BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Indonesia
sebagai Negara hukum tentunya mempunyai pengaturan terhadap perlakuan pajak di
Indonesia. Demikian sebagaimana yang di atur pada Undang – Undang Dasar 1945,
pasal 23 A yang berbunyi “ pajak dan pungutan lainyang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur dengan undang – undang”. Kemudian di atur lebih konkret
dengan disahkannya Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007. Dan pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 yang
diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dan yang terakhir Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008.
Pemungutan
pajak sebagaimana fungsinya antara lain adalah budgetary, yaitu
menghimpun penerimaan negara dari masyarakat sebagai dana pembiayaan fungsi
pembangunan. Sistem atau prinsip perpajakan yang dianut oleh suatu negara akan
dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain oleh falsafah bangsa yang
bersangkutan dan kebijakan-kebijakan tertentu yang berhubungan dengan pemberian
dorongan investasi kepada sektor-sektor tertentu.
Bentuk
usaha tetap dalam sistem perpajakan Indonesia menempati suatu kedudukan yang
khusus karena di samping pemajakan atas bentuk usaha tetap tersebut agak
berbeda dibandingkan dengan pemajakan atas wajib pajak pada umumnya, juga dalam
kaitannya dengan perjanjian perpajakan (tax
treaty), ada tidaknya suatu bentuk usaha tetap sangat menentukan dapat atau
tidaknya suatu negara sumber mengenakan pajak atas laba usaha yang diperoleh
suatu perusahaan yang berkedudukan di luar negeri.
Kedudukan
bentuk usaha tetap (permanent
establishment) dalam sistem perpajakan Indonesia mempunyai kedudukan yang
sangat unik. Pada saat Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 diberlakukan pada
tanggal 1 Januari 1984, bentuk usaha tetap dikelompokkan sebagai subjek pajak
badan dalam negeri. Keadaan ini sangat berbeda dengan yang berlaku di banyak
negara, di mana bentuk usaha tetap diperlakukan sebagai subjek pajak luar
negeri. Dalam perkembangannya kemudian, menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1994 sebagai Undang-Undang Perubahan dari Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984,
bentuk usaha tetap tidak lagi dikelompokkan sebagai subjek pajak badan dalam
negeri, tetapi dikelompokkan sebagai subjek pajak yang berdiri sendiri dan
dianggap sebagai subjek pajak luar negeri. Namun demikian, kewajiban-kewajiban
perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak dalam negeri. Keadaan ini masih
tetap tidak berubah setelah adanya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 sebagai undang-undang perubahan Undang-Undang
Pajak Penghasilan yang terbaru.
Pengaturan
terhadap pemungutan pajak ini sangatlah penting. Selain menciptakan adanya
kepastian hukum yang lebih nyata, dengan demikian ini akan berfungsi sebagai
salah satu pendorong masuknya investasi asing. Dengan kata lain, suatu
pengaturan pajak yang baik membantu menciptakan iklim investasi yang favorable.
Ini akan menguntung Indonesia sebagai pasar investasi yang sangat strategis,
akan meningkatkan perolehan keuangan Negara yang bersumber dari perpajakan.
2.
Dasar
Hukum
·
Undang – Undang Dasar 1945, pasal 23 A yang
berbunyi “ pajak dan pungutan lainyang bersifat memaksa untuk keperluan negara
diatur dengan undang – undang”.
·
Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007.
·
Ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak
Penghasilan.
·
Keputusan
Menteri Keuangan Nomor: 602/KMK.04/1994 tanggal 21 Desember 1994 tentang
Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari
Bentuk Usaha Tetap Yang Ditanamkan Kembali di Indonesia juncto Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/Pj.4/1995 tanggal 8 Februari 1995 tentang Perlakuan
Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu
Bentuk Usaha Tetap yang Ditanamkan kembali di Indonesia;
·
Keputusan
Menteri Keuangan Nomor: 113/KMK.03/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Perlakuan
Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu
Bentuk Usaha Tetap. (Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 113/KMK.03/2002 tanggal
28 Maret 2002 menggantikan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 602/KMK.04/1994
tanggal 21 Desember 1994);
·
Keputusan
Menteri Keuangan Nomor: 624/KMK.04/1994 tanggal 17 Desember 1994 tentang
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan berupa Premi Asuransi
yang Dibayar Kepada Perusahaan di Luar Negeri;
·
Keputusan
Menteri Keuangan Nomor: 634/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 tentang Norma
Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang
mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia;
·
Keputusan
Menteri Keuangan Nomor : 417/KMK.04/1996 tanggal 14 Juni 1996 tentang Norma
Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau
Penerbangan Luar Negeri.
