Kajian Pustaka
Pengampuan
( curatele)
Orang yang
ditaruh dibawah pengampuan adalah orang dewasa akan tetapi karena beberapa
sebab orang tersebut tidak dapat bertindak secara leluasa. Pada prinsipnya
pengampuan berbeda dengan perwalian. Pengampuan disebut curatele; Pengampu
disebut curator dan Curandus adalah orang berada dibawah pengampuan.
Didalam
undang – undang terdapat beberapa ketentuan yakni:
1. Setiap
keluarga sedarah berhak meminta pengampuan seorang keluarga sedarahnya,
berdasar atas keadaannya dungu, sakit otak atau gelap mata, berdasar atas
keborosannya, pengampuan hanya boleh diminta oleh para keluarga semendanya dalam
garis menyimpang sampai dengan derajat keempat.
Dalam hal yang satu dan yang lain,
seorang suami atau istri boleh meminta pengampuan akan istri atau suaminya.
“barang siapa karena kelemahan kekuatan akalnya, merasa tak cakap mengurus
kepentingan – kepentingan diri sendiri sebaik – baiknya, diperbolehkan meminta
pengampuan bagi diri sendiri.” Ketentuan ini diatur di dalam pasal 434 KUH
Perdata.
2. Sedangkan
dari alternatif lain dari ketentuan pasal 434 diatur lebih jelas di dalam pasal
berikutnya, yakni jika dalam hal adanya keadaan mata gelap, pengampuan tidak
diminta oleh mereka yang tersebut dalam pasal yang lalu, maka Jawatan Kejaksaan
adalah wajib menuntutnya.
Dalam hal adanya keadaan dungu atau
sakit otak, pengampuan boleh ditntut juga oleh Jawatan Kejaksaan akan seorang,
yang tidak mempunyai suam atau istri , pun tak mempunyai keluarga sedarah yang
dikenal di Indonesia.
3. Pengangkatan
seorang pengampu oleh Pengadilan diberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan
sesuai ketentuan pasal 449 yang apabila keputusan untuk pengampuan, telah
memperoleh kekuatan mutlak, maka diangkat oleh Pengadilan seorang pengampu.
Pengangkatan itu segera diberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan.
Pengampuan pengawas diperintahkan kepada Balai. Dalam hal demikian, berakhirlah
segala usaha pengurus sementara, yang mana karena itu berwajib mengadakan
perhitungan tanggung jawab atas pengurusannya kepada pengampu; sekiranya dia
sendirilah yang di angkat menjadi pengampu, maka perhitungan tanggung jawab
tadi harus dilakukan kepada pengampu pengawas.
4. Disamping
itu dapat terjadi pengampuan antara suami istri yang secara otentik diatur
dalam pasal 351 yang ditegaskan bahwa :”Kecuali alasan – alasan penting
menghendaki pengangkatan seorang lain menjadi pengampu, suami atau istri harus
diangkat menjadi pengampu bagi istri atau suaminya, dengan tidak mewajibkan
kepada si isteri untuk mengenakan sesuatu bantuan atau kuasa apapun juga, guna
menerima pengangkatan itu.
5. Akibat
dari pengampuan tersebut secara otentik diatur disetiap orang ditaruh di bawah
pengampuan, mempunyai kedudukan yang sama dengan seorang belum dewasa. Jika
seorang yang karena keborosannya ditaruh di bawah pengampuan, hendak mengikat
diri dalan perkawinan, maka ketentuan – ketentuan pasal 38 dan 151 berlaku
terhadapnya. Ketentuan – ketentuan undang – undang mengenai perwalian atas anak
– anak belum dewasa tercantum dalam pasal 331 sampai dengan 344, dalam pasal
362, 367, 369, sampai 388, 391 dan berikutnya dalam bagian kesebelas keduabelas
ketiga belas-bab kelima belas, berlaku juga terhadap pengampuan.
