Selasa, 28 Oktober 2014

Hukum Tata Negara



Ilmu Hukum Tata Negara
1.   Peristilahan
Ilmu   Hukum   Tata   Negara   adalah   salah   satu  cabang   ilmu   hukum   yang   secara   khusus   mengkaji persoalan  hukum  dalam  konteks  kenegaraan.  Kita  memasuki  bidang  hukum  tata  negara,  menurut  Wirjono Prodjodikoro, apabila kita membahas norma-norma hukum  yang  mengatur  hubungan  antara  subjek  hukum orang atau bukan orang dengan sekelompok orang atau badan  hukum  yang  berwujud  negara  atau  bagian  dari negara. Dalam  bahasa  Perancis,  hukum  tata  negara disebut Droit Constitutionnel atau dalam bahasa Inggris disebut Constitutional Law. Dalam bahasa Belanda dan Jerman,  hukum  tata  negara  disebut  Staatsrecht,  tetapi dalam bahasa Jerman sering juga dipakai istilah verfassungsrecht (hukum tata negara) sebagai lawan perkataan verwaltungsrecht (hukum administrasi negara).
Dalam  bahasa  Belanda,  untuk  perkataan  hukum tata  negara  juga  biasa  dipergunakan  istilah  staatsrecht atau hukum negara (state law). Dalam istilah staatsrecht itu  terkandung  2  (dua)  pengertian,  yaitu  staatsrecht  in ruimere zin (dalam arti luas), dan staatsrecht in engere zin  (dalam  arti  sempit).  Staatsrecht  in  engere  zin  atau Hukum Tata Negara dalam arti sempit itulah yang biasanya disebut Hukum Tata Negara atau Verfassungsrecht yang  dapat  dibedakan  antara  pengertian  yang  luas  dan yang  sempit.  Hukum  Tata  Negara  dalam  arti  luas  (in ruimere  zin)  mencakup  Hukum  Tata  Negara  (verfas- sungsrecht) dalam arti sempit dan Hukum Administrasi Negara (verwaltungsrecht).
Prof.   Dr.   Djokosoetono   lebih   menyukai  peng- gunaan   verfassungslehre   daripada   verfassungsrecht. Dalam berbagai kuliahnya yang dikumpulkan oleh salah seorang mahasiswanya, yaitu Harun Alrasid, pada tahun1959,dan  diterbitkan  pertama  kali  pada  tahun  1982, Djokosoetono  berusaha  mengambil  jalan  tengah  antara Carl  Schmitt  yang  menulis  buku  Verfassungslehre  dan Hermann  Heller  dengan  bukunya  Staatslehre.  Istilah yang tepat untuk Hukum Tata Negara sebagai ilmu (constitutional law) adalah Verfassungslehre atau teori konstitusi. Verfassungslehre inilah yang nantinya akan menjadi  dasar  untuk  mempelajari  verfassungsrecht,  teru- tama  mengenai  hukum  tata  negara  dalam  arti  positif,
yaitu hukum tata negara Indonesia.
Istilah   "Hukum   Tata   Negara"   dapat   dianggap identik   dengan   pengertian   "Hukum   Konstitusi"   yang merupakan terjemahan langsung dari perkataan Constitutional Law (Inggris), Droit Constitutionnel (Perancis), Diritto  Constitutionale  (Italia),  atau  Verfassungsrecht (Jerman).  Dari  segi  bahasa,  istilah  Constitutional  Law
dalam  bahasa  Inggris  memang  biasa  diterjemahkan  sebagai "Hukum Konstitusi". Namun, istilah "Hukum Tata Negara" itu sendiri jika diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris,  niscaya  perkataan  yang  dipakai  adalah  Constitutional  Law.    Oleh  karena  itu,  Hukum  Tata  Negara dapat dikatakan identik atau disebut sebagai istilah lain
belaka dari "Hukum Konstitusi".
Di  antara  para  ahli  hukum,  ada  pula  yang  berusaha   membedakan   kedua   istilah   ini   dengan   menganggap  bahwa  istilah  Hukum  Tata  Negara  itu  lebih luas  cakupan  pengertiannya  dari  pada  istilah  Hukum Konstitusi.   Hukum   Konstitusi   dianggap   lebih   sempit karena  hanya  membahas  hukum  dalam  perspektif  teks undang-undang  dasar,  sedangkan  Hukum  Tata  Negara tidak    hanya    terbatas    pada    undang-undang    dasar.
Pembedaan   ini   sebenarnya   terjadi   karena   kesalahan dalam mengartikan perkataan konstitusi (verfassung) itu sendiri  yang  seakan-akan  diidentikkan  dengan  undang-
undang  dasar  (gerundgesetz).  Karena  kekeliruan  tersebut, Hukum Konstitusi dipahami lebih sempit daripada Hukum Tata Negara.
Perkataan "Hukum Tata Negara" berasal dari perkataan "hukum", "tata", dan "negara", yang di dalamnya dibahas  mengenai  urusan  penataan  negara.  Tata  yang terkait dengan kata "tertib" adalah order yang biasa juga diterjemahkan  sebagai  "tata  tertib".  Tata  negara  berarti sistem penataan negara, yang berisi ketentuan mengenai struktur  kenegaraan  dan  substansi  norma  kenegaraan. Dengan perkataan lain, ilmu Hukum Tata Negara dapat dikatakan merupakan    cabang ilmu hukum yang membahas    mengenai    tatanan struktur kenegaraan, mekanisme hubungan antar struktur-struktur organ atau struktur kenegaraan, serta mekanisme hubungan antara struktur negara dengan warga negara. Hanya  saja,  yang  dibahas  dalam  Hukum  Tata Negara atau Hukum Konstitusi itu sendiri hanya terbatas pada  hal-hal  yang  berkenaan  dengan  aspek  hukumnya saja.  Oleh  karena  itu,  lingkup  bahasannya  lebih  sempit daripada Teori Konstitusi sebagaimana yang dianjurkan untuk dipakai oleh Prof. Dr. Djokosoetono, yaitu Verfassungslehre atau Theorie der Verfassung.    Istilah Verfassungslehre  itu,  menurut  Djokosoetono  lebih  luas  dari- pada  Verfassungsrecht.  Theorie  der  Verfassung  lebih luas daripada  Theorie  der  Verfassungsrecht.  Untuk  kepentingan ilmu pengetahuan, Djokosoetono menganggap lebih tepat untuk menggunakan istilah "Teori Konstitusi" daripada "Hukum Konstitusi" ataupun "Hukum Tata Negara". Sebab yang dibahas di dalamnya adalah persoalan konstitusi dalam arti yang luas dan tidak hanya terbatas kepada aspek hukumnya, maka yang lebih penting adalah Theorie der Verfassung atau Verfassunglehre (Teori Konstitusi),  bukan  Theorie  der  Verfassungsrecht,  The orie der Constitutionnel Recht (Teori Hukum Konstitusi atau  Teori  Hukum  Tata  Negara),  ataupun  Theorie  der Gerundgesetz (Teori Undang-Undang Dasar).