3.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas dapatlah dirumuskan
masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana perlakuan perpajakan terhadap
bentuk usaha tetap sebagai wajib pajak penghasilan?
2.
Bagaimana perlakuan perpajakan terhadap
wajib pajak luar negeri yang melakukan kegiatan atau usaha melalui bentuk usaha
tetap?
3.
Bagaimana perlakuan perpajakan terhadap
wajib pajak luar negeri yang melakukan kegiatan atau usaha yang tidak memenuhi
syarat sebagai bentuk usaha tetap?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Bentuk
usaha tetap sebagai wajib pajak penghasilan di Indonesia.
Penentuan subjek pajak
sangat penting dalam sistem pemungutan Pajak Penghasilan karena subjek pajak
adalah pihak yang dituju untuk membayar Pajak Penghasilan. Apabila subjek pajak
menerima atau memperoleh penghasilan sebagai objek pajak, maka subjek pajak
tersebut menjadi wajib pajak dan wajib untuk membayar Pajak Penghasilan. Namun,
apabila tidak termasuk subjek pajak, maka tidak mempunyai kewajiban membayar
pajak penghasilan meskipun menerima atau memperoleh penghasilan yang menjadi
objek pajak[1].
Pemerintah Indonesia
mempunyai kewenangan untuk memungut pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh oleh setiap orang dan/atau badan yang berdomisili di Indonesia, dan
memungut pajak atas penghasilan yang bersumber dari wilayah Indonesia yang
diterima oleh siapapun sebagaimana dalam Undang – Undang Dasar 1945,pasal 23 A.
Berdasarkan kewenangan
untuk memungut pajak tersebut, menurut Pasal 2 ayat (2) Undang- Undang Pajak Penghasilan,
subjek pajak menjadi dua yaitu:
1. Subjek
Pajak Dalam Negeri.
Menurut
Pasal 2 ayat (3) Undang- Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang termasuk subjek
pajak dalam negeri adalah :
a. Orang
pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia
b. Orang
pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12
bulan
c. Orang
pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat
untuk bertempat tinggal di Indonesia
d. Warisan
yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
e. Badan
yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
2. Subjek
Pajak Luar Negeri
Menurut Pasal 2 ayat
(3) Undang- Undang Pajak Penghasilan, yang termasuk dalam subjek pajak luar
negeri adalah:
a. Orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
b. Badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia;
yang menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia dengan cara menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, atau menerima/memperoleh
penghasilan dari Indonesia tidak melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Kriteria Badan Usaha Tetap
(BUT) sesuai Undang- Undang Pajak Penghasilan hanya berlaku apabila antara
Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah dari subjek pajak luar negeri tidak
mengadakan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B/Tax Treaty). Apabila
antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah dari subjek pajak luar negeri
tersebut telah mengadakan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B/Tax
Treaty), maka kriteria BUT (permanent establishment) harus mengacu
kepada bunyi P3B/Tax Treaty yang bersangkutan. P3B atau Tax
Treaty merupakan perjanjian tertulis antara 2 pemerintah atau negara untuk
memberikan kepastian hukum mengenai hak pemajakan dan sekaligus menghilangkan
pengenaan pajak dua kali/berganda.
Menurut
Pasal 3 Undang- Undang Pajak Penghasilan, orang yang tidak termasuk subjek
pajak adalah:
1. Badan
perwakilan negara asing;
2. Pejabat-pejabat
perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat dari negara asing dan
orang-orang yang diperbantukan mereka yang bekerja dan bertempat tinggal
bersama-sama, dengan syarat : bukan warga negara Indonesia, tidak menerima atau
memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut dan
negara yang bersangkutan memberikan perlakuan yang timbal balik.
3. Organisasi
internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan (Kepmenkeu
No.574 Tahun 2000), dengan syarat : Indonesia menjadi anggota organisasi
tersebut dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang
dananya berasal dari iuran para anggota.
4. Pejabat-pejabat
perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan (Kepmenkeu No.574 Tahun 2000), dengan syarat : bukan warga negara
Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
Di
samping itu menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PPh terdapat unit Pemerintah
Indonesia yang tidak termasuk sebagai subjek pajak adalah:
1.
Dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
2.
Dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN
atau APBD;
3.
Penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam
anggaran pemerintah pusat atau daerah;
4.
Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan
fungsional negara.
Terdapat perubahan yang fundamental
dalam pengelompokan bentuk usaha tetap sebagai subjek pajak, yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (sebagai perubahan dari
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000). Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983,
bentuk usaha tetap dikelompokkan sebagai subjek badan dan sebagai subjek pajak
dalam negeri. Akan tetapi, dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, begitu juga
dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, bentuk usaha tetap dikelompokkan
sebagai subjek pajak yang berdiri sendiri, dan dianggap sebagai subjek pajak
luar negeri[2].
Definisi,
sebenarnya tidak tepat apabila bentuk usaha tetap dikategorikan sebagai subjek
pajak. Dilihat dari pengertian subjek pajak yang umum, yang merupakan subjek
pajak biasanya adalah orang, yang dapat berupa orang pribadi atau badan
(misalnya PT, CV, Firma, kongsi, koperasi, dan perkumpulan). Sebaliknya, bentuk
usaha tetap pada umumnya berupa aset, misalnya pabrik, gedung, kantor, bengkel,
perkebunan dan sebagainya, atau yang melakukan pemberian jasa tersebut, bukan
pabrik, gedung, kantor, bengkel, perkebunan atau pemberian jasa lainnya. Alasan
menjadikan bentuk usaha tetap sebagai subjek pajak adalah untuk menggantikan
subjek pajak luar negeri yang mempunyai bentuk usaha tetap tersebut agar
memudahkan pemungutan pajak terhadap subjek pajak luar negeri yang
bersangkutan. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa bentuk usaha tetap adalah
subjek pajak substitusi atau kadang kala disebut sebagai subjek pajak palsu
(pseudo tax subject).
Sebenarnya
ada alternatif lain untuk memudahkan pemungutan pajak terhadap orang pribadi
atau badan luar negeri yang melakukan kegiatan atau usaha di Indonesia melalui
bentuk usaha tetap, tanpa harus menjadikan bentuk usaha tetap sebagai subjek
pajak. Alternatif tersebut adalah melalui suatu mekanisme yang mewajibkan orang
pribadi atau badan yang merupakan subjek pajak luar negeri yang melakukan
kegiatan atau usaha di Indonesia melalui bentuk usaha tetap untuk menyampaikan
Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), sebagaimana yang diwajibkan kepada subjek
pajak dalam negeri.
Saat
bentuk usaha tetap menjadi subjek pajak dan pada saat yang bersamaan sekaligus
juga menjadi wajib pajak, adalah pada saat orang pribadi atau badan luar negeri
mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia melalui bentuk usaha tetap
tersebut dan berakhir pada saat hubungan ekonomis dengan Indonesia tidak ada
lagi. Hubungan ekonomis dengan Indonesia dianggap ada apabila orang pribadi
atau badan luar negeri tersebut menerima atau memperoleh penghasilan yang
berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.
Perbedaan
penting antara wajib pajak dalam negeri dan wajib pajak luar negeri terletak
dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya, antara lain sebagai berikut:
a) Wajib
pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
dari Indonesia dan dari luar Indonesia/ penghasilan global (world wide
income), sedangkan wajib pajak luar negeri dikenakan pajak hanya terbatas
atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia (territorial
principle).
b) Wajib
pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan kena pajak, yang diperoleh
dari pengurangan penghasilan bruto dengan pengurangan-pengurangan yang
diperkenankan (net basis of taxation), dengan menggunakan tarif umum (progresif)
yaitu tarif Pasal 17 UU PPh, sedangkan wajib pajak luar negeri pada dasarnya
dikenakan pajak atas penghasilan bruto dengan mempergunakan tarif sepadan (flat
rate) yaitu tarif Pasal 26 UU PPh sebesar 20% atau sesuai dengan Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda[3].
c) Wajib
pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT),
sedangkan wajib pajak luar negeri tidak diwajibkan karena kewajiban pembayaran
pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final oleh si pemberi
hasil.
d) WPDN
dikenakan pajak dengan assessment (ketetapan), sedangkan WPLN (kecuali yang
menjalankan usaha dengan BUT yang juga dikenakan berdasar SPT dan ketetapan)
pada umumnya dikenakan pajak dengan metode pemotongan pajak (withholding
system) oleh pihak ketiga[4].