6. Menurut
undang – undang dapat pula terjadi si terampu telah memiliki anak – anak belum
dewasa yang di dalam pasal 453 di tentukan bahwa “jika si terampu mempunyai
anak – anak belum dewasa, yang mana ia memangku kekuasaan orang tuanya,
sedangkan isteri atau suaminya telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan
orang tua, atau menurut pasal 246 tidak diperintahkan memangku kekuasaan orang
tua atau berada dalam ketakmampuan untuk memangkunya. Sepertipun jika si
terampu menjadi wali atas anak – anaknya sekandung, maka si pengampu adalah
demi hukum wali atas anak – anak belum dewasa itu, sampai pengampuannya
dihentikan, atau sampai isteri atau suaminya karena suatu penetapan berdasarkan
pasal 206 dan pasal 230, kiranya mendapat perintah akan perwalian itu, atau
berdasarkan pasal 246a memperoleh pengangkatan sebagai wali, atau dipulihkan
kiranya dalam kekuatan orang tua atau perwaliannya.
7. Pengampuan
dapat berakhir dengan adanya beberapa sebab sesuai dengan ketentuan pasal 460,
bahwa:” pengampuan berakhir, apabila sebab – sebab yang mengakibatkannya telah
hilang; sementara itu, pembebasan dari pengampuan tak akan diberikan melainkan
dengan memperhatikan acara yang ditentukan oleh undang – undang guna memperoleh
pengampuan dan karena itu seorang yang ditaruh dibawah pengampuan tak boleh
menikmati kembali hak – haknya sebelum putusan tentang pembebasannya memperoleh
kekuatan mutlak[1].
Pengaturan pengampuan
dalam KUH Perdata antara lain pada pasal:
433.
Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata
gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap
menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah
pengampuan karena keborosan. (KUHPerd. 456 dst., 460, 462, 895, 1006, 1330.)
434.
Setiap keluarga sedarah berhak minta pengampuan keluarga sedarahnya berdasarkan
keadaan dungu, gila atau mata gelap. Disebabkan karena pemborosan, pengampuan
hanya dapat diminta oleh para keluarga sedarah dalam garis lurus, dan oleh
mereka dalam garis samping sampai derajat keempat. Dalam satu dan lain hal,
suami atau istri dapat minta pengampuan bagi istrinya atau suaminya.
Barangsiapa, karena lemah akal pikirannya, merasa tidak cakap mengurus kepentingan
diri sendiri dengan baik, dapat minta pengampuan bagi diri sendiri. (KUHPerd.
114, 290 dst. 445; IR. 229 dsb.)
435.
Bila seseorang yang dalam keadaan mata gelap tidak dimintakan pengampuan oleh
orang-orang tersebut dalam pasal yang lalu, maka jawatan kejaksaan wajib
memintanya. Dalam hal dungu atau gila, pengampuan dapat diminta oleh jawatan
kejaksaan bagi seseorang yang tidak mempunyai suami atau istri, juga yang tidak
mempunyai keluarga sedarah yang dikenal di Indonesia.
436.
Semua permintaan untuk pengampuan harus diajukan kepada pengadilan negeri yang
dalam daerah hukumnya tempat berdiam orang yang dimintakan pengampuan.
(KUHPerd. 17 dst.)
437.
Peristiwa-peristiwa yang menunjukkan keadaan dungu, gila mata gelap atau
keborosan, harus dengan jelas disebutkan dalam surat permintaan, dengan
bukti-bukti dan penyebutan saksi-saksinya. (KUHPerd. 440, 456 dst., 1909,
1914.)
438.
Bila pengadilan negeri berpendapat, bahwa peristiwa-peristiwa itu cukup penting
guna mendasarkan suatu pengampuan, maka perlu didengar para keluarga sedarah
atau semenda. (KUHPerd. 290, 333 dst., 453; IR. 230.)
439.
Pengadilan negeri, setelah mendengar atau memanggil dengan sah orang-orang
tersebut dalam pasal yang lalu, harus mendengar pula orang yang dimintakan
pengampuan; bila orang ini tidak mampu untuk datang, maka pemeriksaan harus
dilangsungkan di rumahnya oleh seorang atau beberapa orang hakim yang diangkat
untuk itu, disertai oleh panitera, dan dalam segala hal dihadiri oleh jawatan
kejaksaan. (KUHPerd. 445.) Bila rumah orang yang dimintakan pengampuan itu
terletak dalam jarak sepuluh pal lebih dari pengadilan negeri, maka pemeriksaan
dapat dilimpahkan kepada kepala pemerintahan setempat. Dari pemeriksaan ini,
yang tidak usah dihadiri oleh jawatan kejaksaan, harus dibuat berita acara yang
salinan otentiknya dikirimkan kepada pengadilan negeri. (KUHPerd. 445, 1023.)