Sejalan   dengan   penggunaan   kata   theorie   dan lehre    tersebut,    dapat    dibandingkan    pula    antara staatsrecht  dengan  staatslehre.  Dalam  staatslehre  di- bahas   mengenai   persoalan   negara   dalam   arti   luas, sedangkan staatsrecht hanya mengkaji aspek hukumnya saja,  yaitu  hukum  negara  (state  law).  Dapat  disebut beberapa  sarjana  yang  mempopulerkan  istilah  staats- lehre  ini,  misalnya  adalah  Hans  Kelsen  dalam  buku "Algemeine   Staatslehre"   dan   Herman   Heller   dalam bukunya "Staatslehre". Cakupan pengertiannya jelas le- bih   luas   daripada   staatsrecht,   seperti   halnya   verfassunglehre lebih luas daripada verfassungsrecht.
Konstitusi  atau  verfassung  itu  sendiri,  menurut Thomas Paine dibuat oleh rakyat untuk membentuk pemerintahan,  bukan  sebaliknya  ditetapkan  oleh  pemerintah untuk rakyat. Bahkan, lebih lanjut dikatakan oleh Paine bahwa "A constitution  is  a thing antecedent  to  a government and a government is only the creature of a constitution".  Konstitusi  itu  mendahului  pemerintahan, karena  pemerintahan  itu  justru  dibentuk  berdasarkan konstitusi.  Oleh  karena  itu,  konstitusi  lebih  dulu  ada daripada pemerintahan.
Pengertian  bahwa  konstitusi  mendahului  pemerintahan tetap berlaku, meskipun dalam praktik banyak negara sudah lebih dulu diproklamasikan baru undang- undang  dasarnya  disahkan.  Misalnya,  the  Federal  Con stitution of the United States of America baru disahkan pada  tanggal  17  September 1787,  yaitu  11  tahun  setelah deklarasi  kemerdekaan   Amerika   Serikat   dari   Inggris pada  tanggal  4  Juli  1776.  Bekas  negara  federasi  Uni Soviet  mengesahkan  undang-undang  dasarnya  (Konsti- tusi  Federal)  pada  tahun  1924,  setelah  2  tahun  ber- dirinya, yaitu pada 30 Desember 1922. Kerajaan Belanda  yang  sekarang  juga  baru  mengesahkan  Grondwet pada tanggal 2 Februari 1814, yaitu setelah 2 bulan dan 11  hari  sejak  proklamasi  kemerdekaannya  dari  Perancis pada tanggal 21 November 1813. Republik Indonesia sendiri    yang    sudah    diproklamasikan    sebagai    negara merdeka  dan  berdaulat  pada  tanggal  17  Agustus  1945, baru  mengesahkan  Undang-Undang  Dasar  1945  pada tanggal 18 Agustus 1945.
Dalam   ilmu   hukum   tata   negara   juga   berlaku doktrin  "teori  fiktie  hukum"  (legal  fiction  theory)  yang menyatakan  bahwa  suatu  negara  dianggap  telah  memilikikonstitusi sejak negara itu terbentuk. Terbentuknya negara  itu  terletak  pada  tindakan  yang  secara  resmi menyatakannya   terbentuk,   yaitu   melalui   penyerahan kedaulatan  (transfer  of  authority)  dari  negara  induk seperti   penjajah   kepada   negara   jajahannya,   melalui pernyataan  deklarasi  dan  proklamasi,  ataupun  melalui revolusi dan perebutan kekuasaan melalui kudeta. Secara juridis formal, negara yang bersangkutan atau pemerin- tahan  tersebut  dapat  dinyatakan   legal  secara  formal sejak   terbentuknya.   Namun,   legalitas   tersebut   masih bersifat formal dan sepihak. Oleh karena itu, derajat legi-
timasinya  masih  tergantung  kepada  pengakuan  pihak- pihak lain.
Istilah  constitution dalam  bahasa  Inggris  sepadan  dengan  perkataan  grondwet  dalam  bahasa  Belanda  dan  gerundgesetz  dalam  bahasa  Jerman.  Grond dalam   bahasa   Belanda   memiliki   makna   yang   sama dengan   Gerund   dalam   bahasa   Jerman   yang   berarti "dasar".   Sedangkan,   wet   atau   gesetz   biasa   diartikan undang-undang.     Oleh     sebab     itu,     dalam     bahasa Indonesia, grondwet itu disebut dengan istilah undang-undang dasar. Namun, para ahli pada umumnya sepakat bahwa pengertian kata konstitusi itu lebih luas daripada undang-undang  dasar.  Sarjana  Belanda  seperti L.J.  van Apeldoorn  juga menyatakan  bahwa  constitutie  itu  lebih luas daripada grondwet. Menurut Apeldoorn, grondwet itu  hanya  memuat  bagian  tertulis  saja  dari  constitutie yang   cakupannya   meliputi   juga   prinsip-prinsip   dan norma-norma dasar yang tidak tertulis. Demikian pula di
Jerman, verfassung dalam arti konstitusi dianggap lebih luas   pengertiannya   daripada   gerundgestz   dalam   arti undang-undang dasar.
Oleh karena itu, sampai sekarang, dalam bahasa Jerman,   dibedakan   antara   istilah   gerundrecht   (hak dasar),  verfassung,  dan  gerundgezet.  Kemudian  dalam bahasa Belanda juga dibedakan antara grond-recht (hak dasar), constitutie, dan grondwet. Demikian pula dalam bahasa Perancis, dibedakan antara Droit Constitutionnel dan Loi Constitutionnel. Istilah yang pertama identik dengan  pengertian  konstitusi,  sedang  yang  kedua  adalah undang-undang  dasar  dalam  arti  konstitusi  yang  tertuang  dalam  naskah  tertulis. Untuk  pengertian  konstitusi  dalam  arti  undang-undang  dasar,  sebelum  di- pakainya  istilah  grondwet,  di  Belanda  pernah  dipakai juga istilah  staatsregeling. Atas prakarsa Gijsbert Karel van Hogendorp pada tahun 1813, istilah grondwet dipakai untuk menggantikan istilah staatsregeling.