WPLN
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia melalui BUT
dikenakan pajak selayaknya usaha yang dijalankan atau kegiatan yang dilakukan
WPDN. Hal tersebut diterapkan selaras dengan prinsip pemajakan internasional
yang menghendaki perlakuan non diskriminasi dan kesetaraan perlakuan (Pasal 24
OECD Model). Dengan demikian, BUT dikenakan pajak antara lain berdasarkan (1)
basis neto, (2) tarif umum, (3) hak atas kompensasi kerugian, (4) kewajiban
administratif lainnya.
Demikian
khusus untuk bentuk usaha tetap, walaupun bentuk usaha tetap mempunyai status
sebagai wajib pajak luar negeri, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan
dengan pemenuhan kewajiban perpajakan bagi wajib pajak dalam negeri yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dan dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007. Dengan demikian, bentuk usaha tetap antara lain berkewajiban
mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) sebagai sarana untuk menetapkan
besarnya pajak terutang dalam suatu tahun pajak, serta pengenaan pajaknya
dilaksanakan atas penghasilan kena pajak dengan menggunakan tarif umum seperti
yang berlaku untuk wajib pajak dalam negeri pada umumnya[5].
Dalam
praktik, kantor perwakilan perusahaan luar negeri (representative office)
terdaftar sebagai subjek pajak penghasilan badan dan memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak. Namun demikian, dalam pemenuhan kewajiban penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan, SPT Tahunan yang disampaikan
adalah SPT Tahunan nihil (nil corporate annual income tax return) yang tidak
dilampiri laporan keuangan berupa neraca maupun perhitungan rugi laba, tetapi
hanya dilampiri dengan Daftar Pengeluaran (List of Expenses). Daftar Pengeluaran
ini dibutuhkan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan pemenuhan
kewajiban kantor perwakilan perusahaan sebagai pemungut atau pemotong pajak,
misalnya kewajiban terhadap pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/Pasal 26 bagi
karyawannya, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 untuk jenis-jenis pembayaran
yang dilakukan oleh kantor perwakilan perusahaan tersebut yang merupakan objek
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23, dan sebagainya.
Pada
Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a UU PPh, (2) penegasan sumber penghasilan
BUT hanya “terbatas” pada tempat BUT menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
(Pasal 24 ayat (3) huruf e UU PPh) dan (3) pembatasan pemberian kredit pajak
luar negeri hanya kepada Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN), (Pasal 24 ayat (1) UU
PPh). Berdasarkan beberapa petunjuk tersebut nampak bahwa BUT dikenakan pajak
per basis territorial, sebatas pada penghasilan yang diperoleh dari sumber di
Indonesia (tempat BUT menjalankan usaha atau melakukan kegiatan). Perlakuan demikian
selain memperlonggar iklim usaha dan investasi asing (dengan pemangkasan objek
pajak) juga akan menyederhanakan administrasi pengenaan pajak.
Untuk
keperluan pemajakan, walaupun secara legal mereka merupakan satu kesatuan
entitas, BUT dan Kantor Pusat (secara administratif) dianggap mempunyai
kewajiban perpajakan tersendiri. Hal demikian tampaknya telah diterima secara
internasional. Misalnya, dalam Paragraf 11 Komentar Pasal 7 (2) OECD 2003
dinyatakan bahwa laba yang dialokasikan kepada BUT adalah laba yang seharusnya
diperoleh BUT apabila, ia seandainya seolah-olah tidak berhubungan dengan
kantor pusat, telah bermitra usaha dengan suatu perusahaan yang mandiri
berdasarkan persyaratan dan harga yang berlaku di pasar bebas.
2. Perlakuan perpajakan terhadap wajib pajak
luar negeri yang melakukan kegiatan atau usaha melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
Wajib
pajak luar negeri tersebut memperoleh atau menerima penghasilan yang bersumber
di Indonesia dapat dilakukan dengan cara[6]:
1. Menjalankan
kegiatan atau usaha di Indonesia (doing business/active income in Indonesia)
dan memenuhi syarat sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT). Pemajakan terhadap
penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri ini sama dengan Wajib Pajak Dalam Negeri
Badan, namun terdapat beberapa perbedaan.
2. Menjalankan
kegiatan atau usaha di Indonesia (doing business/active income in Indonesia)
dan belum memenuhi syarat sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT). Pemajakan
terhadap penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri ini terutang PPh Pasal 26 menurut
UU PPh atau Tax Treaty.
3. Menerima
penghasilan diluar kegiatan usaha (passive income) bersumber dari
Indonesia. Pemajakan atas wajib pajak luar negeri ini terutang PPh Pasal 26
menurut UU PPh atau Tax Treaty.
Pada
bagian ini, akan dibahas mengenai pemajakan wajib pajak luar negeri yang
menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber di Indonesia dengan
menjalankan kegiatan atau usaha di Indonesia dan memenuhi syarat sebagai Bentuk
Usaha Tetap (BUT). Karena pemajakan ini terkait dengan WPLN dan pemerintah dari
WPLN tersebut karena pemerintah dari WPLN tersebut juga berhak untuk memungut
pajak atas penghasilan wajib pajak tersebut, maka atas WPLN berlaku penuh
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 jo Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 jo
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) apabila
tidak ada Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty antara
pemerintah Indonesia dengan pemerintah dari WPLN tersebut. Namun, apabila
terdapat P3B atau Tax Treaty dengan pemerintah dari WPLN, maka ketentuan
yang berlaku adalah ketentuan yang tercantum dalam P3B atau Tax Treaty.
Kriteria BUT, objek pajak BUT dan laba setelah BUT mengacu pada isi P3B
tersebut, dan mengesampingkan ketentuan sebagaimana tercantum dalam UU PPh.
Perbedaan
perlakuan perpajakan terhadap wajib pajak luar negeri yang melakukan kegiatan
atau usaha yang melalui bentuk usaha tetap dengan yang tidak melalui bentuk
usaha tetap adalah:
a) Wajib
Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT:
1. kewajiban
perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam negeri;
2. penghasilan
yang menjadi objek pajak hanya terbatas yang bersumber di Indonesia.
b) Wajib
Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan bukan melalui
BUT:
1. dikenakan
pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia;
2. berdasarkan
penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan;
3. tidak
wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena kewajiban pajaknya
dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.
Berdasarkan
Pasal 5 ayat (1) UU PPh, yang termasuk objek pajak BUT adalah[7]:
1. Penghasilan
dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang
dimiliki atau dikuasai (penghasilan BUT yang bersangkutan).
2. Penghasilan
kantor pusat dari usaha, kegiatan, penjualan barang atau pemberian jasa di
Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan/dilakukan oleh BUT di Indonesia
(force of attraction). Pendekatan ini didasarkan kenyataan bahwa usaha atau
kegiatan kantor pusat tersebut di Indonesia masih termasuk ruang lingkup usaha
atau kegiatan yang dapat dilakukan BUT.
3. Penghasilan
berupa dividen, bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan
jaminan pengembalian utang, royalti, sewa, imbalan sehubungan dengan jasa/pekerjaan/kegiatan,
hadiah atau penghargaan, pensiun/pembayaran berkala lainnya, yang diterima oleh
kantor pusat WPLN dari Indonesia, sepanjang terdapat hubungan efektif antara
BUT-nya dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut.
Pemajakan
BUT menurut UU PPh juga menganut 2 sistem pemajakan, yaitu[8]:
1. Tarif
Tertentu
Tarif
tertentu dikenakan kepada jenis bentuk usaha tetap yang menjalankan kegiatan
usaha tertentu:
a) Kepmenkeu
No. 417/KMK.04/1996 tanggal 14 Juni 1996
PPh yang terutang atas BUT berupa cabang perusahaan pelayaran
dan penerbangan internasional sebesar 2,64% dari peredaran bruto/ kotor dan
bersifat final.
b) Kepmenkeu
No. 634/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994
PPh yang terutang kantor perwakilan dagang asing
(representative office) sebesar 0,44% dari nilai ekspor perusahaan ke
Indonesia.
2. Tarif
Umum Pasal 17 dan Pasal 23 UU PPh
Tarif
Umum Pasal 17 UU PPh dikenakan kepada jenis bentuk usaha tetap selain cabang
perusahaan pelayaran dan penerbangan internasional serta kantor perwakilan
dagang asing tersebut, dengan penghitungan sebagai berikut:
a) PPh
terutang = tarif Pasal 17 UU PPh dikalikan penghasilan kena pajak
b) Penghasilan
kena pajak = Penghasilan neto dikurangi kompensasi
c) Penghasilan
neto = Objek BUT – biaya fiskal Pasal 6 ayat (1) UU PPh dan biaya tertentu bagi
BUT.
d) PPh
26 atas laba setelah pajak khusus BUT = 20%/ tarif P3B dikalikan laba setelah
Pajak Penghasilan.
Ketentuan
Pasal 23 UU PPh mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari
modal, penyerahan jasa, atau penyelengaraan kegiatan selain yang telah dipotong
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UUPPh, yang dibayarkan atau terutang
oleh badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan,
bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
Tarif
pemotongan untuk penghasilan Pasal 23 UU PPh adalah:
1. 15%
dari jumlah bruto atas penghasilan berupa :
a) Dividen
b) bunga,
termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian
utang.
c) Royalty
d) Hadiah
dan penghargaan
2. 15%
dari perkiraan penghasilan neto atas penghasilan berupa:
a) imbalan
sehubungan dengan jasa teknik, manajemen, konstruksi, konsultan, dan jasa lain
b) sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
Dalam
menentukan besarnya laba suatu BUT juga diberikan tambahan penjelasan sebagai
berikut:
1. Biaya
administrasi kantor pusat yang boleh dikurangkan adalah biaya yang berkaitan
dengan usaha atau kegiatan BUT, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak.
2. Pembayaran
kepada kantor pusat yang tidak boleh dikurangkan adalah royalti atau imbalan
lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya,
imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya, bunga, kecuali bunga
yang berkenaan dengan usaha perbankan. Pembayaran serupa yang diterima atau
diperoleh dari kantor pusat tidak dianggap sebagai objek pajak BUT, kecuali
bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.
Pemajakan
Laba setelah Pajak BUT (Branch Profit Taxation)
1. Sebagaimana
diketahui dividen atau bagian laba hasil usaha wajib pajak dalam negeri
terutang PPh Pasal 23, dan untuk memberikan perlakuan yang sama maka laba
setelah BUT dikenakan pajak dengan tarif 20% sebagaimana tercantum dalam Pasal
26 ayat (4) UU PPh dan sisanya jika diinvestasikan kembali ke Indonesia tidak
dipotong PPh Pasal 26[9].
2. Sesuai
Kepmenkeu No.602/KMK.04/1994 jo. KMK No.113/KMK.03/2002, pengecualian pajak
setelah laba BUT dapat diberikan dengan syarat:
a) Penanaman
kembali dilakukan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan
dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri.
b) Penanaman
kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau selambat-lambatnya tahun
pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan.
c) Pengalihan
atas penanaman kembali tersebut tidak dilakukan sekurang-kurangnya dalam jangka
waktu dua tahun setelah perusahaan tempat penanaman dilakukan berproduksi
komersil.
Pada
umumnya objek BUT menurut P3B hampir sama dengan UU PPh, demikian pula pajak
setelah laba yang diperoleh BUT, namun perbedaannya adalah tarif yang lebih
rendah dari 20%.
3. Perlakuan perpajakan terhadap wajib pajak
luar negeri yang melakukan kegiatan atau usaha yang tidak memenuhi syarat
sebagai bentuk usaha tetap.
Terhadap
wajib pajak luar negeri yang menjalankan kegiatan atau usaha dan tidak memenuhi
syarat sebagai BUT, maka penghasilannya akan terutang PPh Pasal 26 UU PPh dan
kewajiban perpajakannya menjadi tanggung jawab subjek pajak dalam negeri yang
membayarkan penghasilan kepada subjek pajak luar negeri dalam bentuk wajib
memotong PPh Pasal 26[10].
Ketentuan
Pasal 26 UU PPh mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di
Indonesia yang diterima atau diperoleh wajib pajak luar negeri (orang pribadi
maupun badan) selain BUT.
Mengacu
pada pasal 2 ayat (5) UU PPh, kegiatan usaha WPLN di Indonesia yang tidak
memenuhi syarat sebagai bentuk usaha tetap dapat dikelompokkan ke dalam:
1. Kegiatan
usaha / bisnis di luar jasa
Kegiatan
usaha/business income/ active income yang diperoleh WPLN dan tidak memenuhi
syarat sebagai BUT adalah usaha dagang berupa ekspor barang langsung dari luar negeri
ke Indonesia dan tidak mempunyai tempat usaha di Indonesia. Sedangkan kegiatan
usaha industri di Indonesia tentu menimbulkan BUT di Indonesia karena adanya
tempat/fasilitas fisik. Pengenaan PPh atas kuasa pasal 2 ayat (5) tidak dapat
dilakukan karena usaha ekspor barang dari luar negeri Indonesia tidak
menimbulkan BUT, sehingga pengenaan pemajakannya dapat mengacu Pasal 26 UU PPh.
Dalam Pasal 26 UU PPh, penghasilan active income dari Indonesia yang dikenakan
pajak hanya mengenai jasa dan asuransi saja. Dengan demikian, penghasilan WPLN
berupa ekspor ke luar negeri ke Indonesia tidak dikenakan pajak di Indonesia,
dan hal tersebut selaras dengan ketentuan perpajakan internasional yang dianut
dalam OECD maupun UN Model[11].
2. Kegiatan
pemberian jasa
Pemberian
jasa di sini adalah:
a) Jasa
konstruksi, instalasi, dan perakitan yang tidak dilakukan di Indonesia. Apabila
dilakukan di Indonesia, menurut UU PPh menimbulkan BUT tanpa melihat berapa
lama jasa tersebut dilakukan di Indonesia.
b) Jasa
selain ketiga jasa tersebut di atas yang tidak dilakukan di Indonesia, atau
jasa tersebut dilakukan di Indonesia namun tidak memenuhi syarat lebih dari 60
hari dalam jangka waktu 12 bulan sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (5) UU PPh.
Karena
tidak memenuhi kriteria sebagai BUT sesuai Pasal 2 ayat (5) UU PPh, maka
pemajakan WPLN dapat mengacu pada ketentuan Pasal 26 UU PPh. Berdasarkan Pasal
26 (1) huruf d UU PPh, pembayaran jasa kepada wajib pajak luar negeri wajib
dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% dari jumlah bruto dan bersifat final.
3. Kegiatan
asuransi
Menurut
UU PPh, pengenaan PPh atas kegiatan asuransi yang diterima dari Indonesia oleh
WPLN sama dengan pengenaan PPh atas penghasilan jasa yang diterima WPLN dari
Indonesia. Apabila memenuhi kriteria BUT sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (5) UU
PPh, maka pengenaan PPh sama dengan perusahaan asuransi WPDN, yaitu berdasarkan
basis neto dan tarif Pasal 17 UU PPh. Apabila tidak memenuhi kriteria BUT, maka
terutang PPh Pasal 26 dengan mengacu Kepmenkeu No. 624/KMK.04/1994 tanggal 27
Desember 1994, yaitu:
a) 20%
x 50% x penghasilan bruto, untuk asuransi pertama (orang Indonesia membayar
premi pada perusahaan asuransi WPLN)
b) 20%
x 10% x penghasilan bruto, untuk reasuransi pertama (perusahaan asuransi
Indonesia membayar premi kepada perusahaan reasuransi WPLN).
c) 20%
x 5% x penghasilan bruto, untuk asuransi kedua dan seterusnya (perusahan
reasuransi Indonesia membayar kepada perusahaan reasuransi WPLN).
Apabila
antara pemerintah Indonesia mengadakan P3B dengan negara lain dan tidak
memenuhi kriteria BUT, maka menurut P3B pengenaan pajaknya harus mengacu kepada
P3B tersebut dan mengesampingkan ketentuan Pasal 26 UU PPh. Pada umumnya,
hampir semua P3B antara Pemerintah Indonesia dengan negara lain, Indonesia
tidak berhak sama sekali memungut PPh atas kegiatan usaha, jasa, dan asuransi
(active income) yang tidak memenuhi kriteria BUT, kecuali negara tertentu saja
antara lain: Jerman, Luxembourg, Swiss, Pakistan, dan Venezuela untuk jasa
teknik, jasa manajemen, dan konsultasi yang dilakukan di Indonesia, dikenakan
pemotongan PPh Pasal 26 meskipun pemberi jasa tidak mempunyai BUT di
Indonesia.165 PPh Pasal 26 atas penghasilan jasa teknik, manajemen, dan
konsultan di atur sebagai berikut : Jerman 7,5%, Luxemburg 10%, Swiss 5%, dan
Pakistan 15%[12].
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan yang telah diuraikan diatas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
1.
Penentuan subjek pajak sangat penting dalam
sistem pemungutan PPh karena subjek pajak adalah pihak yang dituju untuk
membayar Pajak Penghasilan. Saat bentuk usaha tetap menjadi subjek pajak dan
pada saat yang bersamaan sekaligus juga menjadi wajib pajak luar negeri, adalah
pada saat orang pribadi atau badan luar negeri mempunyai hubungan ekonomis
dengan Indonesia. Pemenuhan kewajiban perpajakan BUT dipersamakan dengan wajib
pajak dalam negeri. Bentuk usaha tetap antara lain berkewajiban mendaftarkan
diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan (SPT) sebagai sarana untuk menetapkan besarnya pajak
terutang dalam suatu tahun pajak, serta pengenaan pajaknya dilaksanakan atas
penghasilan kena pajak dengan menggunakan tarif umum seperti yang berlaku untuk
wajib pajak dalam negeri pada umumnya. Hal tersebut selaras dengan prinsip
pemajakan internasional yang menghendaki perlakuan non diskriminasi dan
kesetaraan perlakuan (equal treatment). Berdasarkan UU PPh yang berlaku di
Indonesia, bentuk usaha tetap dikenakan pajak per basis territorial yang hanya
sebatas pada penghasilan yang diperoleh dari sumber di Indonesia (tempat BUT
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan).
2.
Wajib Pajak Luar Negeri yang menerima penghasilan yang bersumber di
Indonesia dapat dilakukan dengan cara:
a)
menjalankan kegiatan atau usaha di Indonesia (active income) dan
memenuhi syarat sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT). Pemajakan terhadap BUT
menurut UU PPh bisa didasarkan pada tarif tertentu yang diatur oleh Keputusan
Menteri Keuangan dan tarif umum Pasal 17 dan 23 UU PPh.
b)
Menjalankan kegiatan atau usaha di Indonesia (active income) dan
belum memenuhi syarat sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT). Pemajakan terhadap
penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri ini terutang PPh Pasal 26 menurut UU PPh
dan kewajiban perpajakannya menjadi tanggung jawab subjek pajak dalam negeri
yang membayarkan penghasilan kepada subjek pajak luar negeri tersebut.
3.
Saran
Dan
dari kesimpulan yang telah diperoleh tersebut, perlu kiranya untuk disampaikan
saran sebagai berikut:
1. Kebijakan
pemerintah Indonesia dalam pembuatan tax treaty diharapkan akan membantu
investor asing yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia dengan perlindungan
hukum dan pengenaan pajak yang tepat sehingga mampu pula meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Indonesia.
2. Indonesia
harus segera melaksanakan deregulasi dan debirokratisasi dalam bidang
perdagangan terutama dalam bidang perpajakan sebagai salah satu sumber
penerimaan negara untuk kemandirian bangsa Indonesia serta peningkatan sumber
daya manusia aparat perpajakan Indonesia. Apalagi dengan akan dibukanya Economy
Community ASEAN dalam waktu dekat ini dimana Indonesia belum mempunyai regulasi
untuk mempersiapkan hal ini.
Daftar Pustaka
Wirawan B.Ilyas. Pajak
Penghasilan, (Jakarta : Lembaga Penerbit UI, 2007);
Jaja Zakaria. Perlakuan
Perpajakan Terhadap Bentuk Usaha Tetap, (Jakarta : PT Raja Garfindo
Persada, 2005);
Siti
Resmi. Perpajakan Teori & Kasus.
(Yogyakarta : Salemba Empat, 2007);
Gunadi.
Pajak Internasional, (Jakarta :
Fakultas Ekonomi UI,2007);
Agus
Setiawan dan Basri Musri. Perpajakan Umum, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2006).
[1]
Wirawan B.Ilyas. Pajak Penghasilan, (Jakarta : Lembaga Penerbit UI,
2007), hal.11
[2]
Jaja Zakaria. Perlakuan Perpajakan Terhadap Bentuk Usaha Tetap, (Jakarta
: PT Raja Garfindo Persada, 2005), hal. 12.
[3] Siti
Resmi. Perpajakan Teori & Kasus. (Yogyakarta : Salemba Empat, 2007), hal.
63
[4] Gunadi.
Pajak Internasional, (Jakarta : Fakultas Ekonomi UI,2007), hal. 62.
[5] Jaja Zakaria, Op.Cit.,hal. 13.
[6]
Wirawan B.Ilyas, Op.Cit,hal 149.
[7] Jaja Zakaria, Op.Cit.,hal 17.
[8]
Wirawan B.Ilyas, Op.Cit., hal. 152
[9]
Agus Setiawan dan Basri Musri. Perpajakan Umum, (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2006), hal. 116 .
[10]
Wirawan B. Ilyas, Op.Cit., hal. 34
[11] Wirawan
B.Ilyas, Op.Cit., hal. 160
[12]
Agus Setiawan, Op.Cit., hal. 113.
fvk what the hell with that font colour
BalasHapus