Pemeriksaan tidak akan berlangsung sebelum kepada yang dimintakan pengampuan
itu diberitahukan isi surat permintaan dan laporan yang memuat pendapat dari
anggota-anggota keluarga sedarah. (KUHPerd. 441, 443, 455.)
440.
Bila pengadilan negeri, setelah mendengar atau memanggil dengan sah keluarga
sedarah atau semenda, dan setelah mendengar pula orang yang dimintakan
pengampuan, berpendapat bahwa telah cukup keterangan yang diperoleh, maka
pengadilan dapat memberi keputusan tentang surat permintaan itu tanpa tata-cara
lebih lanjut; dalam hal yang sebaliknya, pengadilan negeri harus memerintahkan
pemeriksaan saksi-saksi agar peristiwa-peristiwa yang dikemukakannya menjadi jelas.
(KUHPerd. 437, 445.)
441.
Setelah mengadakan pemeriksaan tersebut dalam pasal 439, bila ada alasan,
pengadilan negeri dapat mengangkat seorang pengurus sementara untuk mengurus
pribadi dan barang-barang orang yang dimintakan pengampuannya. (KUHPerd. 445
dst., 449; IR. 231.)
442.
Putusan atas suatu permintaan akan pengampuan harus diucapkan dalam sidang
terbuka, setelah mendengar atau memanggil dengan sah semua pihak dan
berdasarkan kesimpulan jaksa. (KUHPerd. 445.)
443.
Bila dimohonkan banding, maka hakim banding, sekiranya ada alasan, dapat
mendengar lagi atau menyuruh mendengar lagi orang yang dimintakan pengampuan.
(KUHPerd. 439; IR. 236.)
444.
Semua penetapan dan putusan yang memerintahkan pengampuan, dalam waktu yang
ditetapkan dalam penetapan atau keputusan itu, harus diberitahukan oleh pihak
yang memintakan pengampuan kepada pihak lawannya dan diumumkan dengan
menempatkannya dalam berita negara; semuanya atas ancaman hukuman membayar
segala biaya, kerugian dan bunga sekiranya ada alasan untuk itu. (Ov. 105;
KUHPerd. 445 dst., 461.)
445.
Bila pengampuan diminta sehubungan dengan alinea keempat pasal 434, pengadilan
negeri mendengar para keluarga sedarah atau keluarga semenda dan, sendiri atau
dengan wakilnya, si suami atau si istrinya yang meminta, sekiranya ini berada
di Indonesia; juga harus dilakukan ketentuan-ketentuan dalam pasal 439 alinea
kesatu dan kedua, 440, 441 dan 442. Dalam hal demikian, jawatan kejaksaan harus
menyelenggarakan pengumuman mengenai keputusan dengan cara yang ditentukan dalam
pasal 444.
446.
Pengampuan mulai berjalan, terhitung sejak putusan atau penetapan diucapkan.
Semua tindak perdata yang setelah itu dilakukan oleh orang yang ditempatkan di
bawah pengampuan, adalah batal demi hukum. Namun demikian, seseorang yang ditempatkan
di bawah pengampuan karena keborosan, tetap berhak membuat surat-surat wasiat.
(KUHPerd. 88, 441, 444, 449, 895, 1330, 1446, 1813; Rv. 248-2?.)
447.
Semua tindak perdata yang terjadi sebelum perintah pengampuan diucapkan
berdasarkan keadaan dungu, gila dan mata gelap, boleh dibatalkan, bila dasar
pengampuan ini telah ada pada saat tindakan-tindakan itu dilakukan. (KUHPerd.
61-3?, 88, 1330-2?.)
448.
Setelah seseorang meninggal dunia, maka segala tindak perdata yang telah
dilakukannya, kecuali pembuatan surat-surat wasiat berdasarkan keadaan dungu,
gila dan mata gelap, tidak dapat disanggah, selain bila pengampuan atas dirinya
telah diperintahkan atau dimintakan sebelum ia meninggal dunia, kecuali bila
bukti-bukti tentang penyakit-penyakit itu tersimpul dari perbuatan yang
disanggah itu. (KUHPerd. 446, 895, 1320-1?.)
449.
Bila keputusan tentang pengampuan telah mendapatkan kekuatan hukum yang pasti,
maka oleh pengadilan negeri diangkat seorang pengampu. Pengangkatan itu segera
diberitahukan kepada balai harta peninggalan. Pengampuan pengawas diperintahkan
kepada balai harta peninggalan, (KUHPerd. 418.) (s.d.u. dg. S. 1927-31 jis.
390, 421.) Dalam hal yang demikian, berakhirlah segala campur tangan pengurus
sementara, yang wajib mengadakan perhitungan dan pertanggungjawaban atas
pengurusannya kepada pengampu; bila ia sendiri yang diangkat menjadi pengampu,
maka perhitungan dan pertanggungjawaban itu harus di harus dilakukan kepada
pengampu pengawas. (KUHPerd. 359 dst., 377 dst., 379 dst., 441, 446; Rv. 580-8?;
Wak. 60.)
450.
Dicabut dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.
451.
(s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Kecuali jika alasan-alasan penting
menghendaki pengangkatan orang lain menjadi pengampu, suami atau istri harus
diangkat menjadi pengampu bagi istri atau suaminya, tanpa mewajibkan si istri
mendapatkan persetujuan atau kuasa apa pun juga untuk menerima pengangkatan
itu. (KUHPerd. 103, 300, 349, 359, 377 dst., 379-3?, 380, 418.)
452.
Orang yang ditempatkan di bawah pengampuan berkedudukan sama dengan anak yang
belum dewasa. Bila seseorang yang karena keborosan ditempatkan di bawah
pengampuan hendak melangsungkan perkawinan, maka ketentuan-ketentuan pasal 38
dan pasal 151 berlaku terhadapnya. (s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.)
Ketentuan undang-undang tentang perwalian atas anak belum dewasa, yang
tercantum dalam pasal 331 sampai dengan 344, pasal-pasal 362, 367, 369 sampai
dengan 388, 391 dan berikutnya dalam Bagian 11, 12, dan 13 Bab XV, berlaku juga
terhadap pengampuan. (Ov. 23; KUHPerd. 63, 330, 458, 539, 1006, 1046, 1149-7?,
1330 dst., 1446, 1454, 1813; Rv. 336; KUHP. 35, 37, 524.)
453.
(s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Bila seseorang yang ditempatkan di bawah
pengampuan mempunyai anak-anak belum dewasa serta menjalankan kekuasaan orang
tua, sedangkan istri atau suaminya telah dibebaskan atau diberhentikan dari
kekuasaan orang tua, atau berdasarkan pasal 246 tidak diperintahkan menjalankan
kekuasaan orang tua atau tidak memungkinkan untuk menjalankan kekuasaan orang
tua, seperti juga jika orang yang di bawah pengampuan itu menjadi wali atas
anak-anaknya yang sah, maka demi hukum pengampu adalah wali atas anak-anak
belum dewasa itu sampai pengampuannya dihentikan, atau sampai istri atau
suaminya memperoleh perwalian itu karena penetapan yang dimaksudkan dalam pasal
206 dan pasal 230, atau mendapatkan kekuasaan orang tua berdasarkan pasal 246a,
atau dipulihkan dalam kekuasaan orang tua atau perwalian. (KUHPerd. 300, 345,
353, 458.)
454.
Penghasilan orang yang ditempatkan di bawah pengampuan karena keadaan dungu,
gila atau mata gelap, harus digunakan khusus untuk memperbaiki nasibnya dan
memperlancar penyembuhan. (KUHPerd. 388, 391, 451.)
455.
Dicabut dg. S. 1897-53.
456.
(s.d.u. dg. S. 1897-53.) Terhadap orang-orang yang tidak dapat dibiarkan
mengurus diri sendiri atau membahayakan keamanan orang lain karena kelakuannya
terlanjur buruk dan terus-menerus buruk, harus dilakukan tindakan seperti
diatur dalam Reglemen Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili di
Indonesia. (RO. 134; KUHPerd. 455, 457; IR. 234.)
457.
Dalam hal adanya kepentingan yang mendesak, para kepala daerah setempat,
menjelang pengesahan pengadilan negeri, berkuasa memerintahkan penahanan
sementara orang-orang yang dimaksud dalam pasal-pasal yang lalu. Mereka wajib
untuk bertindak dengan cermat; dan selambat-lambatnya dalam empat hari atau,
dalam hal tempat kedudukan pengadilan negeri yang bersangkutan ada di pulau
lain, dengan kapal yang pertama, mereka harus mengirimkan surat-surat tentang
penahanan kepada kejaksaan yang berwenang, yang harus menyampaikan lagi
surat-surat itu dengan tuntutannya kepada pengadilan negeri segera setelah
menerima surat-surat itu. Bila pengadilan negeri tidak menemukan alasan-alasan
guna menguatkan penahanan, maka dengan putusan harus diperintahkan supaya orang
yang ditahan itu segera dikeluarkan dari tahanan. Putusan ini harus segera
dilaksanakan oleh kepala daerah yang bersangkutan segera setelah diterimanya,
dan hal itu harus diberitahukan kepada kejaksaan dengan cara seperti yang
ditentukan dalam alinea kedua pasal ini. (KUHPerd. 462.)
458.
Seorang anak belum dewasa yang ada di bawah pengampuan tidak dapat melakukan
perkawinan, pula tidak dapat mengadakan perjanjian-perjanjian, selain dengan
memperhatikan ketentuan-ketentuan pada pasal 38 dan pasal 151. (KUHPerd. 453.)
459.
Tidak seorang pun, kecuali suami-istri dan keluarga sedarah dalam garis ke atas
atau ke bawah, wajib menjalankan suatu pengampuan lebih dari delapan tahun
lamanya; setelah waktu itu lewat, pengampu boleh minta dibebaskan dan
permintaan ini harus dikabulkan. (KUHPerd. 290 dst., 376 dst.)
460.
Pengampuan berakhir bila sebab-sebab yang mengakibatkannya telah hilang; tetapi
pembebasan dari pengampuan ini tidak akan diberikan, selain dengan
memperhatikan tata cara yang ditentukan oleh undang-undang guna memperoleh
pengampuan, dan karena itu orang yang ditempatkan di bawah pengampuan tidak
boleh menikmati kembali hak-haknya sebelum keputusan tentang pembebasan pengampuan
itu memperoleh kekuatan hukum yang pasti. (KUHPerd. 88, 433 dst., IR. 232.)
461.
Pembebasan diri pengampuan harus diumumkan dengan cara yang diatur dalam pasal
444.
462.
Seorang anak belum dewasa yang berada dalam keadaan dungu, gila atau mata
gelap, tidak boleh ditempatkan di bawah pengampuan, tetapi tetap berada di
bawah pengawasan ayahnya, ibunya atau walinya. (KUHPerd. 299, 330, 383, 433.)
Alinea kedua dan ketiga dicabut berdasarkan S. 1897-53.
KASUS PEMBATALAN PENGAMPUAN DI
MUARA ENIM, PALEMBANG ATAS
PENETAPAN
PENGAMPUAN NOMOR : 2/PDT .P/2009 /PN.ME CACAT YURIDIS
Palembang, Muara Enim Amri merupakan saudara dari
Niswati yang merupakan saudara seayah dari Niswati. Setelah terjadi perkawinan
antara Rahmanudin dengan Niswati (terampu) pada tanggal 20 Agustus 1993 dengan
Akte Nikah No.226/28/VIII/1993 bertempat di Muara Enim, Rahmanudin merupakan
Anggota TNI Angkatan Darat yang sering pindah tugas. Pada waktu melakukan perkawinan
Rahmanudin sedang bertugas di Palembang, pada tahun 1994 perkawinan antara Rahmanudin
dengan Niswati telah mendapatkan 1 (satu) orang anak laki - laki yang bernama
Rio Aldo. Lalu Rahmanudin pindah tugas di Bangka, pada waktu itu Rahmanudin
membawa keluarganya yaitu Niswati, dan anaknya tinggal di Bangka, setelah
anaknya lahir, Niswati sudah ada gejala mengalami gangguan jiwa, ketika
isterinya sudah mengalami gangguan kejiwaan pada bulan Maret 2000, Rahmanudin
menyerahkan isterinya Niswati kepada orang tuanya untuk di rawat, sejak Niswati
diserahkan oleh Rahmanudin kepada orang tuanya, isterinya dan Amri mengurus
Niswati Risno di rumah kediaman orang tua Amri, Bahwa pada tahun 2003, Rahmanudin
kemudian menikah lagi secara sirih dengan perempuan dari Bangka, kemudian
perkawinan tersebut berakhir dengan perceraian dan tidak meninggalkan keturunan
;
Bahwa selama Niswati di rawat di rumah orang tuanya,
Rahmanudin tidak pernah menjenguk, atau menelpon atau berkirim surat kepada
orang tua Niswati, yang menanyakan bagaimana keadaan dari isterinya, apalagi
untuk memberikan nafkah baik lahir maupun batin kepada isterinya (terampu).
Bahwa pada hari Rabu tanggal 18 Juni 2008, orang tua
Amri dan Niswati, meninggal dunia, kemudian setelah 42 hari sejak meninggalnya
orang tua Amri dan terampu, Rahmanudin mengambil paksa isterinya dari tangan Amri
dan ibunya yaitu pada hari Rabu tanggal 30 Juli 2008 pukul 23.00 Wib. Dan
mengambil paksa 1 (satu) unit Mobil Suzuki ST 160 Futura jenis Minibus, warna
biru metalik tahun 1998, dari tangan Amri, Bahwa perbuatan dari Rahmanudin yang
mengambil paksa isterinya pada bulan Juli tahun 2008 menimbulkan pertanyaan
yang sangat besar, hal ini dikarenakan sudah selama delapan tahun Rahmanudin
tidak lagi mengurusi isterinya.
Bahwa merasa punya tanggung jawab Amri dan ibu Amri
mengontrakkan rumah sebesar Rp 8.000.000, - untuk Rahmanudin dan terampu yang
sekarang di tempati oleh Rahmanudin dan Terampu yang terletak di Jalan Permai ,
6 RT 2, Rw IV, Kelurahan Muara Enim, dan menyerahkan uang tuna i sebesar Rp
5.000.000,- untuk biaya bagi terampu; Dari uraian tersebut jelas terlihat bahwa
pengampu mempunyai itikat buruk dalam mengajukan permohonan penetapan
pengampuan atas diri terampu
I
I . RAHMANUDIN TIDAK LAYAK UNTUK MENJADI PENGAMPU TERAMPU.
Bahwa hubungan antara Amri dengan terampu karena
hubungan perkawinan (suami isteri ) dimana Amri merupakan suami yang sah dari
terampu sejak di langsungkannya perkawinan pada tanggal 20 Agustus 1993 dengan
Akte Nikah No.226/28/VIII/1993, di Muara Enim, sampai sekarang, Bahwa
Rahmanudin telah beberapa kali berumah tangga dengan wanita lain selama
hubungan perkawinan antara Rahmanudin dengan terampu, yaitu pada tahun 2003
telah terjadi perkawinan antara Rahmanudin dengan perempuan dari Bangka yang
berakhir dengan perceraian,
Bahwa pada tahun 2008 Rahmanudin telah menikah lagi
secara siri dengan Herawati dan tinggal serumah dengan terampu yang terletak di
Jalan Permai 6 ,RT 2, RW IV, Kelurahan Pasar I I , Muara Enim, setelah Tergugat
tinggal di rumah a quo, Rahmanudin menempatkan terampu di kamar khusus
dan Rahmanudin tinggal bersama isterinya yang lain, dan anak Rahmanudin dengan
terampu serta anak bawaan dari isteri Rahmanudin, Dari uraian di atas jelaslah Rahmanudin
tidak layak menjadi pengampu yang baik bagaimana dia menempatkan kedua isterinya
dalam satu rumah, sementara terampu dalam sakit kejiwaan, PROSEDUR PENETAPAN
PENGAMPUAN CACAT YURIDIS
Bahwa penetapan pengampuan Nomor:2/Pdt.P/2009/PN.ME
cacat yuridis tidak memenuhi ketentuan peraturan perundangan yang berlaku,
Bahwa menurut pasal 439 KUH Perdata menyatakan: ”Setelah mendengar atau
memanggil dengan sah akan segala yang tersebut dalam pasal yang lain,
Pengadilan harus mendengar akan seseorang pengampuannya diminta jika kiranya
orang ini tidak mampu mengindahkan dirinya, maka pemeriksaan itu harus di
langsungkan di rumahnya, oleh seorang hakim atau lebih yang diangkat untuk itu,
disertai oleh Panitera dihadiri oleh Kejaksaan, harus dibuat berita acara, dan
suatu turunan otentik dari berita acara itu harus dikiimkan kepada Pengadilan
Negera, Dalam hal ini tidak ada pemeriksaan yang dilakukan terhadap terampu,
sehingga prosedurnya tidak sesuai dengan ketentuan pasal a quo, Bahwa
menurut pasal 440 KUH Perdata untuk memberikan penetapan pengampuan harus
didengarkan pendapat dari keluarga sedarah atau semenda dalam hal ini Amri
merasa tidak pernah dimintai keterangan apalagi Amri telah mengurus pengampu
selama ini, sebelum diambil oleh Rahmanudin, Bahwa dalam mengajukan penetapan
harus dipertimbangkan dahulu siapa yang mengurus terampu selama ini, sehingga
pengampuan bersifat objektif dan demi kepentingan dari terampu, Dari uraian di atas
maka Amri beranggapan bahwa penetapan pengampuan belum memenuhi prosedur
sehingga harus dibatalkan.
ANALISIS KASUS
Bahwa Terampu jika
dilihat dari kasus diatas telah mengalami gangguan dalam jiwanya pada bulan
Maret tahun 2000, hal tersebut telah memenuhi sebagai seorang yang harus berada
di bawah pengampuan berdasarkan pada pasal 433 KUH Perdata. Pengampu pada kasus
di atas yang sebagai suami dari pihak Terampu telah memenuhi sebagai seorang
Pengampu berdasarkan pasal 434 KUH Perdata, karena ikatan pernikahannya dengan
pihak Terampu pada tanggal 20 agustus 1993 dengan akta nikah nomor
226/28/VIII/1993. Pengampuan pada kasus di atas telah diajukan ke pengadilan
negeri setempat dan telah ditetapkan.
Amri sebagai saudara
sedarah dari pihak Terampu boleh meminta pengampuan atas pihak Terampu. Akan
tetapi suami juga berhak meminta pengampuan akan istrinya, dalam kasus ini
sebagai Terampu. Berdasarkan penetapan pengadilan bahwa suami dari pihak
Terampulah yang berhak atas pengampuan pihak Terampu atau Istrinya tersebut. Dengan
pertimbangkan dahulu siapa yang mengurus terampu selama ini, sehingga
pengampuan bersifat objektif dan demi kepentingan dari terampu,
Pada kasus diatas
Rahmanudin sebagai suami dinilai tidak layak menjadi seorang pengampu istrinya
oleh Amri karena Rahmanudin telah menikah lagi secara siri dengan Herawati dan
tinggal serumah dengan terampu. Hal ini sebenarnya masih dapat dinilai layak
sebagai pengampu karena perkawinannya masih belum terputus oleh perceraian.
Apabila Rahmanudin telah menceraikan pengampu maka pengampuan itu berakhir
karena pengampuannya berdasarkan atas perkawinan. Dan yang boleh meminta
pengampuan yakni dari keluarga sedarahnya dalam garis lurus dan oleh para
keluarga semendanya dalam garus menyimpang samapi dengan derajat ke empat.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar