Kamis, 30 Oktober 2014

Analisa Kasus Pengampuan (Curatela) menurut KUH Perdata



Kajian Pustaka
Pengampuan ( curatele)
            Orang yang ditaruh dibawah pengampuan adalah orang dewasa akan tetapi karena beberapa sebab orang tersebut tidak dapat bertindak secara leluasa. Pada prinsipnya pengampuan berbeda dengan perwalian. Pengampuan disebut curatele; Pengampu disebut curator dan Curandus adalah orang berada dibawah pengampuan.
            Didalam undang – undang terdapat beberapa ketentuan yakni:
1.      Setiap keluarga sedarah berhak meminta pengampuan seorang keluarga sedarahnya, berdasar atas keadaannya dungu, sakit otak atau gelap mata, berdasar atas keborosannya, pengampuan hanya boleh diminta oleh para keluarga semendanya dalam garis menyimpang sampai dengan derajat keempat.
Dalam hal yang satu dan yang lain, seorang suami atau istri boleh meminta pengampuan akan istri atau suaminya. “barang siapa karena kelemahan kekuatan akalnya, merasa tak cakap mengurus kepentingan – kepentingan diri sendiri sebaik – baiknya, diperbolehkan meminta pengampuan bagi diri sendiri.” Ketentuan ini diatur di dalam pasal 434 KUH Perdata.
2.      Sedangkan dari alternatif lain dari ketentuan pasal 434 diatur lebih jelas di dalam pasal berikutnya, yakni jika dalam hal adanya keadaan mata gelap, pengampuan tidak diminta oleh mereka yang tersebut dalam pasal yang lalu, maka Jawatan Kejaksaan adalah wajib menuntutnya.
Dalam hal adanya keadaan dungu atau sakit otak, pengampuan boleh ditntut juga oleh Jawatan Kejaksaan akan seorang, yang tidak mempunyai suam atau istri , pun tak mempunyai keluarga sedarah yang dikenal di Indonesia.
3.      Pengangkatan seorang pengampu oleh Pengadilan diberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan sesuai ketentuan pasal 449 yang apabila keputusan untuk pengampuan, telah memperoleh kekuatan mutlak, maka diangkat oleh Pengadilan seorang pengampu. Pengangkatan itu segera diberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan. Pengampuan pengawas diperintahkan kepada Balai. Dalam hal demikian, berakhirlah segala usaha pengurus sementara, yang mana karena itu berwajib mengadakan perhitungan tanggung jawab atas pengurusannya kepada pengampu; sekiranya dia sendirilah yang di angkat menjadi pengampu, maka perhitungan tanggung jawab tadi harus dilakukan kepada pengampu pengawas.
4.      Disamping itu dapat terjadi pengampuan antara suami istri yang secara otentik diatur dalam pasal 351 yang ditegaskan bahwa :”Kecuali alasan – alasan penting menghendaki pengangkatan seorang lain menjadi pengampu, suami atau istri harus diangkat menjadi pengampu bagi istri atau suaminya, dengan tidak mewajibkan kepada si isteri untuk mengenakan sesuatu bantuan atau kuasa apapun juga, guna menerima pengangkatan itu.
5.      Akibat dari pengampuan tersebut secara otentik diatur disetiap orang ditaruh di bawah pengampuan, mempunyai kedudukan yang sama dengan seorang belum dewasa. Jika seorang yang karena keborosannya ditaruh di bawah pengampuan, hendak mengikat diri dalan perkawinan, maka ketentuan – ketentuan pasal 38 dan 151 berlaku terhadapnya. Ketentuan – ketentuan undang – undang mengenai perwalian atas anak – anak belum dewasa tercantum dalam pasal 331 sampai dengan 344, dalam pasal 362, 367, 369, sampai 388, 391 dan berikutnya dalam bagian kesebelas keduabelas ketiga belas-bab kelima belas, berlaku juga terhadap pengampuan.