Oleh  sebab  itu,  di  negeri  Belanda,  seperti  di- katakan  oleh  Sri  Soemantri,  istilah  grondwet  itu  baru digunakan   pada   tahun   1813. Artinya,   yang   dapat diidentikkan   dengan   Undang-Undang   Dasar   negara jajahan Hindia Belanda adalah Indische Staatsregeling. Oleh sebab itu, dengan terbentuknya negara Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 pada tahun 1945, sudah seharusnya undang-undang dasar zaman Hindia Belanda ini dianggap tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kalaupun berbagai    peraturan    perundang- undangan yang diwarisi dari zaman  Hindia Belanda itu masih diberlakukan berdasarkan Aturan Peralihan UUD 1945,  maka  daya  ikatnya  tidak  lagi  berdasarkan  ketentuan Indische Staatsregeling, melainkan karena UUD 1945 sendiri tetap memberlakukannya ke dalam wilayah negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat berdasarkan  undang-undang  dasar  yang  baru,  semata- mata   untuk   mengatasi   kekosongan   hukum   (rechtsvacuum)  yang  dapat  timbul  karena  situasi  perubahan transisional sebagai negara yang baru merdeka. Semua produk hukum masa lalu, sepanjang memang masih diperlukan haruslah dilihat sebagai produk hukum  Indonesia  sendiri  yang  memang  diperlukan  untuk  negara  hukum  Indonesia.  Seperti  halnya  di  zaman kemerdekaan  sekarang  ini,  cukup  banyak  produk  pe- raturan    perundang-undangan    yang    sebagian    atau seluruh  materinya  berasal  dari  contoh-contoh  praktik hukum  di negara-negara  lain  yang  dinilai  patut  untuk dicontoh. Atas dasar alasan inilah, maka pemberlakuan produk-produk    hukum    peninggalan    zaman    Hindia Belanda dapat dibenarkan, meskipun hal itu tetap tidak menutup keharusan untuk melakukan upaya pembaruan besar-besaran terhadap produk-produk hukum masa lalu itu disesuaikan dengan kehendak perubahan zaman.
Apalagi, Indonesia dewasa ini berada dalam alam modern  yang  sangat  ditentukan  oleh  (i)  perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, (ii) sistem demokrasi yang terus tumbuh, dengan (iii) tuntutan sistem ekonomi pasar yang semakin kuat, serta (iv) diiringi pula oleh  pengaruh  globalisasi  dan  gejolak  kedaerahan  yang sangat  kuat.   Semua   ini   memerlukan   respons   sistem hukum  dan  konstitusi  yang  dapat  menjalankan  fungsi kontrol  dan  sekaligus  fungsi  pendorong  ke  arah  pembaruan  terus  menerus  menuju  kemajuan  bangsa  yang semakin  cerdas,  damai,  sejahtera,  demokratis,  dan  berkeadilan.
Definisi Hukum Tata Negara
Menurut  Paul  Scholten,  hukum  tata  negara  itu tidak  lain  adalah  het  recht  dat  regelt  de  staatsorgani- satie,  atau  hukum  yang  mengatur  mengenai  tata  organisasi  negara.  Dengan  rumusan  demikian,  Scholten hanya menekankan  perbedaan  antara  organisasi negara dari  organisasi non-negara,  seperti  gereja  dan  lain-lain. Scholten sengaja membedakan antara hukum tata negara dalam  arti  sempit  sebagai  hukum  organisasi  negara  di satu  pihak  dengan  hukum  gereja  dan  hukum  perkumpulan  perdata  di  pihak  lain  dengan  kenyataan  bahwa kedua jenis hukum yang terakhir itu tidak memancarkan
otoritas  yang  berdiri  sendiri,  melainkan  suatu  otoritas yang berasal dari negara. Jika yang diatur adalah organisasi  negara,  maka  hukum  yang  mengaturnya  itulah yang disebut sebagai hukum tata negara (constitutional law).  Mengenai  hubungan  antara  organisasi  negara dengan  warga  negara,  seperti  mengenai  soal  hak  asasi manusia, belum dipertimbangkan oleh Paul Scholten.
Menurut van der Pot, hukum tata negara adalah peraturan-peraturan   yang   menentukan badan-badan yang diperlukan beserta kewenangannya masing-masing, hubungannya satu sama lain, serta hubungannya dengan individu  warga  negara  dalam  kegiatannya. Pandangan van der Pot ini mencakup pengertian yang luas, di samping  mencakup  soal-soal  hak  asasi  manusia,  juga  menjangkau pula berbagai aspek kegiatan negara dan warga negara yang dalam definisi sebelumnya dianggap sebagai objek kajian hukum administrasi negara.
Mirip  dengan  pendapat  Paul  Scholten,  menurut J.H.A.  Logemann,  hukum  tata  negara  adalah  hukum yang mengatur organisasi negara. Negara adalah organisasi  jabatan-jabatan. Jabatan  merupakan  pengertian yuridis dari fungsi, sedangkan fungsi merupakan penger- tian  yang  bersifat  sosiologis.  Karena  negara  merupakan organisasi  yang  terdiri  atas  fungsi-fungsi  dalam  hubungannya satu dengan yang lain maupun dalam keseluru-
hannya, maka dalam pengertian juridis, negara merupakan organisasi jabatan. Hukum tata negara meliputi baik persoonsleer maupun gebiedsleer, dan merupakan suatu kategori historis, bukan kategori sistematis. Artinya, hukum tata negara itu hanya bersangkut-paut dengan gejala historis negara.
Hukum   tata   negara   (verfassungsrecht)   disebutkan  oleh  van  Apeldoorn  sebagai  staatsrecht  dalam arti   yang   sempit.   Sedangkan   dalam   arti   yang   luas, staatsrecht meliputi pula pengertian hukum administrasi negara (verwaltungsrecht atau   administratiefsrecht). Sebenarnya,    van    Apeldoorn    sendiri    dalam    karya-karyanya    tidak    banyak    membahas    soal-soal    yang berkenaan      dengan      hukum      tata      negara      (verfassungsrecht),  kecuali  mengenai  tugas-tugas  dan  kewenangan  atau  kewajiban  dan  hak-hak  alat-alat  perlengkapan  negara.  Dalam  berbagai  bukunya,  van  Apeldoorn  malah  tidak  menyinggung  sama  sekali  mengenai pentingnya  persoalan  kewarganegaraan  dan  hak  asasi manusia.
Kusumadi  Pudjosewojo,  dalam  bukunya  "Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia" merumuskan definisi yang panjang tentang Hukum Tata Negara. Menu-
rutnya,  Hukum  Tata  Negara  adalah  hukum  yang  mengatur  bentuk  negara  dan  bentuk  pemerintahan,  yang menunjukkan  masyarakat  hukum  yang  atasan  maupun yang  bawahan,  beserta  tingkatan-tingkatannya  yang  selanjutnya  menegaskan  wilayah  dan  lingkungan  rakyat dari  masyarakat-masyarakat  hukum  itu  dan  akhirnya menunjukkan  alat-alat  perlengkapan  yang  memegang kekuasaan penguasa dari masyarakat hukum itu, beserta susunan, wewenang, tingkatan imbangan dari dan antara alat perlengkapan itu.
Setelah  mempelajari  rumusan-rumusan  definisi tentang  Hukum  Tata  Negara  dari  berbagai  sumber  tersebut di atas, dapat diketahui bahwa di antara para ahli tidak terdapat kesatuan pendapat mengenai hal ini. Dari pendapat yang beragam itu kita dapat mengetahui bahwa sebenarnya:
(a)       hukum  tata  negara  itu  adalah  ilmu  yang  termasuk salah  satu  cabang  ilmu  hukum,yaitu  hukum  kenegaraan yang berada di ranah hukum publik;
(b)       definisi hukum tata negara telah dikembangkan oleh para ahli sehingga tidak hanya mencakup kajian mengenai  organ  negara,  fungsi  dan  mekanisme  hubungan antar organ negara itu, tetapi mencakup pula persoalan-persoalan yang terkait dengan mekanisme hubungan   antara   organ-organ   negara   itu   dengan warga negara;
(c)       hukum  tata  negara  tidak  hanya  merupakan  Recht atau  hukum  dan  apalagi  hanya  sebagai  Wet  atau norma hukum tertulis, tetapi juga adalah lehre atau teori,  sehingga  pengertiannya  mencakup  apa  yang disebut sebagai verfassungsrecht (hukum konstitusi) dan   sekaligus   verfassungslehre   (teori   konstitusi); dan
(d)       hukum  tata  negara  dalam  arti  luas  mencakup  baik hukum   yang   mempelajari   negara   dalam   keadaan diam   (staat   in   rust)   maupun   yang   mempelajari negara dalam keadaan bergerak (staat in beweging).
Dengan   demikian,   Ilmu   Hukum   Tata   Negara dapat  dirumuskan  sebagai  cabang  ilmu  hukum  yang mempelajari  prinsip-prinsip  dan  norma-norma  hukum yang tertuang secara tertulis ataupun yang hidup dalam kenyataan   praktik   kenegaraan   berkenaan   dengan   (i) konstitusi    yang    berisi    kesepakatan    kolektif    suatu komunitas  rakyat  mengenai  cita-cita  untuk  hidup  ber- sama   dalam   suatu   negara,   (ii)   institusi-institusi   kekuasaan   negara   beserta   fungsi-fungsinya,   (iii)   mekanisme hubungan antar institusi itu, serta (iv) prinsip-prinsip   hubungan   antara   institusi   kekuasaan   negara dengan  warga  negara.  Keempat  unsur  dalam  definisi hukum  tata  negara  tersebut  di  atas,  pada  pokoknya adalah hakikat konstitusi itu sendiri sebagai objek utama kajian  hukum  tata  negara  (constitutional  law).  Karena pada dasarnya, konstitusi itu sendiri berisi (i) konsensus antar   rakyat  untuk   hidup   bersama  dalam   suatu   komunitas bernegara dan komunitas kewarganegaraan, (ii) konsensus   kolektif   tentang   format   kelembagaan   organisasi  negara  tersebut,  dan  (iii)  konsensus  kolektif tentang  pola  dan  mekanisme  hubungan  antarinstitusi atau  kelembagaan  negara,  serta  (iv)  konsensus  kolektif tentang prinsip-prinsip dan mekanisme hubungan antara lembaga-lembaga negara tersebut dengan warga negara.
Unsur – unsur Negara
Untuk terpenuhinya suatu kelompok manusia dalam komunitas masyarakat agar dapat dikatakan sebagai organisasi kekuasaan dalam bentuk Negara apabila sudah memenuhi unsur – unsur daripada Negara. Unsur – unsur Negara tersebut terdiri dari :
Rakyat
Rakyat merupakan komunitas manusia yang berada dalam kehidupan masyarakat yang bertujuan untuk mewujudkan suatu Negara. Orang yang menjadi anggota dari masyarakat tersebut disebut warga Negara. Di dalam suatu Negara diadakan pembagian atas warga Negara atau orang asing, masih ada lagi pembagian yaitu penduduk dan bukan penduduk. Menurut Soepomo, yang di maksud penduduk ialah orang yang dengan sah bertempat tinggal tetap dalam suatu Negara. Sah artinya tidak bertentangan dengan ketentuan – ketentuan mengenai masuk dan mengadakan tempat tinggal tetap dalam Negara yang bersangkutan. Bukan penduduk ialah orang yang bertempat tinggal tidak tetap dengan tujuan tertentu di dalam Negara yang bersangkutan, di mana orang tersebut hanya sementara bertempat tinggal dengan maksud mencapai tujuan tersebut.
Asas pokok yang digunakan sebagai dasar untuk menentukan kewarganegaraan seseorang ialah “asas keturunan”(ius sanguinis). Maksudnya, warga Negara suatu Negara itu semula terdiri dari orang – orang yang mempunyai satu keturunan dari satu nenek moyang. Kemudian keturunan yang dilahirkan yang disebabkan oleh temapt dimana faktor keberadaan bertempat tinggal bersama akan turut juga menentukan terhadap kewarganegaraan seseorang, hal ini disebut dengan “asas domisili” atau (ius soli).
Dalam hokum tata Negara, di katakan bahwa seseorang yang memiliki dua status kewarganegaraan maka disebut “bipatride” sedangkan orang yang tidak memiliki status kewarganegaraannya yang di sebabkan karena tidak menjadi warga Negara dari suatu Negara atau kehilangan kewarganegaraannya disebut “apatride”.


Wilayah
Wilayah yaitu bagian muka bumi tertentu yang di jadikan tempat utama bagi warga Negara untuk melaksanakn organisasi Negara, menjadi tempat untuk menjalankan tugas dalam usaha untuk mencapai tujuannya. Hak Negara untuk menjalankan kekuasaan atas wilayahnya itu dapat dipisah – pisahkan dalam beberapa hak, antara lain :
Hak Negara atas penghormatan daerahnya oleh daerah lain.
Hal Negara untuk menentukan kedudukan daerahnya, termasuk melepaskan sebagian dari daerahnya.
Hak Negara unrtuk menjalankan tindakan – tindakan penguasa dalam daerahnya.
Pemerintahan yang Berdaulat
Secara sederhana dapat di ungkapkan menurut hokum tata Negara, pemerintahan yang berdaulart itu akan terbagi menjadi beberapa teori dari pada kedaulatan itu, di antaranya : teori kedaulatan Tuhan , teori kedaulatan Raja, teori kedaulatan Negara , teori kedaulatan hokum, dan teori kedaulatan rakyat. Ciri dari masing – masing bentuk pemerintahan yang berkedaulatan baik kedaulatan Tuhan, Raja, Negara, Hukum, Rakyat itu dapat di lihat dari cara pemberian kekuasaan itu di jalankan oleh penguasa Negara.
Pengakuan dari Negara Lain.
Pengakuan Negara berdasarkan hokum tata Negara itu dapat di bedakan menjadi dua pengakuan yaitu :
Pengakuan de facto
Pengakuan de yure
Untuk pengakuan yang bersifat “de facto” bagi Negara yang baru berdiri yaitu, apabila Negara itu sudah memenuhi kualifikasi untuk dapat di katakan sebagai sebuah Negara. Di katakan sebagai sebuah Negara berdasarkan kualifikasi hokum tata Negara apabila Negara tersebut sudah memenuhi syarat dan unsur – unsur daripada Negara yaitu minimal harus ada rakyat, wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat. Menyangkut pemerintahan yang berdaulat dalam prespektif kualifikasi agar dikatakan sebagai sebuah Negara adalah, apabila Negara tersebut sudah mampu melakukan penyelenggaraan Negara secara mandiri. Sedangkan untuk pengakuan yang bersifat “de yure” atau pengakuan secara hokum (terutama hokum internasional) itu dimaksudkan agar Negara- Negara di dunia ini mengakui otoritas daripada sebuah Negara yang baru berdiri tersebut. Sehingga dari pengakuan Negara – Negara yang ada di dunia ini, Negara baru tersebut dapat melakukan hubungan diplomatic dengan Negara lain baik yang bersifat “bilateral” maupun “multilateral”.
Hukum Tata Negara Formil dan Materiel
J.H.A. Logemann, dalam bukunya "Staatsrecht", membedakan   antara   formeele   stelselmatigheid   dan materieele stelselmatigheid.     Istilah yang pertama adalah  hukum  tata  negara,  sedangkan  yang  kedua  adalah asas-asas hukum tata  negara. Perbedaan keduanya  seakan-akan adalah perbedaan antara bentuk dan isi, antara vorm  en  inhoud,  atau  antara  stelsel  en  beginsel.  Vorm adalah bentuk, sedangkan inhoud adalah isinya. Beginsel
adalah  asas-asasnya,  sedangkan  stelsel  adalah  pelembagaannya.  Istilah  vorm  en  inhoud  dipakai  oleh  van Vollenhoven  seperti  dalam  Vorm  en  Inhoud  van  het Internationale  Recht. Sedangkan  Ter  Haar  Bzn  menggunakan istilah beginsel en stelsel seperti dalam Beginsel en Stelsel van het Adatrecht.
Seperti  halnya  undang-undang,  menurut  Djokosoetono,  konstitusi  yang  menjadi  objek  kajian  hukum tata negara materiel dan formil juga mempunyai tiga arti, yaitu  dalam  arti  materiel,  dalam  arti formil,  dan  dalam arti naskah yang terdokumentasi. Menurutnya, undang- undang dapat dilihat:
a.         dalam  arti  materiel,  algemene  verbindende  voorschriften;
b.         dalam  arti  formil,  yaitu  bahwa  undang-undang  itu telah mendapat persetujuan (wilsovereen-stemming) bersama antara Pemerintah dan DPR; dan
c.         dalam arti naskah hukum yang harus terdokumentasi (gedocumenteerd)  dalam  Lembaran  Negara  supaya bersifat bewijsbaar atau dapat menjadi alat bukti dan stabil sebagai satu kesatuan rujukan.

Demikian   pula   konstitusi   yang   menjadi   objek kajian  hukum  tata   negara  juga   mempunyai  tiga  pengertian, yaitu:
a.         Constitutie  in  materiele  zin  dikualifikasikan  karena isinya (gequalificerd naar de inhoud), misalnya berisi  jaminan  hak  asasi,  bentuk  negara,  dan  fungsi-fungsi pemerintahan, dan sebagainya;
b.        Constitutie  in  formele  zin,  dikualifikasikan  karena pembuatnya  (gequalificerd  naar  de  maker),  misalnya oleh MPR;
c.         Naskah  Grondwet,  sebagai  geschreven   document, misalnya harus diterbitkan dalam Lembaran Negara, voor de bewijsbaarheid en voor de stabiliteit sebagai satu kesatuan rujukan, yaitu sebagai naskah kenegaraan   yang   penting   atau   belangrijke   staatkundige stukken.

Hukum Tata Negara Statis dan Dinamis
Hukum  Tata  Negara  juga  dapat  dibedakan  antara sifatnya yang statis dan dinamis. Ilmu Hukum Tata Negara itu disebut sebagai ilmu yang statis apabila negara yang  dijadikan  objek  kajiannya  berada  dalam  keadaan statis  atau  keadaan  diam  (staat  in  rust).  Hukum  Tata Negara  yang  bersifat  statis  inilah  yang  biasa  disebut sebagai Hukum Tata Negara dalam arti sempit. Sedangkan Hukum Tata Negara dalam arti luas, mencakup Hu- kum  Tata  Negara  dalam  arti  dinamis,  yaitu  manakala negara sebagai objek  kajiannya ditelaah dalam keadaan bergerak  (staat  in  beweging).  Pengertian  yang  terakhir inilah  yang  biasa  disebut  sebagai  bidang  Ilmu  Hukum Administrasi Negara (Administrative Law, Verwaltungsrecht).
Perhatian pokok ilmu Hukum Tata Negara (Verfassungsrecht,  Constitutional  Law,  Droit  Constitutionnel) adalah menyangkut struktur hukum dan kehidupan bernegara,  sedangkan  ilmu  Hukum  Administrasi  Negara memusatkan  perhatian  pada  substansi  sistem  pengambilan keputusan dalam kegiatan berpemerintahan.
yang terkait dengan fungsi-fungsi administrasi  negara  atau  tata  usaha  negara  tersebut  sangatlah luas cakupannya. Seperti dikatakan oleh Profesor Kusumadi Pudjosewojo, yaitu: "Hukum  tatausaha  meliputi  keseluruhan  aturan  hukum yang  menentukan  secara  bagaimana  alat-alat  perlengkapan negara yang bersangkutan hendaknya bertingkah laku  dalam  mengusahakan  tugas-tugas  pemerintahan, perundang-undangan, pengadilan, keuangan, hubungan luar  negeri,  dan  pertahanan  negara  beserta  keamanan umum".
Norma  hukum  yang  mengatur  kesemua  aktifitas demikian itu disebut sebagai hukum administrasi negara atau biasa disebut pula dengan istilah hukum tata usaha negara,  dan  ilmu  yang  membahasnya  disebut  ilmu  Hukum Administrasi Negara atau ilmu Hukum Tata Usaha Negara (Verwaltungsrechtlehre).

Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
Di berbagai negara, kedua cabang ilmu hukum ini seringkali  disebutkan  secara  bersama-sama  secara  berangkai. Di berbagai universitas di negeri Belanda, misalnya,  cabang  ilmu  ini  disebut  dengan  perkataan  "Staats en Administratief Recht" sebagai mata kuliah tersendiri yang diajarkan oleh seorang guru besar. Di Amerika Seri-kat  dan  Inggris, banyak  pula  dijumpai  buku-buku  teks hukum  yang  diberi  judul  "Constitutional  and  Administrative  Law",  atau  bahkan  "Textbook  on  Constitutional and  Administrative  Law".  Namun,  kedua  bidang  ilmu hukum ini biasa juga dibedakan sebagai dua cabang ilmu
yang tersendiri. Sedangkan di Jerman, biasa dikenal ada istilah Verfassungsrecht und Verwaltungs-recht.
Namun demikian, keduanya tetap dapat dibedakan antara  satu  sama  lain.  Dalam  arti  luas,  Hukum  Tata Negara  itu  sendiri  memang  mencakup  juga  pengertian hukum tata negara dalam arti sempit dan hukum administrasi negara. Bagi mereka yang menyetujui pendapat Oppenheim, perbedaan di antara keduanya dikaitkan dengan  perbedaan  antara  objek  negara  yang  dikaji,  yaitu negara  dalam  keadaan  diam  (staat  in  rust)  atau  dalam
keadaan bergerak (staat in beweging). Akan tetapi, hukum tata negara di samping mempelajari aspek statisnya, juga  mempelajari  berbagai  aspek  dinamis  dari  negara.
Menurut  van  Vollenhoven,68 Hukum  Tata  Negara adalah  rangkaian  peraturan  hukum  yang  mendirikan badan-badan  sebagai  alat  (organ)  suatu  negara  dengan memberikan  wewenang  kepada  badan-badan  itu,  dan membagi-bagi   pekerjaan   pemerintah   kepada   banyak alat-alat  negara,  baik  yang  tinggi  maupun  yang  rendah
kedudukannya.  Sedangkan,  Hukum  Tata  Usaha  Pemerintahan digambarkan oleh van Vollenhoven sebagai serangkaian   ketentuan   yang   mengikat   alat-alat   negara, baik yang tinggi maupun yang rendah, pada waktu alat- alat negara itu mulai menjalankan pekerjaan dalam menunaikan  tugasnya,  seperti  yang  ditetapkan  dalam  Hukum Tata Negara.
Van Vollenhoven  mengartikan  Hukum  Administrasi  Negara meliputi  seluruh  kegiatan  negara  dalam  arti  luas,  tidak hanya   terbatas   pada   tugas   pemerintahan   dalam   arti sempit  saja.  Hukum  Administrasi  Negara  itu,  menurutnya,  juga  meliputi  tugas peradilan,  polisi,  dan  tugas membuat  peraturan. Menurutnya,  Hukum  Administrasi
Negara dalam arti luas itu dapat dibagi dalam 4 (empat) bidang, yaitu:
1)   bestuursrecht (hukum pemerintahan) ;
2)   justitierecht (hukum peradilan);
3)   politierecht (hukum kepolisian); dan
4)   regelaarsrecht (hukum perundang-undangan).
Negara terpaksa mengambil sebagian tanah rakyat untuk kepentingan tersebut. Lazimnya penyitaan ini dilakukan dengan ganti rugi kepada rakyat yang bersangkutan. Dapat juga misalnya Pemerintah memberi konsesi atas na- ma  perusahaan-perusahaan  (nuts-bedrijven)  untuk  kepentingan umum.
Sementara itu, Logemann dalam bukunya "Over de theorie van en stellig staatsrecht" mengadakan perbedaan  yang  tajam  antara  Hukum  Tata  Negara  dan  Hukum Administrasi   Negara.   Untuk   membedakannya,   Logemann bertitik tolak dari sistematika hukum pada umumnya yang meliputi tiga hal, yaitu:
1)   ajaran tentang status (persoonsleer);
2)   ajaran tentang lingkungan (gebiedsleer);
3)   ajaran  tentang hubungan hukum (leer  de  rechtsbetrekking).
Berhubung   Hukum   Tata   Negara   dan   Hukum Administrasi Negara merupakan suatu jenis hukum yang tersendiri  (als  byzonder  soort  van  recht)  yang  mem- punyai obyek penyelidikan hukum, maka sistematika hukum pada umumnya dapat diterapkan pula terhadap Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara. Sistematika yang dibuat oleh Logemann, dibagi sebagai berikut:
1)   Hukum Tata Negara dalam arti sempit meliputi:
a.         persoonsleer yaitu mengenai persoon dalam arti hukum yang meliputi hak dan kewajiban manusia,   personifikasi,   pertanggungjawaban,   lahir dan  hilangnya  hak  dan  kewajiban  tersebut,  hak organisasi, batasan-batasan dan wewenang;
b.         gebiedsleer,   yang   menyangkut   wilayah   atau lingkungan di mana hukum itu berlaku dan yang termasuk  dalam  lingkungan  dimaksud  adalah waktu,   tempat,   manusia   atau   kelompok,   dan benda.
2). Hukum Administrasi Negara meliputi ajaran mengenai hubungan-hubungan hukum (leerder rechtsbetrekkingen).
Dengan  demikian,  menurut  J.H.A.  Logemann, dapat  dikatakan  bahwa  ilmu  Hukum  Tata  Negara  itu mempelajari:
a.         susunan dari jabatan-jabatan;
b.         penunjukan mengenai pejabat-pejabat;
c.         tugas dan kewajiban yang melekat pada jabatan itu;
d.         kekuasaan  dan  wewenang  yang  melekat  pada  jabatan;
e.         batas wewenang dan tugas dari jabatan terhadap daerah dan orang-orang yang dikuasainya;
f.          hubungan antar jabatan;
g.         penggantian jabatan;
h.         hubungan antara jabatan dan pemegang jabatan.
Hukum   Administrasi   Negara   mempelajari   jenis, bentuk, serta akibat hukum yang dilakukan oleh para pejabat dalam melakukan tugasnya.
Kita  harus  menyadari  bahwa  masih  banyak  hal lain yang diatur oleh Hukum Tata Negara selain hanya soal  tugas  dan  wewenang  dari  alat-alat  atau  organ- organ  negara.  Dalam  Hukum  Tata  Negara,  baik  menurut Stellinga maupun menurut Hans Kelsen, seorang warga   negara   pun   mempunyai   hak   dan   kewajiban berdasarkan  peraturan  perundang-undangan.  Pendek kata,  seperti  dikemukakan  oleh  Hans  Kelsen,  kriteria
terpenting   adalah   ada   tidaknya   (i)   norm   creating function, dan (ii)  norm  applying  function yang terkait dengan  subjek  hukum  tertentu. Jika  kedua  fungsi  itu ada,  maka menurut  Hans  Kelsen,  subjek  hukum  yang menyandangnya dapat disebut sebagai organ atau state organ,  dan  menurut  Stellinga,  norma-norma  hukum yang mengatur cara menjalankan hak dan kewajiban itu termasuk dalam bidang Hukum Administrasi Negara.
Begitu  pula  Vegting  ketika  menyampaikan  pidato jabatannya dengan judul "Plaats en aard van het Administratiefsrecht", seperti halnya Kranenburg dalam "Het algemene  Nederlandsch  Administratiefsrecht",  menjelaskan bahwa Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi  Negara  mempunyai  lapangan  penyelidikan  yang sama. Perbedaan keduanya hanya terletak pada cara pendekatan  yang  dipergunakan  oleh  masing-masing  ilmu
pengetahuan  itu  mengadakan  penyelidikan  ilmiah.  Hukum Tata Negara berusaha mengetahui seluk beluk organisasi negara dan badan-badan lainnya. Sedangkan, Hukum Administrasi Negara menghendaki bagaimana caranya  negara  serta  organ-organ  negara  itu  menjalankan tugasnya. Vegting tidak membedakan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara karena pembatasan wewenang  (competentie  afbakening)  melainkan  karena caranya negara bertindak itu saja pun sudah merupakan pembatasan  wewenang  juga.  Artinya,  bagi  Vegting,  Hukum  Tata  Negara  itu  mempunyai  obyek  penyelidikan yang  berkenaan  dengan  hal-hal  yang  pokok  mengenai organisasi Negara, sedangkan objek penyelidikan Hukum Administrasi  Negara  adalah  peraturan-peraturan  yang bersifat teknis.
Asas – asas Hukum Administrasi Negara :
a)      Asas kepastian hukum
b)      Asas keseimbangan
c)      Asas kesamaan dalam mengambil keputusan
d)     Asas bertindak cermat
e)      Asas motivasi
f)       Asas larangan untuk mencampur adukkan kewenangan
g)      Asas perlakuan yang jujur
h)      Asas keadilan atau kewajaran
i)        Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal
j)        Asas perlindungan atas pandangan hidup
k)      Asas penyelenggaraan kepentingan umum
HUKUM ACARA MK
Sejarah MK
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.
Dasar Hukum Acara MK-RI
  1. Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (Pasal 7 B dan 24C)
  2. Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Pasal 28 sampai engan Pasal 85);
  3. Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK)
  4. Dalam praktik
Peraturan Mahkamah Konstitusi RI
  1. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 21/PMK/2009
Pedoman beracara dalam memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
  1. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 19/PMK/2009
Tata Tertib Persidangan
  1. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 18/PMK/2009
Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filing) Dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video Conference)
  1. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 17/PMK/2009
Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum presiden Dan Wakil Presiden
  1. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 16/PMK/2009
Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
  1. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 15/PMK/2008
Pedoman BeracaraDalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah
  1. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 14/PMK/2008
Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
  1. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 12/PMK/2008
Tentang Prosedur Beracara Partai Politik
  1. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 11/PMK/2006
Tentang Pedoman Administrsi yustisial mahkamah Konstitusi
  1. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 08/PMK/2006
Tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara
  1. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 07/PMK/2005
Tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi
  1. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 06/PMK/2005
Tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang
  1. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 05/PMK/2004
Tentang Prosedur Pengajuan Keberatan atas Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004
  1. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 04/PMK/2004
Tentang Pedoman Beracara dalam Persidangan Hasil Pemilihan Umum
  1. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 03/PMK/2003
Tentang Tata Tertib Persidangan pada Mahkamah Konstitusi
  1. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 02/PMK/2003
Tentang Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku
  1. Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 001/PMK/2003
Tentang Tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang Tentang MK
  1. Pasal 28 – Pasal 49: Ketentuan hukum acara yang bersifat umum
  2. Pasal 50 – Pasal 60 untuk Pengujian Undang-undang
  3. Pasal 61 – Pasal 67 untuk Sengketa Kewenangan Lembaga Negara
  4. Pasal 68 – Pasal 73 untuk Pembubaran Partai Politik
  5. Pasal 74 – Pasal 79 untuk Perselisihan Hasil Pemilu
  6. Pasal 80 – Pasal 85 untuk Pendapat DPR (Ps. 7B UUD)
Asas-Asas Umum Dalam Peradilan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi dalam rangka menjalankan kewenangannya sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman memiliki panduan dalam menjalankan persidangan. Panduan tersebut berupa asas-asas hukum yang digunakan sebagai pegangan bagi para hakim dalam menjalankan tugasnya mengawal konstitusi. Asas tersebut meliputi:
Persidangan Terbuka Untuk Umum
Pasal 19 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa pengadilan terbuka untuk umum kecuali undang-undang menentukan lain. Hal ini juga berlaku bagi persidangan pengujian undang-undang. Dalam Pasal 40 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa persdiangan terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim. Persidangan yang terbuka merupakan sarana pengawasan secara langsung oleh rakyat. Rakyat dapat menilai kinerja para hakim dalam memutus sengketa konstitusional.
Independen Dan Imparsial
MK merupakan pemegang kekuasaan kehakiman yang bersifat mandiri dan merdeka. Sifat mandiri dan merdeka berkaitan dengan sikap imparsial (tidak memihak). Sikap independen dan imparsial yang harus dimiliki hakim bertujuan agar menciptakan peradilan yang netral dan bebas dari campur tangan pihak manapun. Sekaligus sebagai upaya pengawasan terhadap cabang kekuasaan lain. Selain itu hakim MK juga menjunjung tinggi konstitusi sebagai bagian dalam sengketa pengujian undang-undang. Apabila hakim tidak dapat menempatkan dirinya secara imbang merupakan penodaan terhadap konstitusi.
Peradilan Cepat, Sederhana, Dan Murah
Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman mengamanatkan bahwa peradilan harus dilaksanakan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan. Dalam prakteknya MK membuat terobosan besar dengan menyediakan sarana sidang jarak jauh melalui fasilitas video conferrence. Hal ini merupakan bagian dari upaya MK mewujudkan persidangan yang efisien.MK merupakan salah satu lembaga Negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelanggarakan peradilan,mencakup
  • Imparsialitas Fungsional
  • Imparsial structural
  • Imparsial Institusional
  • Imparsial Individual,(Psl 2 UU No. 24 Thn 2003)
Putusan Bersifat Erga Omnes
Berbeda dengan peradilan di MA yang bersifat inter partes artinya hanya mengikat para pihak bersengketa dan lingkupnya merupakan peradilan umum. Pengujian undang-undang di MK merupakan peradilan pada ranah hukum publik. Sifat peradilam di MK adalah erga omnes yang mempunyai kekuatan mengikat. Dengan demikian putusan pengadilan berlaku bagi siapa saja-tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa.
Hak Untuk Didengar Secara Seimbang (Audi Et Alteram Partem)
Dalam berperkara semua pihak baik pemohon atau termohon beserta penasihat hukum yang ditunjuk berhak menyatakan pendapatnya di muka persidangan. Setiap pihak mempunyai kesempatan yang sama dalam hal mengajukan pembuktian guna menguatkan dalil masing-masing.
Hakim Aktif Dan Pasif Dalam Persidangan
Karakteristik peradilan konstitusi adalah kental dengan kepentingan umum ketimbang kepentingan perorangan. Sehingga proses persidangan tidak dapat digantungkan melulu pada inisiatif para pihak. Mekanisme constitutional control harus digerakkan pemohon dengan satu permohonan dan dan dalam hal demikian hakim bersifat pasif dan tidak boleh aktif melakukan inisiatif untuk melakukan pengujian tanpa permohonan.

Ius Curia Novit
Pasal 16 UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan pengadilan tidak boleh menolak memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih tidak ada dasar hukumnya atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Dengan demikian pengadilan dianggap mengetahui hukum. Asas ini ditafsirkan secara luas sehingga mengarahkan hakim pada proses penemuan hukum (rechts vinding) untuk menemukan keadilan.
Mekanisme Beracara Dalam Judicial Review
Judicial Review merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan.
Prinsip-Prinsip Hukum Acara Judicial Review
Proses judicial review dalam perumusan hukum acaranya terikat oleh asas-asas publik. Di dalam hukum acara dikenal dua jenis proses beracara yaitu “contentious procesrecht” atau hukum acara sengketa dan “non contentieus procesrecht” atau hukum acara non-sengketa. Untuk judicial review, selain digunakan hukum sengketa (berbentuk gugatan) juga digunakan hukum acara non sengketa yang bersifat volunteer (atau tidak ada dua pihak bersengketa/berbentuk permohonan).
Bila menelaah asas-asas hukum publik yang salah satunya tercermin pada asas hukum acara peradilan administrasi, maka proses beracara judicial review seharusnya juga terikat pada asas tersebut. Asas tersebut adalah:
a.      Asas Praduga Rechtmatig
Putusan pada perkara judicial review seharusnya merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap pada saat putusan dibacakan dan tidak berlaku surut. Pernyataan tidak berlaku surut mengandung makna bahwa sebelum putusan dibacakan, obyek yang menjadi perkara harus selalu dianggap sah atau tidak bertentangan sebelum putusan Hakim atau Hakim Konstitusi menyatakan sebaliknya.
b.      Putusan Memiliki Kekuatan Mengikat (Erga Omnes)
Kewibawaan suatu putusan yang dikeluarkan institusi peradilan terletak pada kekuatan mengikatnya. Putusan suatu perkara judicial review haruslah merupakan putusan yang mengikat para pihak dan harus ditaati oleh siapapun. Dengan asas ini maka tercermin bahwa putusan memiliki kekuatan hukum mengikat dan karena sifat hukumnya publik maka berlaku pada siapa saja–tidak hanya para pihak yang berperkara.
Pengajuan Permohonan Atau Gugatan. 
Dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 disebutkan bahwa pengajuan judicial review dapat dilakukan baik melalui gugatan mapun permohonan. Sedangkan dalam PERMA No. 2 Tahun 2002 untuk berbagai kewenangan yang dimiliki oleh MK (dan dijalankan oleh MA hingga terbentuknya MK) tidak disebutkan pembedaan yang jelas untuk perkara apa harus dilakukan melalui gugatan dan perkara apa yang dapat dilakukan melalui permohonan, atau dapat dilakukan melalui dua cara tersebut. Akibatnya dalam prakteknya terjadi kebingungan mengingat tidak diatur pembedaan yang cukup signifikan dalam dua terminologi ini.
PERMA No. 1 tahun 1999 mengatur batas waktu 180 hari suatu putusan dapat diajukan judicial review. Sedangkan dalam PERMA No. 2 tahun 2002, jangka waktu untuk mengajukan judicial review hanyalah 90 hari. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pembatasan ini menimbulkan permasalahan mengingat produk hukum yang potensial bermasalah adalah produk hukum pada masa orde baru dan masa transisi. Selain itu pembatasan waktu ini juga menafikan kesadaran hukum masyarakat yang tidak tetap dan dinamis.
Alasan Mengajukan Judicial Review.
Baik dalam Amandemen ke III UUD 1945 tentang wewenang MK dan MA atas hak uji materiil, yang kemudian dituangkan lebih lanjut sebelum keberadaan MK melalui PERMA No. 2 Tahun 2002, maupun dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 tidak disebutkan alasan yang jelas untuk dapat mengajukan permohonan/gugatan judicial review. Dalam PERMA hanya disebutkan bahwa MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang atau dalam hal pengajuan keberatan adalah alasan dugaan peraturan tersebut bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Sedangkan Amandemen hanya menyebutkan obyek judicial review saja dan siapa yang berwenang memutus.
Namun pada umumnya beberapa alasan yang dapat dijadikan alasan untuk pengajuan judicial review adalah sebagai berikut :
  • Bertentangan dengan UUD atau peraturan lain yang lebih tinggi.
  • Dikeluarkan oleh institusi yang tidak bewenang untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
  • Adanya kesalahan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
  • Terdapat perbedaan penafsiran terhadap suatu peraturan perundang-undangan.
  • Terdapat ambiguitas atau keraguraguan dalam penerapan suatu dasar hukum yang perlu diklarifikasi
Pihak Yang Berhak Mengajukan Judicial Review.
Dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materiil disebutkan bahwa Penggugat atau Pemohon adalah badan hukum, kelompok masyarakat. Namun tidak dijelaskan lebih lanjut badan hukum atau kelompok masyarakat yang dimaksud dalam PERMA ini seperti apa. Yang seharusnya dapat menjadi pihak (memiliki legal standing) dalam mengajukan permintaan pengujian UU adalah mereka yang memiliki kepentingan langsung dan mereka yang memiliki kepentingan yang tidak langsung. Rasionya karena sebenarnya UU mengikat semua orang.
Jadi sebenarnya semua orang “harus” dianggap berkepentingan atau punya potensi berkepentingan atau suatu UU. Namun bila semua orang punya hak yang sama, ada potensi penyalahgunaan hak yang akhirnya dapat merugikan hak orang lain. Namun karena pengajuan perkara dapat dilakukan oleh individu maka sangat mungkin dampaknya adalah pada menumpuknya jumlah perkara yang masuk.
Putusan Dan Eksekusi Putusan.
Dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 disebutkan bahwa bila dalam 90 hari setelah putusan diberikan pada tergugat atau kepada Badan/Pejabat TUN, dan mereka tidak melaksanakan kewajibannya, maka peraturan perundang-undangan yang dimaksud batal demi hukum. Putusan dibacakan di sidang yang terbuka untuk umum, putusan yang sudah diambil mengikat.
Kurang lebih ada dua alternatif yang dapat ditawarkan untuk perbaikan di kemudian hari, yaitu : Alternatif pertama, segala peraturan atau kelengkapan dari peraturan yang diputuskan tidak konstitusional kehilangan pengaruhnya sejak hari dimana putusan tersebut dibuat. Dengan catatan peraturan atau kelengkapan darinya sehubungan dengan hukum pidana kehilangan pengaruhnya secara retroaktif. Dalam hal demikian maka dimungkinkan dibuka kembali persidangan mengingat tuduhan didasarkan pada peraturan yang dianggap inkonstitusional; Alternatif kedua, dapat diberikan kewenangan bagi MA ataupun MK (nantinya) untuk memutus dampak atas masing-masing putusan apakah berdampak pada peraturan yang timbul sejak pencabutan dilakukan (ex nunc) atau berdampak retroaktif (ex tunc).
Dalam hal pencabutan putusan secara extunc, complaint individu terhadap suatu peraturan yang bersangkutan harus memiliki dampak umum (erga omnes), karena landasan hukum suatu putusan pengadilan atau penetapan administrative telah dinyatakan batal demi hukum atau dalam proses pembatalan. Dengan demikian peraturan yang berlaku individu yang didasarkan pada landasan hukum yang serupa juga menjadi tidak berlaku.
Di sini prinsip jaminan terhadap individu di satu sisi dan prinsip kepastian hukum di sisi lain harus berjalan seimbang. Setidaknya putusan dalam perkara kriminal harus dapat dibuka kembali oleh peradilan biasa dengan berdasarkan adanya pembatalan dari norma hukum pidana yang menjadi dasar dari putusan tersebut.
Daftar Pustaka
Mokhammad Najih, Soimin, Pengantar Hukum Indonesia, Setara Press, Malang, 2012
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Tata Negara, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006

Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar