usaha tetap antara lain berkewajiban mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) sebagai sarana untuk menetapkan besarnya pajak terutang dalam suatu tahun pajak, serta pengenaan pajaknya dilaksanakan atas penghasilan kena pajak dengan menggunakan tarif umum seperti yang berlaku untuk wajib pajak dalam negeri pada umumnya. Hal tersebut selaras dengan prinsip pemajakan internasional yang menghendaki perlakuan non diskriminasi dan kesetaraan perlakuan (equal treatment). Berdasarkan UU PPh yang berlaku di Indonesia, bentuk usaha tetap dikenakan pajak per basis territorial yang hanya sebatas pada penghasilan yang diperoleh dari sumber di Indonesia (tempat BUT menjalankan usaha atau melakukan kegiatan).
2.      Wajib Pajak Luar Negeri yang menerima penghasilan yang bersumber di Indonesia dapat dilakukan dengan cara:
a)      menjalankan kegiatan atau usaha di Indonesia (active income) dan memenuhi syarat sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT). Pemajakan terhadap BUT menurut UU PPh bisa didasarkan pada tarif tertentu yang diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan dan tarif umum Pasal 17 dan 23 UU PPh.
b)     Menjalankan kegiatan atau usaha di Indonesia (active income) dan belum memenuhi syarat sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT). Pemajakan terhadap penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri ini terutang PPh Pasal 26 menurut UU PPh dan kewajiban perpajakannya menjadi tanggung jawab subjek pajak dalam negeri yang membayarkan penghasilan kepada subjek pajak luar negeri tersebut.
3.      Saran
Dan dari kesimpulan yang telah diperoleh tersebut, perlu kiranya untuk disampaikan saran sebagai berikut:
1.      Kebijakan pemerintah Indonesia dalam pembuatan tax treaty diharapkan akan membantu investor asing yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia dengan perlindungan hukum dan pengenaan pajak yang tepat sehingga mampu pula meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Indonesia.
2.      Indonesia harus segera melaksanakan deregulasi dan debirokratisasi dalam bidang perdagangan terutama dalam bidang perpajakan sebagai salah satu sumber penerimaan negara untuk kemandirian bangsa Indonesia serta peningkatan sumber daya manusia aparat perpajakan Indonesia. Apalagi dengan akan dibukanya Economy Community ASEAN dalam waktu dekat ini dimana Indonesia belum mempunyai regulasi untuk mempersiapkan hal ini.











Daftar Pustaka
Wirawan B.Ilyas. Pajak Penghasilan, (Jakarta : Lembaga Penerbit UI, 2007);
Jaja Zakaria. Perlakuan Perpajakan Terhadap Bentuk Usaha Tetap, (Jakarta : PT Raja Garfindo Persada, 2005);
Siti Resmi. Perpajakan Teori & Kasus. (Yogyakarta : Salemba Empat, 2007);
Gunadi. Pajak Internasional, (Jakarta : Fakultas Ekonomi UI,2007);
Agus Setiawan dan Basri Musri. Perpajakan Umum, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006).


[1] Wirawan B.Ilyas. Pajak Penghasilan, (Jakarta : Lembaga Penerbit UI, 2007), hal.11 
[2] Jaja Zakaria. Perlakuan Perpajakan Terhadap Bentuk Usaha Tetap, (Jakarta : PT Raja Garfindo Persada, 2005), hal. 12.
[3] Siti Resmi. Perpajakan Teori & Kasus. (Yogyakarta : Salemba Empat, 2007), hal. 63
[4] Gunadi. Pajak Internasional, (Jakarta : Fakultas Ekonomi UI,2007), hal. 62.
[5] Jaja Zakaria, Op.Cit.,hal. 13.
[6] Wirawan B.Ilyas, Op.Cit,hal 149.
[7] Jaja Zakaria, Op.Cit.,hal 17.
[8] Wirawan B.Ilyas, Op.Cit., hal. 152
[9] Agus Setiawan dan Basri Musri. Perpajakan Umum, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 116 .
[10] Wirawan B. Ilyas, Op.Cit., hal. 34 
[11] Wirawan B.Ilyas, Op.Cit., hal. 160
[12] Agus Setiawan, Op.Cit., hal. 113.

1 komentar :