6.      Menurut undang – undang dapat pula terjadi si terampu telah memiliki anak – anak belum dewasa yang di dalam pasal 453 di tentukan bahwa “jika si terampu mempunyai anak – anak belum dewasa, yang mana ia memangku kekuasaan orang tuanya, sedangkan isteri atau suaminya telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua, atau menurut pasal 246 tidak diperintahkan memangku kekuasaan orang tua atau berada dalam ketakmampuan untuk memangkunya. Sepertipun jika si terampu menjadi wali atas anak – anaknya sekandung, maka si pengampu adalah demi hukum wali atas anak – anak belum dewasa itu, sampai pengampuannya dihentikan, atau sampai isteri atau suaminya karena suatu penetapan berdasarkan pasal 206 dan pasal 230, kiranya mendapat perintah akan perwalian itu, atau berdasarkan pasal 246a memperoleh pengangkatan sebagai wali, atau dipulihkan kiranya dalam kekuatan orang tua atau perwaliannya.
7.      Pengampuan dapat berakhir dengan adanya beberapa sebab sesuai dengan ketentuan pasal 460, bahwa:” pengampuan berakhir, apabila sebab – sebab yang mengakibatkannya telah hilang; sementara itu, pembebasan dari pengampuan tak akan diberikan melainkan dengan memperhatikan acara yang ditentukan oleh undang – undang guna memperoleh pengampuan dan karena itu seorang yang ditaruh dibawah pengampuan tak boleh menikmati kembali hak – haknya sebelum putusan tentang pembebasannya memperoleh kekuatan mutlak[1].


Pengaturan pengampuan dalam KUH Perdata antara lain pada pasal:
433. Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan. (KUHPerd. 456 dst., 460, 462, 895, 1006, 1330.)
434. Setiap keluarga sedarah berhak minta pengampuan keluarga sedarahnya berdasarkan keadaan dungu, gila atau mata gelap. Disebabkan karena pemborosan, pengampuan hanya dapat diminta oleh para keluarga sedarah dalam garis lurus, dan oleh mereka dalam garis samping sampai derajat keempat. Dalam satu dan lain hal, suami atau istri dapat minta pengampuan bagi istrinya atau suaminya. Barangsiapa, karena lemah akal pikirannya, merasa tidak cakap mengurus kepentingan diri sendiri dengan baik, dapat minta pengampuan bagi diri sendiri. (KUHPerd. 114, 290 dst. 445; IR. 229 dsb.)
435. Bila seseorang yang dalam keadaan mata gelap tidak dimintakan pengampuan oleh orang-orang tersebut dalam pasal yang lalu, maka jawatan kejaksaan wajib memintanya. Dalam hal dungu atau gila, pengampuan dapat diminta oleh jawatan kejaksaan bagi seseorang yang tidak mempunyai suami atau istri, juga yang tidak mempunyai keluarga sedarah yang dikenal di Indonesia.
436. Semua permintaan untuk pengampuan harus diajukan kepada pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya tempat berdiam orang yang dimintakan pengampuan. (KUHPerd. 17 dst.)
437. Peristiwa-peristiwa yang menunjukkan keadaan dungu, gila mata gelap atau keborosan, harus dengan jelas disebutkan dalam surat permintaan, dengan bukti-bukti dan penyebutan saksi-saksinya. (KUHPerd. 440, 456 dst., 1909, 1914.)
438. Bila pengadilan negeri berpendapat, bahwa peristiwa-peristiwa itu cukup penting guna mendasarkan suatu pengampuan, maka perlu didengar para keluarga sedarah atau semenda. (KUHPerd. 290, 333 dst., 453; IR. 230.)
439. Pengadilan negeri, setelah mendengar atau memanggil dengan sah orang-orang tersebut dalam pasal yang lalu, harus mendengar pula orang yang dimintakan pengampuan; bila orang ini tidak mampu untuk datang, maka pemeriksaan harus dilangsungkan di rumahnya oleh seorang atau beberapa orang hakim yang diangkat untuk itu, disertai oleh panitera, dan dalam segala hal dihadiri oleh jawatan kejaksaan. (KUHPerd. 445.) Bila rumah orang yang dimintakan pengampuan itu terletak dalam jarak sepuluh pal lebih dari pengadilan negeri, maka pemeriksaan dapat dilimpahkan kepada kepala pemerintahan setempat. Dari pemeriksaan ini, yang tidak usah dihadiri oleh jawatan kejaksaan, harus dibuat berita acara yang salinan otentiknya dikirimkan kepada pengadilan negeri. (KUHPerd. 445, 1023.) Pemeriksaan tidak akan berlangsung sebelum kepada yang dimintakan pengampuan itu diberitahukan isi surat permintaan dan laporan yang memuat pendapat dari anggota-anggota keluarga sedarah. (KUHPerd. 441, 443, 455.)
440. Bila pengadilan negeri, setelah mendengar atau memanggil dengan sah keluarga sedarah atau semenda, dan setelah mendengar pula orang yang dimintakan pengampuan, berpendapat bahwa telah cukup keterangan yang diperoleh, maka pengadilan dapat memberi keputusan tentang surat permintaan itu tanpa tata-cara lebih lanjut; dalam hal yang sebaliknya, pengadilan negeri harus memerintahkan pemeriksaan saksi-saksi agar peristiwa-peristiwa yang dikemukakannya menjadi jelas. (KUHPerd. 437, 445.)
441. Setelah mengadakan pemeriksaan tersebut dalam pasal 439, bila ada alasan, pengadilan negeri dapat mengangkat seorang pengurus sementara untuk mengurus pribadi dan barang-barang orang yang dimintakan pengampuannya. (KUHPerd. 445 dst., 449; IR. 231.)
442. Putusan atas suatu permintaan akan pengampuan harus diucapkan dalam sidang terbuka, setelah mendengar atau memanggil dengan sah semua pihak dan berdasarkan kesimpulan jaksa. (KUHPerd. 445.)
443. Bila dimohonkan banding, maka hakim banding, sekiranya ada alasan, dapat mendengar lagi atau menyuruh mendengar lagi orang yang dimintakan pengampuan. (KUHPerd. 439; IR. 236.)
444. Semua penetapan dan putusan yang memerintahkan pengampuan, dalam waktu yang ditetapkan dalam penetapan atau keputusan itu, harus diberitahukan oleh pihak yang memintakan pengampuan kepada pihak lawannya dan diumumkan dengan menempatkannya dalam berita negara; semuanya atas ancaman hukuman membayar segala biaya, kerugian dan bunga sekiranya ada alasan untuk itu. (Ov. 105; KUHPerd. 445 dst., 461.)
445. Bila pengampuan diminta sehubungan dengan alinea keempat pasal 434, pengadilan negeri mendengar para keluarga sedarah atau keluarga semenda dan, sendiri atau dengan wakilnya, si suami atau si istrinya yang meminta, sekiranya ini berada di Indonesia; juga harus dilakukan ketentuan-ketentuan dalam pasal 439 alinea kesatu dan kedua, 440, 441 dan 442. Dalam hal demikian, jawatan kejaksaan harus menyelenggarakan pengumuman mengenai keputusan dengan cara yang ditentukan dalam pasal 444.
446. Pengampuan mulai berjalan, terhitung sejak putusan atau penetapan diucapkan. Semua tindak perdata yang setelah itu dilakukan oleh orang yang ditempatkan di bawah pengampuan, adalah batal demi hukum. Namun demikian, seseorang yang ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan, tetap berhak membuat surat-surat wasiat. (KUHPerd. 88, 441, 444, 449, 895, 1330, 1446, 1813; Rv. 248-2?.)
447. Semua tindak perdata yang terjadi sebelum perintah pengampuan diucapkan berdasarkan keadaan dungu, gila dan mata gelap, boleh dibatalkan, bila dasar pengampuan ini telah ada pada saat tindakan-tindakan itu dilakukan. (KUHPerd. 61-3?, 88, 1330-2?.)
448. Setelah seseorang meninggal dunia, maka segala tindak perdata yang telah dilakukannya, kecuali pembuatan surat-surat wasiat berdasarkan keadaan dungu, gila dan mata gelap, tidak dapat disanggah, selain bila pengampuan atas dirinya telah diperintahkan atau dimintakan sebelum ia meninggal dunia, kecuali bila bukti-bukti tentang penyakit-penyakit itu tersimpul dari perbuatan yang disanggah itu. (KUHPerd. 446, 895, 1320-1?.)
449. Bila keputusan tentang pengampuan telah mendapatkan kekuatan hukum yang pasti, maka oleh pengadilan negeri diangkat seorang pengampu. Pengangkatan itu segera diberitahukan kepada balai harta peninggalan. Pengampuan pengawas diperintahkan kepada balai harta peninggalan, (KUHPerd. 418.) (s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Dalam hal yang demikian, berakhirlah segala campur tangan pengurus sementara, yang wajib mengadakan perhitungan dan pertanggungjawaban atas pengurusannya kepada pengampu; bila ia sendiri yang diangkat menjadi pengampu, maka perhitungan dan pertanggungjawaban itu harus di harus dilakukan kepada pengampu pengawas. (KUHPerd. 359 dst., 377 dst., 379 dst., 441, 446; Rv. 580-8?; Wak. 60.)
450. Dicabut dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.
451. (s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Kecuali jika alasan-alasan penting menghendaki pengangkatan orang lain menjadi pengampu, suami atau istri harus diangkat menjadi pengampu bagi istri atau suaminya, tanpa mewajibkan si istri mendapatkan persetujuan atau kuasa apa pun juga untuk menerima pengangkatan itu. (KUHPerd. 103, 300, 349, 359, 377 dst., 379-3?, 380, 418.)
452. Orang yang ditempatkan di bawah pengampuan berkedudukan sama dengan anak yang belum dewasa. Bila seseorang yang karena keborosan ditempatkan di bawah pengampuan hendak melangsungkan perkawinan, maka ketentuan-ketentuan pasal 38 dan pasal 151 berlaku terhadapnya. (s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Ketentuan undang-undang tentang perwalian atas anak belum dewasa, yang tercantum dalam pasal 331 sampai dengan 344, pasal-pasal 362, 367, 369 sampai dengan 388, 391 dan berikutnya dalam Bagian 11, 12, dan 13 Bab XV, berlaku juga terhadap pengampuan. (Ov. 23; KUHPerd. 63, 330, 458, 539, 1006, 1046, 1149-7?, 1330 dst., 1446, 1454, 1813; Rv. 336; KUHP. 35, 37, 524.)
453. (s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Bila seseorang yang ditempatkan di bawah pengampuan mempunyai anak-anak belum dewasa serta menjalankan kekuasaan orang tua, sedangkan istri atau suaminya telah dibebaskan atau diberhentikan dari kekuasaan orang tua, atau berdasarkan pasal 246 tidak diperintahkan menjalankan kekuasaan orang tua atau tidak memungkinkan untuk menjalankan kekuasaan orang tua, seperti juga jika orang yang di bawah pengampuan itu menjadi wali atas anak-anaknya yang sah, maka demi hukum pengampu adalah wali atas anak-anak belum dewasa itu sampai pengampuannya dihentikan, atau sampai istri atau suaminya memperoleh perwalian itu karena penetapan yang dimaksudkan dalam pasal 206 dan pasal 230, atau mendapatkan kekuasaan orang tua berdasarkan pasal 246a, atau dipulihkan dalam kekuasaan orang tua atau perwalian. (KUHPerd. 300, 345, 353, 458.)
454. Penghasilan orang yang ditempatkan di bawah pengampuan karena keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus digunakan khusus untuk memperbaiki nasibnya dan memperlancar penyembuhan. (KUHPerd. 388, 391, 451.)
455. Dicabut dg. S. 1897-53.
456. (s.d.u. dg. S. 1897-53.) Terhadap orang-orang yang tidak dapat dibiarkan mengurus diri sendiri atau membahayakan keamanan orang lain karena kelakuannya terlanjur buruk dan terus-menerus buruk, harus dilakukan tindakan seperti diatur dalam Reglemen Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili di Indonesia. (RO. 134; KUHPerd. 455, 457; IR. 234.)
457. Dalam hal adanya kepentingan yang mendesak, para kepala daerah setempat, menjelang pengesahan pengadilan negeri, berkuasa memerintahkan penahanan sementara orang-orang yang dimaksud dalam pasal-pasal yang lalu. Mereka wajib untuk bertindak dengan cermat; dan selambat-lambatnya dalam empat hari atau, dalam hal tempat kedudukan pengadilan negeri yang bersangkutan ada di pulau lain, dengan kapal yang pertama, mereka harus mengirimkan surat-surat tentang penahanan kepada kejaksaan yang berwenang, yang harus menyampaikan lagi surat-surat itu dengan tuntutannya kepada pengadilan negeri segera setelah menerima surat-surat itu. Bila pengadilan negeri tidak menemukan alasan-alasan guna menguatkan penahanan, maka dengan putusan harus diperintahkan supaya orang yang ditahan itu segera dikeluarkan dari tahanan. Putusan ini harus segera dilaksanakan oleh kepala daerah yang bersangkutan segera setelah diterimanya, dan hal itu harus diberitahukan kepada kejaksaan dengan cara seperti yang ditentukan dalam alinea kedua pasal ini. (KUHPerd. 462.)
458. Seorang anak belum dewasa yang ada di bawah pengampuan tidak dapat melakukan perkawinan, pula tidak dapat mengadakan perjanjian-perjanjian, selain dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan pada pasal 38 dan pasal 151. (KUHPerd. 453.)
459. Tidak seorang pun, kecuali suami-istri dan keluarga sedarah dalam garis ke atas atau ke bawah, wajib menjalankan suatu pengampuan lebih dari delapan tahun lamanya; setelah waktu itu lewat, pengampu boleh minta dibebaskan dan permintaan ini harus dikabulkan. (KUHPerd. 290 dst., 376 dst.)
460. Pengampuan berakhir bila sebab-sebab yang mengakibatkannya telah hilang; tetapi pembebasan dari pengampuan ini tidak akan diberikan, selain dengan memperhatikan tata cara yang ditentukan oleh undang-undang guna memperoleh pengampuan, dan karena itu orang yang ditempatkan di bawah pengampuan tidak boleh menikmati kembali hak-haknya sebelum keputusan tentang pembebasan pengampuan itu memperoleh kekuatan hukum yang pasti. (KUHPerd. 88, 433 dst., IR. 232.)
461. Pembebasan diri pengampuan harus diumumkan dengan cara yang diatur dalam pasal 444.
462. Seorang anak belum dewasa yang berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, tidak boleh ditempatkan di bawah pengampuan, tetapi tetap berada di bawah pengawasan ayahnya, ibunya atau walinya. (KUHPerd. 299, 330, 383, 433.) Alinea kedua dan ketiga dicabut berdasarkan S. 1897-53.



KASUS PEMBATALAN PENGAMPUAN DI MUARA ENIM, PALEMBANG ATAS
PENETAPAN PENGAMPUAN NOMOR : 2/PDT .P/2009 /PN.ME CACAT YURIDIS
Palembang, Muara Enim Amri merupakan saudara dari Niswati yang merupakan saudara seayah dari Niswati. Setelah terjadi perkawinan antara Rahmanudin dengan Niswati (terampu) pada tanggal 20 Agustus 1993 dengan Akte Nikah No.226/28/VIII/1993 bertempat di Muara Enim, Rahmanudin merupakan Anggota TNI Angkatan Darat yang sering pindah tugas. Pada waktu melakukan perkawinan Rahmanudin sedang bertugas di Palembang, pada tahun 1994 perkawinan antara Rahmanudin dengan Niswati telah mendapatkan 1 (satu) orang anak laki - laki yang bernama Rio Aldo. Lalu Rahmanudin pindah tugas di Bangka, pada waktu itu Rahmanudin membawa keluarganya yaitu Niswati, dan anaknya tinggal di Bangka, setelah anaknya lahir, Niswati sudah ada gejala mengalami gangguan jiwa, ketika isterinya sudah mengalami gangguan kejiwaan pada bulan Maret 2000, Rahmanudin menyerahkan isterinya Niswati kepada orang tuanya untuk di rawat, sejak Niswati diserahkan oleh Rahmanudin kepada orang tuanya, isterinya dan Amri mengurus Niswati Risno di rumah kediaman orang tua Amri, Bahwa pada tahun 2003, Rahmanudin kemudian menikah lagi secara sirih dengan perempuan dari Bangka, kemudian perkawinan tersebut berakhir dengan perceraian dan tidak meninggalkan keturunan ;
Bahwa selama Niswati di rawat di rumah orang tuanya, Rahmanudin tidak pernah menjenguk, atau menelpon atau berkirim surat kepada orang tua Niswati, yang menanyakan bagaimana keadaan dari isterinya, apalagi untuk memberikan nafkah baik lahir maupun batin kepada isterinya (terampu).
Bahwa pada hari Rabu tanggal 18 Juni 2008, orang tua Amri dan Niswati, meninggal dunia, kemudian setelah 42 hari sejak meninggalnya orang tua Amri dan terampu, Rahmanudin mengambil paksa isterinya dari tangan Amri dan ibunya yaitu pada hari Rabu tanggal 30 Juli 2008 pukul 23.00 Wib. Dan mengambil paksa 1 (satu) unit Mobil Suzuki ST 160 Futura jenis Minibus, warna biru metalik tahun 1998, dari tangan Amri, Bahwa perbuatan dari Rahmanudin yang mengambil paksa isterinya pada bulan Juli tahun 2008 menimbulkan pertanyaan yang sangat besar, hal ini dikarenakan sudah selama delapan tahun Rahmanudin tidak lagi mengurusi isterinya.
Bahwa merasa punya tanggung jawab Amri dan ibu Amri mengontrakkan rumah sebesar Rp 8.000.000, - untuk Rahmanudin dan terampu yang sekarang di tempati oleh Rahmanudin dan Terampu yang terletak di Jalan Permai , 6 RT 2, Rw IV, Kelurahan Muara Enim, dan menyerahkan uang tuna i sebesar Rp 5.000.000,- untuk biaya bagi terampu; Dari uraian tersebut jelas terlihat bahwa pengampu mempunyai itikat buruk dalam mengajukan permohonan penetapan pengampuan atas diri terampu

I I . RAHMANUDIN TIDAK LAYAK UNTUK MENJADI PENGAMPU TERAMPU.

Bahwa hubungan antara Amri dengan terampu karena hubungan perkawinan (suami isteri ) dimana Amri merupakan suami yang sah dari terampu sejak di langsungkannya perkawinan pada tanggal 20 Agustus 1993 dengan Akte Nikah No.226/28/VIII/1993, di Muara Enim, sampai sekarang, Bahwa Rahmanudin telah beberapa kali berumah tangga dengan wanita lain selama hubungan perkawinan antara Rahmanudin dengan terampu, yaitu pada tahun 2003 telah terjadi perkawinan antara Rahmanudin dengan perempuan dari Bangka yang berakhir dengan perceraian,
Bahwa pada tahun 2008 Rahmanudin telah menikah lagi secara siri dengan Herawati dan tinggal serumah dengan terampu yang terletak di Jalan Permai 6 ,RT 2, RW IV, Kelurahan Pasar I I , Muara Enim, setelah Tergugat tinggal di rumah a quo, Rahmanudin menempatkan terampu di kamar khusus dan Rahmanudin tinggal bersama isterinya yang lain, dan anak Rahmanudin dengan terampu serta anak bawaan dari isteri Rahmanudin, Dari uraian di atas jelaslah Rahmanudin tidak layak menjadi pengampu yang baik bagaimana dia menempatkan kedua isterinya dalam satu rumah, sementara terampu dalam sakit kejiwaan, PROSEDUR PENETAPAN PENGAMPUAN CACAT YURIDIS
Bahwa penetapan pengampuan Nomor:2/Pdt.P/2009/PN.ME cacat yuridis tidak memenuhi ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, Bahwa menurut pasal 439 KUH Perdata menyatakan: ”Setelah mendengar atau memanggil dengan sah akan segala yang tersebut dalam pasal yang lain, Pengadilan harus mendengar akan seseorang pengampuannya diminta jika kiranya orang ini tidak mampu mengindahkan dirinya, maka pemeriksaan itu harus di langsungkan di rumahnya, oleh seorang hakim atau lebih yang diangkat untuk itu, disertai oleh Panitera dihadiri oleh Kejaksaan, harus dibuat berita acara, dan suatu turunan otentik dari berita acara itu harus dikiimkan kepada Pengadilan Negera, Dalam hal ini tidak ada pemeriksaan yang dilakukan terhadap terampu, sehingga prosedurnya tidak sesuai dengan ketentuan pasal a quo, Bahwa menurut pasal 440 KUH Perdata untuk memberikan penetapan pengampuan harus didengarkan pendapat dari keluarga sedarah atau semenda dalam hal ini Amri merasa tidak pernah dimintai keterangan apalagi Amri telah mengurus pengampu selama ini, sebelum diambil oleh Rahmanudin, Bahwa dalam mengajukan penetapan harus dipertimbangkan dahulu siapa yang mengurus terampu selama ini, sehingga pengampuan bersifat objektif dan demi kepentingan dari terampu, Dari uraian di atas maka Amri beranggapan bahwa penetapan pengampuan belum memenuhi prosedur sehingga harus dibatalkan.


ANALISIS KASUS

Bahwa Terampu jika dilihat dari kasus diatas telah mengalami gangguan dalam jiwanya pada bulan Maret tahun 2000, hal tersebut telah memenuhi sebagai seorang yang harus berada di bawah pengampuan berdasarkan pada pasal 433 KUH Perdata. Pengampu pada kasus di atas yang sebagai suami dari pihak Terampu telah memenuhi sebagai seorang Pengampu berdasarkan pasal 434 KUH Perdata, karena ikatan pernikahannya dengan pihak Terampu pada tanggal 20 agustus 1993 dengan akta nikah nomor 226/28/VIII/1993. Pengampuan pada kasus di atas telah diajukan ke pengadilan negeri setempat dan telah ditetapkan.
Amri sebagai saudara sedarah dari pihak Terampu boleh meminta pengampuan atas pihak Terampu. Akan tetapi suami juga berhak meminta pengampuan akan istrinya, dalam kasus ini sebagai Terampu. Berdasarkan penetapan pengadilan bahwa suami dari pihak Terampulah yang berhak atas pengampuan pihak Terampu atau Istrinya tersebut. Dengan pertimbangkan dahulu siapa yang mengurus terampu selama ini, sehingga pengampuan bersifat objektif dan demi kepentingan dari terampu,
Pada kasus diatas Rahmanudin sebagai suami dinilai tidak layak menjadi seorang pengampu istrinya oleh Amri karena Rahmanudin telah menikah lagi secara siri dengan Herawati dan tinggal serumah dengan terampu. Hal ini sebenarnya masih dapat dinilai layak sebagai pengampu karena perkawinannya masih belum terputus oleh perceraian. Apabila Rahmanudin telah menceraikan pengampu maka pengampuan itu berakhir karena pengampuannya berdasarkan atas perkawinan. Dan yang boleh meminta pengampuan yakni dari keluarga sedarahnya dalam garis lurus dan oleh para keluarga semendanya dalam garus menyimpang samapi dengan derajat ke empat.





[1] Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, PT. RINEKA CIPTA , Jakarta, 1991, hal 33.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar