Kamis, 30 Oktober 2014

ARTIKEL HUKUM TANAH DI INDONESIA



BAB I
ARTIKEL HUKUM TANAH
1.1  Hukum Tanah Barat
Sejarah Hak atas Tanah
  1. Sejarah Hak atas Tanah
Tujuan yang dikandung oleh hkum tidak terlepas dari siapa yang membuat hukum tersebut. Jika sebelum Bangsa Indonesia merdeka, sebagian besar Hukum agrarian dibuat oleh penjajah terutama masa penjajahan Belanda, maka jelas tujuan dibuatnya adalah semata-mata untuk kepentingan dan keuntungan penjajah. Hukum agrarian yang berlaku sebelum diundangkannua Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah hukum agrarian yang sebagian besar tersusun berdasarkan tujuan dan keinginan sendiri-sendiri dari pemerintah jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya. Sehingga ketentuan Hukum agraria yang ada dan berlaku di Indonesia sebelum UUPA dihasilkan oleh bangsa sendiri masih bersifat Hukum Agraria Kolonial yang sangat merugikan bagi kepentingan bangsa Indonesia.[1]
Dalam perjalanan sejarah pemerintah Hindia Belanda di Indonesia terdapat dualism hukum yang menyangkut Hukum Agraria Barat, dan dipihak lain berlaku Hukum Agraria Adat. Akhirnya sistem tanam paksa yang merupakan pelaksanaan politik kolonial konservatif dihapuskan dan dimulailah sistem liberal. Politik liberal adalah kebalikannya dari politik konservatif dihapuskan dsn dimulailah sistem liberal. Prinsip politik liberal adalah tidak adanya campur tangan pemerintah dibidang usaha, swasta diberikan hak untuk mengembangkan usaha dan modalnya di Indonesia. Hal ini disebabkan karena semakin tajamnya kritik yang dialamatkan kepada Pemerintah Belanda karena kebijakan politik agrarianya mendorong dikeluarkannya kebijakan kedua yang disebut Agrarisch Wet (dimuat dalam Staatblad 1870 Nomor 55).[2]
Terkait dengan sejarah hak-hak atas tanah berdasarkan hal-hal diatas, maka hak-hak atas tanah dapat dibedakan dalam 2 masa, yaitu masa kolonial (sebelum kemerdekaan) dan setelah kemerdekaan.
  1. Masa Kolonial (sebelum kemerdekaan)
Hak-hak atas tanah yang ada pada masa colonial ini, tentunya tunduk pada Hukum Agraria Barat yang diatur dalam KUH Perdata, diantara hak-hak yang diatur tersebut antara lain :
a)      Hak Eigendom (hak milik)
Pasal 570 KUH Perdata menyebutkan; Eigendom adalah hak untuk dengan bebas mempergunakan suatu benda sepenuh penuhnya dan untuk menguasai seluas luasnya, asal saja tidak bertentangan dengan undang undang atau peraturan peraturan umum yang ditetapkan oleh instansi (kekuasaan) yang berhak menetapkannya, serta tidak menganggu hak hak orang lain; semua itu kecuali pencabutan eigendom untuk ke pentingan umum dengan pembayaran yang layak menurut peraturan peraturan umum.
b)      Hak Erfpacht (hak usaha)
Hak erpacht, adalah hak benda yang paling luas yang dapat dibebankan atas benda orang lain. Pada pasal 720 KUH Perdata disebutkan, bahwa suatu hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tak bergerak milik orang lain dengan kewajiban member upeti tahunan. Disebutkan didalamnya pula bahwa pemegang erfpacht mempunyai hak untuk mengusahakan dan merasakan hasil benda itu dengan penuh. Hak ini bersifat turun temurun, banyak diminta untuk keperlua pertanian. Di Jawa dan Madura Hal erfpacht diberikan untuk pertanian besar, tempat tempat kediaman di pedalaman, perkebunan dan pertanian kecil. Sedang di daerah luar Jawa hanya untuk pertanian besar, perkebunan dan pertanian kecil.
a)      Hak Opstal (hak numpang karang)
Hak Opstal adalah hak untuk mempunyai rumah, bangunan atau tanam tanaman di atas tanah orang lain. Menurut Pasal 711 KUH Perdata disebutkan bahwa hak kebendaan untuk mempunyai gedung-gedung, bangynan-bangunan dan penanaman diatas pekarangan orang lain.
  1. Masa Setelah Kemerdekaan
a)      Sebelum UUPA
Hukum agrarian sebelum adanya UUPA mempunyai sifat dualisme hukum, dikarenakan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat, disamping peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum Barat. Hal mana selain menimbulkan pelbagai masalah antargolongan yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan bangsa. Hal ini pun terjadi dalam sejarah pemberlakuan hak-hak atas tanah di Indonesia. Sifat dualisme Hukum Agraria kolonial ini meliputi bidang-bidang sebagai berikut :
1)      Hukumnya
Pada saat yang sama berlaku macam-macam Hukum Agraria, yang meliputi :
v  Hukum Agraria Barat yang diatur dalam Bugerlijk Wetboek, Agrarische Wet, dan Agrarische Besluit.
v  Hukum Agrarian Adat yang diatur dalam Hukum Adat daerah masing-masing
v  Hukum Agraria Swapraja yang berlaku didaerah-daerah Swapraja (seperti : Yogyakarta, Surakarta, dan Aceh)
v  Hukum Agraria Antar-Golongan (Agrarische Interdentielrecht) yaitu hukum yang digunakan untuk menyelesaikan hubungan-hubungan hukum dalam bidang pertanahan antarorang-orang pribumi dengan orang-orang bukan pribumi
2)      Hak Atas Tanah
v  Hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Agraria Barat yang diatur dalam KUHPerdata, misalnya  hak eigendom, hak erfpacht, hak postal, Recht van gebruik (hak pakai), bruikleen (hak pinjam pakai)
v  Hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Agraria Adat daerah masing-masing yang disebut tanah-tanah hak adat, misalnya tanah yayasan, tanah kas desa, tanah gogolan, tanah pangonan (penggembalaan), tanah kuburan.
v  Hak-hak atas tanah yang merupakan ciptaan Pemerintah Hindia Belanda, misalnya hak agrarische (tanah milik adat yang ditundukkan diripada Hukum Agraria Barat), landerijen bezitrecht (tanah yang subjek hukumnya terbatas pada orang-orang dari golongan Timur Asing/ Tionghoa)
v  Hak-hak atas tanah yang merupakan ciptaan Pemerintah Swapraja, misalnya grant sultan (semacam hak milik adat yang diberikan oleh Pemerintah Swapraja khusus bagi para kaula swapraja, didaftar di kantor Pejabat Swapraja)
b)      Setelah UUPA
Setelah lahirnya (Undang-Undang Pokok Agraria) sebagai dasar bagi Hukum Agraria di Indonesia, maka problema dualism pun teratasi. Alhasil, Negara Indonesia dapat berupaya semakin maksimal, guna mencapai apa yang menjadi tujuan Negara bagi kemakmuran Rakyat.
Hak-hak atas tanah diatur dalam UUPA pasal 2, pasal 4, pasal 16, pasal 20-46, pasal 50, pasal 53, pasal 55,dan ketentuan-ketentuan tentang konversi. Sehingga lahirlah kodifikasi hak-hak atas tanah yang lebih baik
Setelah adanya UUPA, hak-hak atas tanah di Indonesia pun mutlak menjadi milik Negara Indonesia. Dalam UUPA hak tanah mempunyai hierarki


[1] Muchsin, , Hukum Agraria Indonesia dalam Perspektif  Sejarah, (Bandung Refika Aditama, 2007), hlm. 9
[2] Muchsin, Ibid, hlm. 13

Sejarah Hukum Agraria Sebelum Berlakunya UUPA
Sejarah Hukum Agraria Lama Bersifat Dualistis
Sejarah Hukum agraria yang berlaku sebelum Indonesia merdeka masih menggunakan hukum barat  yaitu Agrarische Wet  yang memberikan jaminan hukum kepada pengusaha swasta, dengan Hak Erpacht dan Agrarische Besluit yang melahirkan azas Domein Verklaring dimana semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak Eigendom nya adalah domein atau milik negara. Maka tanah-tanah diatur dengan hak-hak barat seperti tanah eigendom, tanah erfacht, tanah postal dan lain-lain. Sedang tanah-tanah yang dikenal dengan hak-hak Indonesia adalah tanah-tanah ulayat, tanah milik, tanah usaha, tanah gogolan, tanah bengkok, tanah agrarich eigendom 
Sejarah Hukum agraria barat tersebut hanya mengatur sebatas perbuatan-perbuatan hukum yang dimungkin terhadap tanah-tanah yang berasal dari hukum agraria barat. Sehingga tanah eigondmom misalnya tidak dapat digadaikan menurut hukum agraria adat.
Sejarah Hukum agraria saat itu belum sepenuhnya mengatur tanah-tanah dengan hak-hak Indonesia, meski ada beberapa tanah-tanah agrarisch eigendom milik kota Yogyakarta, Surakarta, dan tanah-tanah grant di Sumatra Timur.
Sejarah Hukum agraria adat mengatur tanah-tanah di Indonesia sepanjang tidak diadakan ketentuan khusus untuk hak-hak tertentu. Karena tidak semua tanah-tanah Indonesia adalah tanah-tanah yang mempunyai status sebagai hak-hak asli adat, tetapi ada juga yang berstatus buatan Belanda seperti tanah agrarisch eigondom. Hak tersebut ialah hak milik, yaitu hak Indonesia yang subjeknya terbatas pada orang-orang dari golongan Timur Asing, terutama Timur Asing Tionghwa.
Sejarah Hukum Agraria Barat Berjiwa Liberal Individualitis
Sifat Individualistis dalam sejarah hukum agraria ini dapat diketahui dalam pengertian tentang hak eigendom sebagai hak atas benda yang penuh dan mutlak.  Hak eigendom adalah hak yang memberi wewenang  penuh untuk menikmati penggunaan tanah untuk berbuat bebas terhadap tanah itu dengan kekuasaan penuh, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya yang ditetapkan oleh badan-badan penguasa yang berwewenang dan tidak mengganggu hak-hak orang lain.
Sejarah Hukum agraria barat dengan jelas menempatkan hak eigendom telah memberi wewenang kepada pemilik tanah yang bisa berbuat bebas dengan tanah yang dimilikinya. Dengan hak tersebut pemilik tanah bisa berbuat bebas untuk mempergunakan maupun tidak. Oleh karena itu hukum agraria barat ini tidak dapat terus dipertahankan.
Sejarah hukum agraria lama tersebut  dalam banyak hal, tidak merupakan alat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur, bahkan merupakan penghambat pencapaiannya. Hal itu terutama disebabkan karena :
  • Sejarah Hukum agraria lama itu sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan, sehingga bertentangan dengan kepentingan rakyat didalam melaksanakan pembangunan nasional.
  • Sejarah Hukum agraria lama bersifat dualisme, yaitu berlakunya peraturan hukum adat disamping peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum barat.
  • Bagi rakyat asli sejarah hukum agraria penjajahan tidak menjamin kepastian hukum seluruh rakyat Indonesia.
Dari sejarah hukum agraria yang telah dijelaskan diatas diketahui bahwa hukum agraria sebelum terbentuknya UUPA lebih menguntungkan bagi pemerintah hindia-belanda yang pada saat itu membuat pengundangan Agrarische wet (1870). Seperti yang diketahui bahwa Agrarische wet terbentuk atas adanya desakan para pengusaha swasta asing yang menanamkan modalnya di hindia belanda, sebab dengan adanya pasal 62 ayat 1,2, dan 3 (Regering Reglement) mereka sulit mendapatkan tanah yang luas dengan jangka waktu yang lama dan hak atas tanah yang kuat maka dari itu lahirlah Agrarische wet tahun 1870 tersebut.
Lalu dualisme hukum yang dianut oleh sejarah hukum agraria lama mengakibatkan ketidakpastian bagi sejarah hukum agraria adat karena tanah-tanah barat didaftarkan, terdapat lembaga kadaster namun bagi tanah-tanah adat tidak didaftarkan sehingga tidak dapat dibuktikan sebagai tanah-tanah adat dan menjadi domein Negara (milik Negara), adanya asas domein verklaring tersebut berarti Negara bisa berbuat apa saja atas tanah. Untuk lebih jelasnya bisa juga melihat/memperhatikan diktum UUPA (UU No.5/1960) mengenai peraturan perundang-undangan yang dicabut, kita dapat mengetahui sejarah hukum agraria mana saja yang pernah berlaku dinegara kita sebagai bahan analisis dan perbandingan.
Kesimpulannya bahwa sejarah hukum agraria barat bertitik tolak dari pengutamaan kepentingan pribadi sehingga pangkal dan pusat pengaturan terletak pada eigendom-recht (hak eigendom) yaitu pemilikan perorangan yang penuh dan mutlak, disamping domein verklaring (pernyataan domein) atas pemilikan tanah oleh Negara. Hukum adat tanahnya sebagai bagian terpenting dari hukum adat, bertitik tolak dari pemungutan kepentingan masyarakat (komunalistis) yang berakibat senantiasa memperimbangkan antara kepentingan umum dan kepentingan perorangan. 
Perlu adanya usaha penyesuaian sejarah hukum agraria kolonial dengan keadaan dan keperluan sesudah lahirnya UUPA atau sesudah kemerdekaan yaitu yang pertama adalah menerapkan kebijaksanaan baru terhadap UU keagrariaan yang lama, melalui penafsiran baru yang sesuai dengan situasi kemerdekaan, UUD 1945, dan dasar Negara pancasila. Dalam tanah-tanah yang statusnya adalah sebagai domein Negara sebaiknya juga dipergunakan secara baik untuk dikelola dan demi kesejahteraan rakyat. Jadi asas domein veklaring tersebut bukanlah semata-mata Negara mengusai tetapi Negara hanya mengelola demi kesejahteraan rakyat
Pada masa penjajahan jepang, sejarah hukum agraria yang berlaku sebelum masa penjajahan Jepang masih tetap berlaku, karena masa penjajahan yang begitu singkat belum sempat terpikirkan untuk mengadakan perombakan terhadap hukum agraria. Tidak banyak yang dapat diuraikan tentang sejarah hukum agraria pada jaman Jepang, keculai kekacauan dan keadaan yang tidak menentu terhadap penguasaan dan hak- hak atas tanah sebagaimana layaknya pada keadaan perang. Pemerintah jepang dalam melaksanakan kebijakan pertahanan dapat dkatakan hampir sama dengan kebijakan yang pemerintah hindia belanda. Penduduk jepang mengeluarkan suatu kebijakan yang dituangkan dalam Osamu Serey nomor 2 tahun 1944, dan Osamu Serey yang terakhir nomor 4 dan 25 tahun 1944.
1.2  Hukum Tanah Adat.
MENGENAL PENGERTIAN HUKUM TANAH DALAM ADAT
Dalam artikel ini saya akan membahas tentang  HUKUM TANAH DALAM ADAT.
A. Pengertian Hak Ulayat/ Hak Purba
Hak Purba memiliki beberapa istilah, diantaranya hak persekutuan dan hak purba itu sendiri, hal ini diungkapkan oleh Djojodigoeno, hak pertuanan diungkapkan oleh Supomo, dan dalam UUPA disebut hak ulayat. Dalam masa lalu, dimasa sebelum kemerdekaan dan masa-masa kerajaan di Nusantara ini, hak persekutuan/hak purba merupakan hak tertinggi atas tanah di seluruh Nusantara ini.
Hak purba adalah hak yang dipunyai oleh suatu suku (clan/ gens/ stam), sebuah serikat desa-desa (dorpenbond) atau biasanya oleh sebuah desa saja untuk menguasai seluruh tanah dan seisinya dalam lingkungan wilayahnya. Dalam redaksi lain disebutkan bahwa hak persekutuan atas tanah adalah hak persekutuan (hak masyarakat hukum) dalam hukum adat terhadap tanah tersebut; misalnya hak untuk menguasai tanah, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di atasnya, atau berburu binatang-binatang yang hidup di atas tanah itu. Hak masyarakat hukum atas tanah ini disebut juga “hak ulayat” atau “hak pertuanan”. Dalam literatur oleh C. Van Vollenhoven disebut dengan istilah “beschikking”, sedangkan tanah sebagai wilayahnya disebut “beschikkingring”.
Hak Ulayat adalah pengakuan bersama oleh seluruh anggota masyarakat dan didalamnya juga terkandung hak kepunyaan perorangan yang berarti orang perorangan boleh mempunyai tanah di lingkungan hak ulayat tersebut. Sementara menurut Budi Harsono hak ulayat adalah hak dari suatu masyarakat hukum adat atas lingkungan tanah wilayahnya, yang memberi wewenang-wewenang tertentu kepada penguasa adat untuk mengatur dan memimpin penggunaan tanah wilayah masyarakat hukum tersebut.
C. Van Vollenhoven menyebutkan enam ciri hak ulayat, yaitu persekutuan dan para anggotanya berhak untuk memanfaatkan tanah, memungut hasil dari segala sesuatu yang ada di dalam tanah dan tumbuh dan hidup di atas tanah ulayat ini. Adapun keenam ciri-ciri hak ulayat adalah sebagai berikut:
1. Hak individual diliputi juga oleh hak persekutuan.
2. Pimpinan persekutuan dapat menentukan untuk menyatakan dan menggunakan bidang-bidang tanah tertentu ditetapkan untuk kepentingan umum dan terhadap tanah ini tidak diperkenankan diletakkan hak perseorangan.
3. Orang asing yang mau menarik hasil tanah-tanah ulayat ini haruslah terlebih dulu meminta izin dari kepada persekutuan dan harus membayar uang pengakuan, setelah panen harus membaar uang sewa.
4. Persekutuan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi di atas lingkungan ulayat.
5. Larangan mengasingkan tanah yang termasuk tanah ulayat, artinya baik persekutuan maupun para anggotanya tidak diperkenankan memutuskan secara mutlak sebidang tanah ulayat sehingga persekutuan hilang sama sekali wewenangnya atas tanah tersebut.
B. Tanah Ulayat
Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat sebagai unsur pendukung utama bagi kebidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa.
Disinilah sifat religius hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat bersama dengan tanah ulayatnya ini. Adapaun tanah ulayat atau tanah bersama yang dalam hal ini oleh kelompok di bawah pimpinan kepala adat masyarakat hukum adat, misalnya adalah hutan, tanah lapang, dan lain sebagainya. Tanah untuk pasar, penggembalaan, tanah bersama, dan lain-lain yang pada intinya adalah demi keperluan bersama.
Apabila dipandang dari sudut bentuk masyarakat hukum adat, maka lingkungan tanah mungkin dikuasai oleh suatu masyarakat hukum adat atau beberapa masyarakat. Oleh karena itu biasanyanya lingkungan tanah adat dibedakan antara :
1.      Lingkungan tanah sendiri, yaitu lingkungan tanah yang dimiliki oleh satu masyarakat hukum adat. Misalnya masyarakat adat tunggal desa di Jawa.
2.      Lingkungan tanah bersama, yaitu yaitu lingkungan tanah adat yang dikuasai oleh beberapa masyarakat hukum adat yang setingkat. Dengan alternatif sebagai berikut :
a. Beberapa masyarakat hukum adat tunggal. Misalnya beberapa belah di Gayo.
b. Beberapa masyarakat hukum adat atasan. Misalnya, luhat di Padanglawas.
c. Beberapa masyarakat adat bawahan. Misalnya, huta-huta di Angkola.
C. Hubungan Hak Ulayat Dengan Hak Perorangan
Di berbagai bagian Hindia-Belanda terdapat lingkungan-lingkungan hak purba yang satu sama lain dipisahkan oleh wilayah-wilayah tak bertuan yang luas. Di bagian-bagian lain terdapat wilayah-wilayah yang disitu hampir tak ada sebidang tanah pun yang termasuk dalam hak purba. Hak purba itu di tempat yang satu masih kuat, sedang di tempat lain sudah lemah. Dan gejala yang bersifat umum adalah semakin maju dan bebas penduduk dalam usaha-usaha pertaniannya, semakin lemahlah hak ulayat itu dengan sendirinya. Akhirnya jika hak ulayat sudah lemah, maka dengan sendirinya hak perorangan akan berkembang dengan pesatnya (semakin menguat).
Menurut Ter Haar hubungan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan persekutuan adalah timbal balik dan memiliki kekuatan yang sama. Artinya, hak perseorangan mempertahankan diri terhadap hak persekutuan adalah sama kuatnya dengan hak persekutuan mempertahankan diri terhadap hak perseorangan. Fakta tersebut dapat dirumuskan demikian: hak ulayat dan hak perorangan itu bersangkut-paut dalam hubungan kempis-mengembang, desak-mendesak, batas-membatasi, mulur-mungkret tiada henti. Ketika hak ulayat menguat maka hak perorangan melemah, demikian pula sebaliknya ketika hak perorangan menguat hak ulayat melemah.Di Tapanuli Selatan ada kemungkinan tanah perorangan itu dicabut haknya, hal ini dapat terjadi apabila yang mengolahnya adalah orang lain dan mereka sendiri pergi meninggalkan lingkungan ulayatnya. Oleh karena itu, tanah mereka akan dibagikan kepada orang-orang miskin denga hak pakai. Tanah yang demikian tersebut disebut “salipi na tartat”.
Selanjutnya hak ulayat juga juga berlaku terhadap orang-orang luar, yaitu orang-orang yang bukan anggota persekutuan. Apabila orang-orang di luar hendak memasuki persekutuan mereka harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari kepala persekutuan dan sebelum permohonan mereka dikabulkan terlebih dahulu harus memberi sesuatu kepada persekutuan; misalnya di Aceh, orang di luar persekutuan yang hendak memasuki persekutuan harus membayar “uang pemasukan”, di Jawa disebut “mesi”.
Hal lain yang dapat dicontohkan untuk menjelaskan hubungan antara hak peroranga dengan hak ulayat adalah sebagai berikut: Hak rakyat tani di jawa atas tanahnya mengalami perkembangan melalui taraf-taraf yang menggambarkan makin menipisnya hak purba persekutuan hukum, sejalan dengan makin menebalnya hak perorangan.
1.         Sistem Bluburan; Milik Komunal dengan pembagian periodic
Tanah kuliah pertanian dibagi dalam beberapa bidang dengan pematang-pematang (galengan) sebagai batas pemisahnya. Setiap bidang dikerjakan oleh seorang petani. Sesudah panen, galengan-galengan itu dihapus (‘diblubur’). Menjelang masa menggarap, diadakan pembidangan kembali yang berbeda dengan pembagian semula. Dan pada masa tanam yang berikut ini masing-masing petani mendapat bidang tanah yang lain, sehingga hubungannya dengan tanah garapanya tidak tetap, tidak kontinu.
2).        Matok Galeng, gilir wong
Tanah kulian pertanian dibagi dalam beberapa bidang yang tetap, tidak diblubur setiap habis panen. Tetapi bagian masing-masing petani itu gilir-berganti setiap masa tanam. Masing-masing petai tidak/belum mau memperbaiki tanah garapannya, karena ia tahu bahwa masa tanam berikutnya ia akan mendapat bidang tanah yang lain.
3) Matok galeng, matok wong
Disamping petani yang mendapat bagian yang berganti-ganti ada juga yang mendapat bagian tetap. Tetapi tanah itu hanya dikuasainya hanya seumur hidupnya sendiri, sesudah ia meninggal maka desalah yang menentukan kepada siapa tanah itu akan diserahkan (kembali kepada persekutuan hukum sendiri/kepada warga lain dalam persekutuan hukum tersebut).
4) Tanah dapat diwariskan disertai pembatasan
Tanah yang dikuasai seumur hidup itu dapat diwariskan tetapi tidak boleh dibagi dan tidak boleh dijual.
5) “Tebok” dengan seleksi
Seorang petani yang menguasai hak atas tanah kulian tetapi dia berhutang, selanjutnya ia melepaskan tanah tersebut sebagai pengganti hutangnya, orang yang mau menebus atau tebok tanah tersebut maka dia menguasai tanah kulian itu.
Tentang perubahan hak ulayat menjadi hak perorangan baru dapat terjadi apabila ditempuh cara-cara sebagai berikut:
1.      Apabila seorang pemimpin lingkungan ulayat menyatakan dirinya sebagai pendukung hak ulayat dan akibatnya pimpinan lingkungan ulayat yang biasanya raja, menyatakan dirinya karena kekuasaannya sebagai pemilik tanah di bawah kekuasaannya; misalnya desa Mijen di Jawa dimana kepala desanya menjadi pemilik dari tanah ulayat.
2.      Apabila anggota ulayat mencari orang-orang luar untuk mengusahakan tanah-tanah hutan yang kosong dengan mengadakan pembayaran terlebih dahulu.
3.      Apabia anggota ulayat ditarik biaya jika mereka ingin mengusahakab tanah tersebut.
D. Kedudukan Hak Ulayat Dalam UUPA (UU No. 5 Tahun 1960)
Dalam Undang-undang Pokok Agraria pasal 5 UU No.5 1960 menyebutkan bahwa: “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam UU ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”
Ketentuan ini mengandung makna, bahwa unsur-unsur hukum adat di bidang pertanahan yang ada di dalam suatu masyarakat hukum adat selama tidak bertentangan dengan ketentuan dan peraturan yang ada dapat dipergunakan dalam rangka pelaksanaan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria tersebut.
Unsur-unsur yang penting dalam UUPA yang perlu kita perhatikan dan mempunyai kaitan dengan uraian ini lebih lanjut adalah:
1.      Bahwa tidak ada perbedaan tiap-tiap WNI baik laki-laki maupun wanita dalam memperoleh kesempatan untuk mendapatkan sesuatu hak dan manfaat atas tanah. [pasal 9: (2)]
2.      Bahwa UUPA No.5 1960 mengharuskan adanya pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum atas tanah (pasal 19)
3.      Bahwa UUPA No.5 1960 membenarkan adanya sistem pemilikan bersama (pasal 17)
4.      Perintah penegasan hak-hak atas tanah adat yang telah ada sebelum UUPA No.5 1960 diundangkan (pasal-pasal ketentuan Konversi).
Untuk menerangkan bagaimana hubungan antara hak ulayat dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)/ UU No. 5 Tahun 1960 kita dapat melihat pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut: “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”
Berdasarkan pasal 3 di atas, hak ulayat atau hak tanah adat diakui keberadaannya, akan tetapi pengakuan itu diikuti syarat-syarat yang harus dipenuhi diantaranya:
1.      Eksistensinya masih ada
2.      Tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
3.      Tidak bertentangan dengan aturan-aturan dalam undang-undang.
Ketentuan ini berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum agraria yang baru (UUPA). Sebagaimana diketahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula di dalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi di dalam undang-undang, dengan akibat bahwa di dalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman penjajahan dulu seringkali diabaikan. Berhubung dengan disebutnya hak ulayat di dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang pada hakikatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya di dalam pemberian hak atas tanah (umpamanya hak guna usaha) masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi “recognitie”, yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang hak ulayat itu.
Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut menghalang-halangi pemberian hak guna usaha itu, sedangkan pemberian hak tersebut di daerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk. Pengalaman menunjukkan pula, bahwa pembangunan daerah-daerah itu sendiri sering kali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat, inilah yang merupakan pangkal pikiran kedua pada ketentuan pasal 3 tersebut di atas. Kepentingan suatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih luas dan hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu.
Dalam UUPA dan hukum tanah nasional, bahwasanya hak ulayat tidak dihapus, tetapi juga tidak akan mengaturnya, dalam artian adalah mengatur hak ulayat dapat berakibat melanggengkan atau melestarikan eksistensinya. Karena pada dasarnya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan (uraian 85 dan 106 E).

Daftar Pustaka:
1.      Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah.Jakarta: Djambatan, 1991.
2.      Sajuti, Thalib.  Hubungan Tanah Adat Dengan Hukum Agraria di Minangkabau, Bina Aksara, , 1985.
3.      Sudiyat, Imam. Hukum Adat, Yogyakarta: Liberty, 2000.
4.      Soerjono Soekanto. Hukum Adat Indonesia, Jakarta:  Rajawali, 1990.
5.      Wulansari, Dewi. Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, Bandung: Refika Aditama, 2010.
6.      Republik Indonesia, UU No. 5 Tahun 1960 (Undang-Undang Pokok Agraria)
1.3  Hukum Tanah Antar Golongan
Asas Pemisahan Horizontal dalam Hukum Tanah Nasional (Bagian II)
Pengantar redaksi:
Artikel ini cuplikan pidato pengukuhan Prof Dr Eman Ramelan SH MS sebagai guru besar Ilmu Hukum Agraria Hukum Universitas Airlangga pada Sabtu 13 Desember 2008. Dimuat di media online GagasanHukum.WordPress.Com secara bersambung. Bagian I, edisi Senin 22 Desember 2008. Bagian II edisi Senin 29 Desember 2008. Bagian III edisi Senin 5 Januari 2009. Bagian IV edisi Senin 12 Januari 2009. Bagian V edisi Senin 19 Januari 2009. Email: eman_ramelan@yahoo.com
Seperti yang diuraikan di atas bahwa pemilik tanah yang sistem hukum tanahnya menggunakan asas perlekatan, selain memberikan  kewenangan kepada pemilik unutuk menggunakan tanahnya juga berkewenangan pula terhadap ruang udara yang ada di atasnya serta berhak atas ruang bawah tanah (right bellow the surface of  land). Hak ini  meliputi right to minerals deposit,  rights to items found in the land , and right to spaces  below the surface, dan karenanya penggunaan atas ruang tersebut tanpa ijin  dari si pemiliknya dipandang sebagai bentuk gangguan atau pelanggaran terhadap hak atas tanahnya.[1] Hal ini  nampak dalam kasus  The Metropolitas Rail Way Co lawan Fowler dan kasus Grigsby lawan Melville. Dalam perkembangannya right bellow the surface of  land  tidak lagi diartikan memiliki kewenangan sampai batas yang tak terkira terhadap ruang bawah tanah. Ada pembatasan yang ditentukan dalam peraturan perundangan seperti yang terjadi di New South Wales, Australia. Beberapa ketentuan yang dijumpai  di wilayah tersebut antara lain The Helesburgh Leases Act Tahun  1911, Western Land Acts Tahun 1901, serta Crown Lands (Continued Tenures) Act Tahun 1989. yang menentukan kedalaman tanah yang bisa memberi wewenang kepada si pemiliknya sampai dengan 500 (lima ratus) kaki.
Pemilik tanah pada negara yang menggunakan asas perlekatan dalam menggunakan haknya atas ruang bawah tanah berupa penguasaan minerals deposit hanya sebatas pada benda-benda mineral yang bersifat padat  (hard mineral), sedangkan untuk benda-benda mineral  yang berbentuk cair atau gas dipandang kurang tepat. Secara alamiah benda-benda mineral yang berbentuk cair dan atau gas dapat mengalir atau bergerak dari lokasi yang satu ke lokasi yang lainnya menurut keadaan, sebaliknya benda benda mineral yang berbentuk padat tetap berada pada tempatnya. Terhadap hal ini Eugene Kuntz mengajukan teori Rule of capture  yang diberlakukan khusus terhadap benda – benda mineral yang berbentuk cair dan gas, dengan menyatakan bahwa : ……the owner of the track of land acquires title to the oil and gas that he produces from wells drilled thereon, thought it may be proved that part of such oil and gas migrated from adjoining lands.[2] Teori ini yang kemudian diikuti oleh  Texas Supreme Court  melalui putusannya dalam mengadili perkara antara Getty Oil melawan Jones pada tahun 1971 dan dalam perkara antara Sun Oil melawan Whitaker pada tahun 1972.
Pada masa sebelum tahun 1960, Indonesia mengenal adanya dualisme hukum di bidang Hukum Agraria (termasuk di dalamnya hukum pertanahan) dengan diberlakukan secara bersama-sama Hukum Barat dan Hukum Adat. Pemberlakuan terhadap hukum-hukum tersebut didasarkan pada pembagian golongan kependudukan yang ditetapkan dalam pasal 131 dan 163 IS (Indische Staats Regeling). Berdasarkan ketentuan ini bagi golongan Eropah dan Timur asing, terhadap masalah pertanahan diberlakukan hukum barat yang perwujudannya dijumpai, antara lain  dalam  Agrarische Wet 1870 (Staatblad 1870 nomor 55) sebagaimana yang termuat dalam pasal 51 wet op de Staat-sinrichting van Nederlands Indie (Staatblad 1925 nomor 447), Agrarische Besluit 1870 (Staatblad 1870 nomor 118), serta ketentuan BW (Burgerlijk Wet Boek).  Tanah oleh BW dipandang sebagai bagian dari Benda  (benda tidak bergerak). Oleh karena itu, pengaturan terhadap masalah pertanahan bagi golongan Eropah dan Timur Asing akan tunduk pada ketentuan Buku II BW yang berisi tentang hukum benda, yang dalam pengaturannya menggunakan asas perlekatan seperti yang diatur dalam  pasal 500, 506 dan 507 BW .
Pengaturan hukum bagi Golongan Bumi Putera diberlakukan Hukum Adatnya. Dalam masalah yang berkaitan dengan pertanahan, hukum adat tidak mengenal asas perlekatan seperti yang diatur dalam BW, tapi menggunakan asas pemisahan horisontal (horizontale van scheiding). Asas ini menyatakan bahwa pemilkan atas tanah dan benda atau segala sesuatu yang berdiri di atas tanah itu adalah terpisah. Asas pemisahan horisontal memisahkan tanah dengan benda lain yang melekat pada tanah itu. Dalam kaitanya dengan ini, Terhaar yang pendapatnya dikutip oleh Iman Sudiyat menyatakan bahwa tanah adalah terpisah dari segala sesuatu yang melekat  padanya atau pemilikan atas tanah terlepas dari benda yang berada di atas tanah itu, sehingga pemilik atas tanah dan bangunan yang berada di atasnya dapat berbeda.[3] Asas pemisahan horisontal yang dianut dalam Hukum Adat ini, berangkat dari pemikiran  yang meletakan tanah sedemikian rupa tingginya dibandingkan dengan benda lainnya. Di dalam Hukum Adat, penilaian dan penghargaan  pada tanah adalah sedemikian rupa sehingga tanah menjadi jenis benda yang sangat istimewa dan mendapat perlakuan khusus dalam pengaturan hukumnya.[4] Pendapat senada juga disampaikan oleh Wiryono Prodjodikoro yang menyatakan bahwa tanah adalah benda yang bernilai tinggi, karena tanah dipandang mengandung aspek spiritual bagi anggota masyarakat hukum adat. Bagi masyarakat Hukum Adat , tanah merupakan sesuatu yang berhubungan dengan para leluhurnya, karena itu tanah mempunyai nilai khusus  dan sangat penting dalam kehidupannya.[5] Oleh karena itu dalam Hukum Adat dipisahkan ketentuan hukumnya antara benda tanah dengan benda bukan tanah. Dengan demikian pula terhadap pengaturan antara benda tanah dengan benda lain yang bukan tanah akan ditundukan pada ketentuan yang berbeda. Ambil contoh adanya sebuah bangunan yang berdiri pada sebidang tanah. Dengan adanya asas pemisahan horisontal ini, subyek pemegang hak atas tanahnya bisa berbeda dengan subyek atas kepemilikan bangunannya. Demikian pula tanah dan bangunannya akan tunduk pada hukum yang berbeda, tanah akan tunduk pada hukum tanah sedangkan bangunannya akan tunduk pada hukum perhutangan yang mengatur penguasaan hak atas benda bukan tanah. Van Dijk mengatakan bahwa hukum perhutangan ini bukan dimaksud sebagai hukum hutang piutang, tapi sebagai hukum yang mengatur tentang penguasaaan atas benda bukan tanah serta peralihan dan hukum jasa-jasa.[6]
Dari uraian di atas menampakan bahwa walaupun saat itu Hukum Barat dan Hukum Adat memiliki asas yang berbeda, namun keduanya diberlakukan pada masa atau waktu yang sama untuk masing masing golongan yang ditentukan dalam pasal 131 IS. Sangat dimungkinkan terhadap  hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Adat akan menjadi obyek perbuatan hukum yang melibatkan subyek yang tunduk pada Hukum Barat,  bisa demikian sebaliknya. Jika terjadi demikian, akan diselesaikan lewat hukum antar golongan. Hanya saja yang perlu mendapatkan perhatian, bahwa penguasaan dan atau pemilikan tanah oleh golongan penduduk tertentu melalui proses peralihan hak, tidak akan mengubah status atau kedudukan dari hak atas tanahnya. Tanah yang tunduk pada hukum adat tidak akan berubah kedudukan dan statusnya, hanya karena  yang menguasai atau memiliki tanah tersebut adalah subyek yang berasal dari Golongan Eropah.
[1] John Stevens and Robert A. Pearce,op.cit., h. 10-11.
[2] Lowe, John .S, op.cit., h. 11-12.
[3] Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Jogyakarta, 1981, h. 54
[4] Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah Dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h. 70.
[5]Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak-hak Atas Benda, Bangkit, Jakarta, 1955, h.33.
[6]Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia, terjemahan A. Soehardi, Mandar Maju, Bandung, 2006, h. 87.
1.4  Hukum Tanah Swapraja
Dengan segala kerendahan hati diunggah oleh Fernandes Raja Saor, S.H. di 19.23
PEROLEHAN TANAH DI WILAYAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
FAKTA
SejarahPertanahan Daerah Istimewa Yogyakata (DIY)
Hukum Tanah Swapraja adalah keseluruhan peraturan tentang pertanahan yang khusus berlaku di daerah swapraja, seperti Kesultanan Yogyakarta. Hukum Tanah Swapraja ini pada dasarnya adalah hukum tanah adat yang diciptakan oleh Pemerintah Swapraja dan sebagian diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Landasan hukumnya adalah antara lain Koninlijk Besluit yang diundangkan dalam Staatsblad No. 474 tahun 1915 yang intinya memberi wewenang pada penguasa swapraja untuk memberikan tanahnya dengan hak-hak barat serta Rijksblad Kesultanan 1918 No.16 jo 1925 No.23, serta Rijksblad 1918 No.18 jo Rijksblad 1925 No.25 dimana hak milik atas tanah tidak diberikan kepada warga negara Indonesia non-pribumi.
Dalam konsiderans Staatsblad No. 474 tahun 1915 ditegaskan bahwa di atas tanah-tanah yang terletak dalam wilayah hukum swapraja, dapat didirikan hak kebendaan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW), seperti hak eigendom, erfpacht, opstal, dan sebagainya. Dimungkinkan bagi pemerintah swapraja untuk memberika tanah-tanah swapraja dengan hak-hak barat, terbatas pada orang-orang yang tunduk pada BW saja. Sebagai contoh adalah daerah Yogyakarta yang sampai sekarang masih dijumpai tanah-tanah swapraja.
HAPUSNYA DAERAH SWAPRAJA.
       Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, pemerintahan swapraja dibanyak daerah menjadi hapus. Wilayah-wilayah bekas daerah swapraja itu kemudian menjadi daerah yang diperintah langsung oleh negara Republik Indonesia, dan kemudian menjadi wilayah administrasi biasa, misalnya menjadi Karesidenan. Tanah-tanah yang semula dikuasai oleh pemerintah swapraja dengan hak penguasaan yang bersifat publik, menjadi tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara, seperti tanah-tanah dalam daerah pemerintahan langsung. Sedangkan tanah-tanah yang dikuasai dengan hak yang bersifat Perdata, tetap dalam penguasaan bekas kepala swapraja, yang umumnya masih menggunakan sebutan lama sebagai kepala swapraja, Sunan, Sultan atau Raja sebagai kepala keluarga kerajaan. Tanah-tanah yang dikuasai secara pribadi tersebut, pada hakikatnya adalah merupakan tanah milik pribadi seperti tanah-tanah hak milik di daerah lain. Pada waktu Sunan, Sultan atau Raja wafat, maka tanah tersebut diwarisi oleh ahli warisnya.
                 Eks Kasunanan Surakarta, eks Kesultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman, adalah daerah-daerah bekas swapraja, masing-masing mempunyai wilayah tanah dan hutan, yang merupakan wilayah tanah dan hutan swapraja, dimana semuanya hapus sejak berlakunya Undang-Udang Pokok Agraria.
       Dalam pandangan Pemerintah, ternyata disamping daerah-daerah bekas swapraja tersebut diatas, masih ada daerah-daerah yang merupakan daerah swapraja dengan segala hak dan kewenangan yang dimiliki oleh suatu daerah swapraja, yaitu; Cirebon, yang terdiri dari eks Kesultanan Kasepuhan, eks Kesultanan Kanoman dan eks Kesultanan Kacirebonan, yang dahulunya menguasai tanah-tanah yang sangat luas.
       Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria ( UUPA ), dan dengan berdasarkan kepada Diktum Keempat huruf A Undang-Undang tersebut, maka tanah-tanah yang dikuasai oleh eks Kesultanan-Kesultanan itu, telah diambil alih oleh Pemerintah Daerah Kota Cirebon karena tanah-tanah itu dikategorikan sebagai tanah swapraja/ bekas swapraja, yang dilakukan melalui Panitia Landreform Kota Praja Cirebon.
       Sejak adanya keputusan itu, Sultan Sepuh Kasepuhan dari Keraton eks Kesultanan Kasepuhan Cirebon mengajukan keberatan dan menuntut agar seluruh tanah-tanah itu  dikembalikan kepada eks Keraton Kasepuhan dengan pertimbangan bahwa, eks Kesultanan Kasepuhan bukan bekas swapraja sebagaimana yang dimaksud dalam Diktum Keempat huruf A UUPA, karena eks Kesultanan Kasepuhan Cirebon tidak berstatus swapraja lagi jauh sebelum lahirnya negara Republik Indonesia.
       Keberatan Sultan Sepuh Kasepuhan tersebut ditolak oleh Presiden Republik Indonesia dengan Suratnya tanggal 30 Juli 1962 Nomor 1893/TU/62, dimana ditegaskan bahwa, Keraton Kasepuhan adalah bekas swapraja, sebagaimana dimaksud dalam Diktum ke IV UUPA, sehingga proses pembagian tanah-tanah tersebut dalam rangka Landreform tetap dilanjutkan. Kenyataanya kemudian, seluruhnya habis di- redistribusikan dan tidak ada sisa yang seharusnya dikembalikan kepada pihak eks Kesultanan Kasepuhan Cirebon,. Hal inilah yang merupakan awal timbulnya “konflik pertanahan” di Kota Cirebon, yang terus berlanjut hingga saat ini.
Pengertian Swapraja.
       Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Swapraja berasal dari kata “Swa” yang berarti; “sendiri” dan “Praja” yang berarti; “kota-negeri”, Swapraja, berarti daerah yang berpemerintahan sendiri. Dengan demikian, daerah Swapraja berati daerah yang memiliki Pemerintahan sendiri. Sebutan swapraja tidak terdapat di dalam Undang-Undang Dasar 1945, dalam penjelasan Pasal 18 disebut; Zelfbesturende Landschappen. Baru di dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 di jumpai sebutan swapraja, masing-masing dalam Bab II dan Bab IV. Di dalam II bagian III Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang berjudul daerah Swapraja, dinyatakan dalam pasal 64 dan 65, bahwa; daerah-daerah Swapraja yang sudah ada, diakui. Mengatur kedudukan daerah-daerah swapraja masuk dalam tugas dan kekuasaan daerah-daerah bagian yang bersangkutan, dengan pengertian bahwa mengatur daerah itu dilakukan dengan kontrak, yang diadakan antara daerah-daerah bagian dengan daerah-daerah swapraja yang bersangkutan. Dalam Bab IV Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berjudul; Pemerintah Daerah dan Pemerintah Swapraja, dinyatakan dalam pasal 32, bahwa kedudukan daerah-daerah swapraja diatur dengan Undang-Undang.
       UUPA dalam Diktum ke IV, masih menyebut adanya daerah swapraja dan bekas swapraja, namun demikian, hingga kini Peraturan Pemerintah yang secara khusus merupakan pelaksanaan dari Diktum ke IV UUPA huruf A tersebut, belum juga ada. Yang ada adalah Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961 yang memuat ketentuan mengenai pembagian tanah swapraja dan bekas swapraja dalam rangka pelaksanaan Landreform. Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 ( sebagaimana juga dengan undang-undang lainnya ), tidak memberikan pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan swapraja dan bekas swapraja.
       Indonesia pada waktu masih menjadi Hindia Belanda, terdiri atas daerah-daerah yang diperintah langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda ( Rechtstreeks Bestuurgebeid ) dan daerah-daerah yang pemerintahannya diserahkan kepada Zelfbestuurders, yaitu apa yang dikenal sebagai daerah-daerah swapraja. Menurut Prof.Boedi Harsono, “swapraja adalah suatu wilayah pemerintahan yang merupakan bagian dari daerah Hindia Belanda, yang kepala wilayahnya ( dengan sebutan; Sultan, Sunan, Raja atau nama adat yang lain ), berdasarkan perjanjian dengan Pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan pemerintahan sendiri ( dalam Indische Staatsregeling 1855 Pasal 21 disebut; Zelfbestuur ) di wilayah yang bersangkutan, masing-masing berdasarkan perjanjian tersebut serta adat-istiadat daerahnya masing-masing yang beraneka ragam.    
       Kerajaan-kerajaan itu disebut Landschap atau Zelfbestuur, sedangkan Rajanya disebut Zelfbestuurder. Lansdchap itu merupakan bagian dari daerah Kerajaan Hindia Belanda, serta semua Zelfbestuurder harus mengakui Raja Belanda sebagai kekuasaan pemerintah tertinggi yang sah. Tanah-tanah, termasuk hutan dalam wilayah Swapraja, merupakan tanah-tanah Swapraja, yang kewenangan penguasaan dan pemberian haknya kepada pihak lain, ada pada Pemerintah Swapraja yang bersangkutan. Ada tanah-tanah yang dikuasai dengan hak yang bersifat Perdata oleh Kepala Swapraja secara pribadi atau dalam kedudukannya sebagai Kepala Keluarga Kerajaan, misalnya adalah; tanah untuk istana, tempat peristirahatan dan keperluan pribadi lainnya. Sisanya adalah tanah-tanah, termasuk hutan yang dikuasai dengan hak yang bersifat Publik oleh pemerintah swapraja. Tanah-tanah inilah yang oleh pemerintah swapraja diberikan kepada pihak lain dengan hak-hak yang dikenal di swapraja yang bersangkutan.
       Syarat bahwa kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri itu di dapatkan berdasarkan pemberian oleh Pemerintah Hindia Belanda, yang dituangkan dalam perjanjian-perjanjian dan disebut sebagai Korte Verklaring, adalah merupakan syarat mutlak, karena tanpa adanya Korte Verklaring itu tidak akan ada daerah swapraja. Hal itu adalah karena pada masa tersebut, Pemerintah Hindia Belanda adalah penguasa atas seluruh wilayah Indonesia, sehingga dengan demikian tanpa adanya Korte Verklaring, ia bukan daerah swapraja, melainkan merupakan daerah pemerintahan langsung dibawah Hindia Belanda.


1.5       Hukum Tanah Administrasi
Sesudah tahun 1870 (hukum tanah administratif Belanda).
Agrarische Wet (AW).
Pada tahun 1870 lahirlah Agrarische Wet yang merupakan pokok penting dari hukum agraria dan semua peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan pemerintah masa itu sebagai permulaan hukum agraria barat. Ide awal dikelularkannya Agrarische Wet (AW) ini adalah sebagai respon terhadap kaingina perusahaan-perusahaan asing yang bergerak dalam bidang pertanian untuk berkembang di Indonesia, namun hak-hak rakyat atas tanahnya harus dijamin.
AW ininmerupakan undnag-undang di negeri Belanda, yang diterbitkan pada tahun 1870, dengan diundangkan dalam S.1870-55. dimasukkannya ke Indonesia, dengan memasukkan Pasal 62 RR, yang pada mulanya terdiri dari 3 ayat, dengan penambahan 5 ayat tersebut sehingga Pasal 62 RR menjadi 8 ayat, yakni ayat 4 sampai dengan ayat 8. pada akhirnya Pasal 62 RR ini menjadi Pasal 51 IS.
Pasal 51 IS ini memuat :
Ayat (1)
Ayat (2)



Ayat (3)





Ayat (4)


Ayat (5)

Ayat (6)








Ayat (7)






:
:



:





:


:

:








:

Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah.
Di dalam larangan ini tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang diperuntukan perluasan kota dan desa serta mendirikan bangunan-bangunan kerajinan/industri.
Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah dnegan ketentuan yang ditetpakan dengan ordonansi. Ada pun tanah-tanah yang telah dibuka oleh orang-orang Indonesia asli, atau yang dipunyai oleh desa sebagai tempat pengembalaan umum atau atas dasar lainnya tidak boleh dipersewakan.
Menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan ordonansi diberikan tanah dengan Hak Erfacht selama waktu tidak lebih dari 75 tahun.
Gubernur Jenderal menjaga jangan sampai ada penberian Hak yang melanggar Hak penduduk asli.
Gubernur Jenderal tidak boleh mengambil tanah-tanah yang telah dibuka oleh orang-orang Indonesia asli untuk keperluan mereka sendiri, atau tanah-tanah kepunyaan desa sebagai tempatpengembalaan umum atas dasar lainnya, kecuali untuk kepentingan umum berdasrkan Pasal 133 dan untuk keperluan pengusahaan tanaman yang diselenggarakan atas perintah atasan dengan pemberian ganti rugi atas tanah.
Tanah yang dipunyai oleh orang-orang Indonesia asli dengan Hak Milik (hak pakai perseorangan yang turun temurun) atas permintaan pemiliknya yang syah diberikan kepadanya dengan hak eigendom dengan pembatasan-pembatasan seperlunya yang ditetapkan dengan ordonansi dan dicantumkan dalam surat eigendomnya, yakni mengenai kewajiban-kewajiban terhadap negara dan desa serta wewenang untuk menjualnya kepada bukan orang Indonesia asli.
Menyewakan tanah-tanah atau menyerahkan tanah untuk dipakai oleh orang-orang Indonesia asli, kepada bukan orang Indonesia asli dilakukan menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan ordonansi.
Terbentuknya AW merupakan upaya desakan dari para kalangan pengusaha di negeri Belanda yang karenan keberhasilan usahanya mengalami kelebihan modal, karenanya memerlukan bidang usaha baru untuk menginvestasikannya. Dengan banyaknya persediaan tana hutan di jawa yang belum dibuka, para pengusaha itu menuntut untuk diberikannya kesempatan membuka usaha di bidang perkebunan besar. Sejalan dengan semangat liberalisme yang sedang berkembang dituntut pengantian sisten monopoli negara dan kerja paksa dalam melaksanakan cultuur stelse, dengna sisitem persaingan bebasa dan sistem kerja bebas, berdasarkan konsepsi kapitalisme liberal.
Tuntutan untuk mengakihiri sistem tanam paksa dan kerja paksa dengan tujuan bisnis tersebut, sejalan dengan tuntutan berdasarkan pertimbangan kemanusiaan dari golongan lein di negeri Belanda, yang mellihat terjadinya penderitaan yang sangat hebat di kalangan petani Jawa, sebagai akibat penyalah gunaan wewenang dalam melaksanakan cuktuur stelsel oleh para pejabat yang bersangkutan.
Dari itu jelaslah tujuan dikeluarkannya AW adalah untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat berkembang di Hindi Belanda.
Selain itu AW juga bertujuan untuk :
a.       Memperhatikan perusahaan swasta yang bermodal besar dengan jalan :
1).    Memberikan tanah-tanah negara dengan hak Erfacht yangberjangka waktu lama, sampai 75 tahun.
2).    Untuk memberikan kemungkinan bagi para pengusaha untuk menyewakan tanah adat/rakyat.
b.      Memperhatikan kepentigan rakyat asli, dengan jalan :
1).    Melindungi hak-hak tanah rakyat asli.
2).    Memberikan kepada rakyat asli untuk memperoleh hak tanah baru (Agrarische eigendom). 
Untuk pelaksanaan AW tersebut, maka diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan dan keputusan, diantaranya dalam Agrarische Besluit.

b.      Agrarische Besluit (AB).
Ketentuan-ketentuan AW pelaksanaannya diatur lebih lanjutnya dalam peraturan dan keputusan. Salah satu keputusan yang paling penting adalah apa yang dimuat dalam Koninklijk Besluit (KB), yang kemudian dikenal dengan nama Agrarische Besluit (AB), S.1870-118.
AB terdiri dari tiga bab, yaitu ;
1).    Pasal 1-7 tentang hak atas tanah;
2).    Pasal 8-8b tentang pelepasan tanah;
3).    Pasal 19-20 tentang peraturan campuran. 
Dalam Pasal 1 AB tersebut dimuat satu pernyataan yang asas yang sangat penting bagi perkembangan dan pelaksanaan hukum tanah administratif Hindi Belanda. Asas tersebut dinilai sebagai kurang menghargai , bahkan “memperkosa” hak-hak rakyat atas tanah yang bersumber pada hukum adat.
Dinyatakan dalam Pasal 1 AB tersebut :[12]
“Behoudens opvolging van de tweede en derde bepaling der voormelde wet, blijft het beginsel gehandhaafd, dat alle grond, waarop niet anderen reght van eigendom wordt bewezen, domein van de staat is”.
 Jika diterjemahkan :
“Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 2 dan 3 Agrarische Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapar membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein negara (milik) negara”. 
AB hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, maka apa yang dinyatakan dalam Pasal 1 AB tersebut, yang dikenal sebagai Domein Verklaring (Pernyataan Domein) semulanjuga berlaku untuk Jawa dan Madura saja. Tetapi kemudian pernyataan domein tersebut diberlakukan juga untuk daerah pemerintahan langsung di luar Jawa dan Madura, dengan suatu ordonansi yang diundangkan dalam S.1875-119a.
Maksud dari adanya pernyataan domein itu adalah untuk memberikan ketegasan sehingga tidak ada keragu-raguan, bahwa satu-satunya penguasa yang berwenang untuk memberikan tanah-tanah kepada pihak lain adalah Pemerintah. Dengan adanya pernyataan domein, maka tanah-tanah di Hindi Belanda dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
1).    Vrijlands Domein atau tanah negara bebas, yaitu tanah yang di atasnya tidak ada hak penduduk bumi putera.
2).    Onvrijlands Domein atau tanah negra tidak bebas, yaitu tanah yang di atasnya ada hak penduduk maupun desa.
 Dalam praktiknya, pernyataan domein mempunyai dua fungsi, yakni :
1).    Sebagai landasan hukum bagi pemerintah kolonial untuk dapat memberikan tanah dengan hak-hak barat seperti yang diatur dalam KUHPerdata, misalnya hak eigendom, hak opstal, dan hak erfacht.
2).    Untuk keperluan pembuktian pemilikan, yaitu apabila negara berperkara, maka negara tidak pelu membuktikan hak eigendomnya atas tanah, tetapi piha lainlah yang wajib membuktikan haknya. 
Untuk diketahui bahwa hak rakyat Indonesia atas tanahnya adalah berdasarkan hukum adat, sedangkan dalam hukum adat tidak adak ketentuan hukum yang sama dengan Pasal 570 BW, maka denga sekaligus semua tanah dari rakyat Indonesia termasuk menjadi tanah negara (domein negara). Yang tidak termasuk tanah negara, menurut Pemerintah Hindia Belanda, adalah tanah-tanah seperti di bawah ini :
1).    Tanh-tanah daerah swapraja;
2).    Tanah-tanah yang menjadi eigendom orang lain;
3).    Tanah-tanah partikulir;
4).    Tanah-tanah eigendom agraria (Agrarische eigendom).

c.       Erfacht Ordonantie.
Mengenai pemberian hak erfacht kepada para pengusaha tersebut, menurut AW harus diataur dalam ordonansi. Maka daka dalam pelaksanaannya dijumpai berbagai peraturan mengenai hak erfacht, yaitu :[13]
a.       Untuk Jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah Swapraja :
1).    Agrarische Besluit (S.1870-118) Pasal 9 sampai dengan  17;
2).    Ordonansi yang dimuat S.1872-237a, yang beberapa kali mengalami perubahan , terakhir dalam tahun 1913 disusun kembali dan diundangkan dalam S.1913-699.
b.      Untuk luar Jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah Swapraja : semula ada beberapa ordonansi yang mengatur hal-hal mengenai pemberian hak erfacht yang berlaku di daerah-daerah tertentu,
1).    S.1874f untuk Sumatera.
2).    S.1877-55 untuk keresidenan Manado.
3).    S.1888-58 utnuk daerah Zuider-en Oosteradeling Borneo.
Dalam tahun 1914 diundangkan satu ordonansi utnuk semua daerah pemerintahan langsung di luar Jawa dan dimuat dalam S.1914-367 Ordonansi yang baru itu dikenal dengan sebutan “Erfachtordonantie Buitengewesten”. Semua ordonansi yang lama ditarik kembali kecuali Pasal 1-nya masing-masing.
c.       Untuk daerah-daerah swapraja luar Jawa :
Diatur dalam S.1910-61 dengan sebutan erfachtordonantie Zelfbesturende Landschappen Buitengewesten. Berlakunya di masing-masing swapraja  menurut petunjuk Gubernur Jenderal.
Sebelum adanya ordonansi itu di daerah-daerah swapraja di luar Jawa tidak diberikan hak erfacht, melainkan hak konsesi untuk perusahaan kebun besar.
Persewaan tanah rakyat kepada perusahaan kebun besar diatur pula dengan ordonansi, yang telah mengalami perubahan-perubahan menjadi :
1).    Grondhuurordonantie (S.1918-88), yang berlaku di Jawa dan Madura, kecuali Surakarta dan Yogyakarta;
2).    Vordtenlands Groondhuur Reglement (S.1918-20), yang berlaku di daerah swapraja Surakarta dan Yogyakarta.

d.      Agrarische Eigendom.
Agrarische eigendom adalah suatu koninklijk besluit tertanggal 16 April 1872, Nomor : 29, mengenai hak agrarische eigendom.
Yang dimaksud dengan Agrarische eigendom adalah suatu hak yang bertujuan untuk memberikan kepada orang-orang Indonesia/pribumi,nsuatu hak yang kuat atas sebidang tanah. Agrarische eigendom ini, dalam praktik untuk membedakan hak eigendom sebgaimana yang dimaksud dalam BW.
Agrarische eigendom diatur dalam Pasal 51 ayat (7) I.S., diatur lebih lanjut dalam Pasal 4 AB kemudian diatur lebih lanjut dalam KB tanggal 16 April 1872 Nomor : 29 (S. 1872-117) dan S. 1837-38. berdasarkan KB tersbut, tata cara memperoleh Agrarische eigendom dijelaskan di bawah ini, yaitu :
1).    Apabila seseorang Indonesia asli (=bumi putera) berkeinginan agar hak milik atas tanahnya, dirubah menjadi Hak Agrarische eigendom, maka pemohonannya harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat, agar ia ditetapkan sebagai pemiliknya. Inilah yang disebut : uitwijzing van erfelijk individucel gebbruikrecht. Ini hanya mungkin apabila tanahnya di lkuar sengketa, artinya tanpa berperkara dengan pihak lain.
2).    Untuk ini semua sebelumnya diadakan pengumuman, di desanya yang bersangkutan untuk memberi kesempatan kepada pihak ketiga yang merasa berkepentigan akan mengajukan keberatan-keberatan terhadap permohonan uitwijzing van erfelijk individucel gebbruikrecht di atas.
3).    Dengan berlandaskan keputusan ketua pengadilan negeri tersebut, maka agrarische eigendom dapat diberikan kepada pemohon oleh bupati yang bersangkutan bertindak untuk dan atas nama pemberian gubernur jenderal.
4).    Agrarische eigendom yang telah diperoleh dari bupati tersebut, maka Agrarische eigendom tersebut harus didafatarkan menurut peraturan sebagaimana dimuat dalam S.1873-38, dan kepada pemiliknya akan mendapat surat tanda bukti hak.
5).    Setiap peralihan hak, pembebanan degnan hypotheek, harus didaftarkan di Kantor Pengadilan Negeri. 
Tujuan adanya Agrarische eigendom sebetulnya bertujuan untuk memberikan kepada orang-orang Indonesia asli dengan semata hak yang kuat, yang pasti karena terdaftar dan haknya dapat dibebani dengan hypotheek. Tetapi dalam praktiknya kesempatan untuk menggantikan hak miliknya dengan menjadi Agrarische eigendom tidak banyak dipergunakan.
1.6  Hukum Tanah UUPA
Pengertian Hukum Agraria
Pengertian agraria menggunakan istilah dalam bahasa Yunani disebut sebagai ”Ager” artinya Tanah/keladanan. Sedangkan dalam bahsa Latin, Agraria disebut sebagai ”Agrarius” dan diartikan sebagai perladangan, pertanian, sawah, dan seala sesuatu yang berkaitan dengan tanah. Dan dalam bahasa Belanda, agraria disebut dengan istilah ”Akker” yakni tanah atau perladangan. Juga dalam bahasa Inggris yakni ”Land”.
Pengertian Agraria dalam Administrasi Pemerintahan
Istilah dalam administrasi pemerintahan disebut juga agraria baik tanah pertanian maupun non pertanian.
Pengertian Agraria dalam UUPA
Pengertian agraria dalam UU No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria yang lebih dikenal dengan nama UUPA dan dipakai dan digunakan pengertiannya sangat luas.
Pembagian Agraria:
1. Pengertian agraria dalam arti luas
  1. Bumi: Menurut UUPA bumi adalah permukaan dari tanah dan masuk dalam tubuh-tubuh bumi dan tanah yang ada dibawa air.
  2. Air: Sedangkan ari yakni perairan pedalaman yaitu danau, sungai, tanjung dll.
  3. Angkasa: Angkasa atau ruang angkasa yakni ruang yang ada diatas bumi dan air.
  4. Kekayaan alam: Yaitu segala macam batu-batuan, gas alam, tambang timah dsb.
2. Pengertian arti sempit adalah tanah menurut UUPA.
Pengertian UUPA menurut UUD 1945
Dalam UUD 1945 dapat dipahami yakni secara hakiki dalam UUD 1945 pada pasal 33 ayat 3 yang menggariskan ”bumi, air, dan kekayaan alam yang ada didalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Pengertian Konsepsi Hukum Agraria.
Kelompok-kelompok hukum agraria:
  • Hukum tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam artian bumi.
  • Hak air yaitu aturan hukum yang mengatur hak-hak atas air.
  • Hukum pertambangan atau hukum yang mengatur atau hukum yang mengatur hak atas kekayaan alam yang terkandung dalam air.
  • Hukum perikan yaitu hukum yang mengatur hak atas kekuasaan alam dalam air.
  • Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yaitu aturan hukum yang mengatur hak-hak penguasaan  atas tenaga dan usur-unsur dalam ruang angkasa.
  • Hukum kehutanan adalah aturan yang mengatur hak-hak penguasaan atas hutan.
Konsepsi Hukum Tanah Nasional:
  1. Bersifat komunalistik dan religius
  2. Hak bangsa Indonesia adalah:
  • hak milik yang mempunyai kedudukan paling tinggi ;
  • hak bangsa yang meliputi seluruh tanah yang ada di Indonesia;
  • hak bangsa yang bersifat abadi;
        3. Hak menguasai
Dalam pasal 33 UUD 1945 dan pasal 2 ayat 2 UUPA mengatakan bahwa:
  • Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan pengguna, persediaan dan pemeliharaan bumui, air dan ruang angkasa.
  • Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang, bumi, air dan ruang angkasa.
  • Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
Jadi, kesimpulan dari hukum agraria adalah keseluruhan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai agraria (tanahan).

Pengaturan tentang Agraria diatur dalam UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau sering disebut Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) menganut unifikasi hokum dan berdasarkan hukum adat. Menurut Boedi Harsono, hukum adat dijadikan sumber utama dan merupakan hukum aspiratif, dalam arti jika sesuatu hal belum diatur dalam peraturan maka yang berlaku hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA .
Di dalam undang-undang ini tidak ada definisi yang menjelaskan apa itu agraria, tetapi dapat disimpulkan hukum agraria adalah hukum yang berkaitan dengan Tanah. Hal ini dapat dilihat pada batang tubuh UU ini yang jelas mengatur soal hak dan kewajiban orang atas tanah (dan ruang diatas tanah), selain itu mengatur juga tentang konversi hak-hak atas tanah yang terdapat dalam Hukum Perdata Barat (BW).
Hukum Agraria Ialah keseluruhan dari ketentuan hukum, yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, termasuk Badan Hukum dengan Bumi, Air, dan Ruang Angkasa dalam seluruh wilayah dan mengatur pula wewenang yang bersumber pada hubungan tersebut.Hukum agraria secara umum diatur dalam UU No. 24 tahun 1960 tentang UU Pokok-pokok Agraria. Hukum agraria terdiri atas:
·         Hukum pertanahan: Ialah bidang hukum yang mengatur hak-hak pengaturan atas tanah
·         Hukum pengairan: Ialah yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak atas air
·         Hukum Pertambangan: Ialah bidang hukum yang mengatur hak penguasaan atas bahan galian.Hukum pertambangan secara khusus diatur dalam UU no. 11 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan.
·         Hukum kehutanan: Ialah bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas hutan dan hasil hutan.
·         Hukum Perikanan: Ialah bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas ikan dan lain-lain dan perairan darat lain.

Dalam Konsepsi hukum tanah adat yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur kehidupan masyarakat Indonesia, yang mengedepankan keseimbangan antara “kepentingan bersama” dengan “kepentingan perseorangan”. Pemilikan dan pemanfaatan tanah harus memperhatikan keselarasan. Dalam hukum tanah Barat dasarnya adalah “Individualisme” dan “liberalisme”. Secara harfiah individualisme merupakan suatu ajaran yang memberikan nilai utama pribadi, sehingga masyarakat hanyalah suatu sarana untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi. Dalam sistem hukum Belanda hak perorangan dinamakan “Hak Eigendom” di mana Eigem/orang-nya dapat berbuat apa saja dengan tanah itu baik menjual, menggadaikan, menghibahkan, menggunakan atau menelantarkan, dan bahkan merusaknya asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau hak-hak orang lain.
Referensi:

Konsepsi Pemilikan Tanah Menurut Hukum Tanah Nasional

Badan Pertanahan Nasional
Konsepsi pemilikan tanah menurut hukum nasional Indonesia bisa dilihat dalam UU Nomor 5 Tahun1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Sebagai hukum produk nasional, UUPA merupakan hukum terpenting mengenai tanah di Indonesia dan dengan berlakunya UUPA maka tak ada lagi dualisme hukum tanah di Indonesia. Dengan adanya UUPA, hukum agraria Belanda (Agrarische Wet 1870) tidak berlaku lagi.
UUPA merupakan turunan dari pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bumi, air, ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan kekayaan nasional Bangsa Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal kepemilikan tanah, konsepsi hukum tanah nasional menyatakan tanah di seluruh Indonesia adalah milik Bangsa Indonesia, yang sekaligus menjadi simbol kesatuan bagi keutuhan bangsa dan negara, karenannya tidak dapat diperjualbelikan atau diperdagangkan, tidak boleh dijadikan objek penguasaan yang menimbulkan disintegrasi bangsa.
Sebagaimana diatur Pasal 2 UUPA, tanah dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Artinya negara hanya sebagai ‘penguasa’ bukan ‘pemilik’ yang berkewenangan mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan dan pemeliharaan tanah; mengatur hubungan-hubungan hukum dan perbuatan-perbuatan hukum antara subjek hukum dengan tanah.
Perseorangan baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain dapat mempunyai hak milik atas tanah. Tanah dalam arti sempit adalah permukaan bumi saja, yang diartikan sebagai benda yang menjadi objek hak. Negara dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya.
Selanjutnya, dalam Pasal 5 UUPA, ditegaskan pula bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, yakni berarti hak seseorang atas tanah dapat dibebaskan/dilepaskan demi untuk kepentingan umum dengan diberikan ganti kerugian dan bahkan demi kepentingan umum pemerintah dapat mencabut kepemilikan tanah seseorang.




 
BAB II
RESUME HUKUM TANAH
.      2.1       Hukum Tanah Barat.
Yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah Hukum Agraria yang bersumber pada Hukum Perdata Barat, khususnya yang bersumber kepada Boergerlijk Wetboek (BW).
Dasar dari Hukum Tanah Barat yaitu: Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata) Buku II (Benda), Buku III (Perjanjian) & S 1834 No.27 ( Overschrijvings Ordonnantie) à Over-schrijvings Ambtenaar (Pejabat Baliknama). Politik hukum pertanahan pada jaman Hindia-Belanda dengan asas Domein dan Agrarische Wet ditujukan untuk kepentingan Pemerintah Jajahan dan Kepentingan Negara tertentu yang mendapat prioritas dan fasilitas dalam bidang penguasaan dan penggunaan tanah sedangkan golongan bumi putra kurang mendapatkan perhatian dan perlindungan.
Menurut Agrarische Wet pemerintah Hindia-Belanda bertindak sama kedudukannya dengan orang, tampak adanya campur tangan pemerintah dalam masalah agraria pada umunya, sedangkan setelah Indonesia merdeka pemerintah bertindak selaku penguasa. Penjajahan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia-Belanda selama lebih dari 350 tahun di Indonesia, mengakibatkan penjajahan di segala aspek kehidupan, termaksud terhadap hak-hak atas tanah, dengan menerapkan Hukum Barat atas tanah-tanah hak Barat di Indonesia. Tujuan dari pemberlakuan hak-hak Barat itu semata-mata untuk kepentingan Pemerintah Kolonial Belanda untuk menguasai tanah-tanah di Indonesia dengan tidak mempedulikan hak-hak atas tanah rakyat dan raja-raja di Indonesia.
Hak-hak Barat atas tanah yang diberlakukan di Indonesia ada yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seperti Hak Eigendom, Erfacht, Opstal dan lain-lain, yang di daftar pada Kantor Pendaftaran Tanah menurut Overschrivingordonnatie atau Ordonansi Balik Nama, serta yang diatur di luar Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seperti Hak Concessie atau hak sewa dan Hak Agrarisch Eigendom (suatu hak yang mirip Hak Eigendom) yaitu suatu hak ciptaan Belanda yang merupakan Konversi tanah-tanah yang tunduk kepada hak adat. Hukum tanah di Indonesia dari zaman penjajahan terkenal bersifat ‘dualisme’, yang dapat diartikan bahwa status hukum atas tanah ada yang dikuasai oleh hukum Eropa di satu pihak, dan yang dikuasai oleh hukum adat, di pihak lain, keadaan seperti ini tidak lepas sebagai peninggalan atau warisan dari politik agraria Pemerintah Hindia-Belanda, yang pada dasarnya juga mempunyai alasan untuk pemisahan antara kepentingan rakyat pribumi dan kepentingan modal asing. Hal ini dapat terlihat dari komentar Prof. Ter Haar Bzn yang menyebutkan bahwa dengan usaha bersama dicoba memberikan jaminan tentang nikmat ekonomi atas tanah: syarat hidup bagi penduduk pribumi, syarat berdiri bagi pengusaha-pengusaha perkebunan Eropa.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945, sebenarnya merupakan tonggak bagi pendobrakan hukum Kolonial menuju kepada hukum nasional, yang akan mengakhiri berlakunya hukum Barat atas tanah. Bahwa akan tetapi karena belum adanya aturan hukum yang mengatur hak-hak atas tanah sehingga berdasarkan ketentuan Aturan Peralihan UUD 1945, Hak-Hak atas Tanah Barat masih tetap berlaku setelah masa proklamasi kemerdekaan.
Setelah proklamasi kemerdekaan terdapat keinginan yang kuat untuk segera mengakhiri berlakunya hukum pertanahan peninggalan pemerintah Kolonial Hindia-Belanda. Hal ini dilakukan antara lain dengan penghapusan beberapa tanah hak Barat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan semangat proklamasi, yaitu:
a.              Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir;
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir dan peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1958 yang berlaku mulai pada tanggal 24 Januari 1958, semua tanah-tanah Partikelir yaitu tanah Eigendom yang terdapat hak-hak pertuanan di atasnya dinyatakan hapus dan tanahnya menjadi tanah Negara. Bahwa selain tanah-tanah partikelir (tanah eigendom yang mempunyai hak pertuanan di atasnya), disamakan juga dengan itu adalah tanah-tanah Eigendom yang luasnya lebih dari 10 bau, yang juga dihapus menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1958 dan tanahnya menjadi Tanah Negara. Penghapusan tanah-tanah partikelir dimaksud disertai dengan pemberian ganti rugi kepada para bekas pemegang hak.
b.              Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda;
Bahwa berdasarkan UU No. 86 Tahun 1958 Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda yang ada di wilayah RI dikenakan Nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik penuh dan bebas Negara RI. Bahwa dengan Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan milik Belanda/asing maka harta-harta kekayaannya termasuk hak-hak atas tanah kepunyaan perusahaan yang dinasionalisasi itu menjadi milik negara, dan hak-hak atas tanah kepunyaan perusahaan yang dinasionalisasi itu menjadi hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara.
c.              Tanah-Tanah Milik Badan Hukum yang ditinggal Direksi;
Berdasarkan Peraturan Presidium Kabinet Dwikora RI No. 5/Prk/1965 telah ditegaskan status tanah kepunyaan badan-badan hukum yang ditinggal direksi/pengurusnya. Dalam Peraturan tersebut dinyatakan bahwa semua rumah dan tanah bangunan kepunyaan badan-badan hukum yang direksi/pengurusnya sudah meninggalkan Indonesia dan menurut kenyataannya tidak lagi menyelenggarakan ketatalaksanaan dan usahanya, dinyatakan jatuh kepada negara dan dikuasai oleh Pemerintah Republik Indonesia.
d.             Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perorangan Warga Negara Belanda;
Untuk Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda yang tidak terkena UU No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi diatur dengan UU No. 3 Prp 1960. Dalam aturan ini dinyatakan semua benda tetap milik perseorangan warga Negara Belanda yang tidak terkena oleh UU No. 86 Tahun 1958 tentang nasionalisasi perusahaan Belanda, yang pemiliknya telah meninggalkan wilayah RI sejak mulai berlakunya peraturan ini dikuasai oleh pemerintah dalam hal ini Menteri Muda Agraria. Untuk mengurus benda-benda tetap milik warga Belanda tersebut oleh Menteri Agraria dibentuk panitia yang dikenal dengan Panitia Pelaksanaan Penguasaan Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda (P3MB).
Barangsiapa yang berkeinginan membeli benda-benda tetap milik perseorangan warga Negara Belanda yang telah dikuasai oleh pemerintah harus mengajukan permohonan kepada Menteri Muda Agraria melalui panitia. Bahwa setelah berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan Undang Undang Pokok Agraria (UUPA), maka semua hak-hak Barat yang belum dibatalkan sesuai ketentuan sebagaimana tersebut di atas, dan masih berlaku tidak serta merta hapus dan tetap diakui, akan tetapi untuk dapat menjadi hak atas tanah sesuai dengan sistem yang diatur oleh UUPA, harus terlebih dahulu dikonversi menurut dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan konversi dan aturan pelaksanaannya.
Bahwa dalam pelaksana konversi tersebut ada beberapa prinsip yang mendasarinya yaitu:
·         Prinsip Nasionalitas.
Dalam UUPA pasal 9 secara jelas menyebutkan hanya warga Negara Indonesia saja yang boleh mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa. Badan-badan hukum Indonesia juga mempunyai hak-hak atas tanah, tetapi untuk mempunyai hak milik hanya badan-badan hukum yang ditunjuk oleh PP. 38 tahun 1968.
·         Pengakuan Hak-Hak Tanah terdahulu.
Bahwa ketentuan konversi di Indonesia mengambil sikap yang human atas masalah hak-hak atas tanah dengan tetap diakuinya hak-hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA, yaitu hak-hak yang pernah tunduk kepada Hukum Barat maupun kepada Hukum Adat yang kesemuanya akan masuk melalui Lembaga Konversi ke dalam sistem dari UUPA.
·         Penyesuaian Kepada Ketentuan Konversi.
Bahwa sesuai pasal 2 dari Ketentuan Konversi maupun Surat Keputusan Menteri Agraria maupun dari edaran-edaran yang diterbitkan maka hak-hak tanah yang pernah tunduk kepada Hukum Barat dan Hukum Adat harus disesuaikan dengan hak-hak yang diatur oleh UUPA.
·         Status Quo Hak-Hak Tanah Terdahulu.
Bahwa dengan berlakunya UUPA dan PP 10 Tahun 1961 maka tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak baru atas tanah-tanah yang akan tunduk kepada hukum Barat.
2.2              Hukum Tanah Adat
Yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah Hukum Agraria yang bersumber pada Hukum Adat dan berlaku terhadap tanah-tanah yang dipunyai dengan hak-hak atas tanah yang diatur oleh Hukum Adat, yang selanjutnya seiring disebut tanah adat atau tanah Indonesia.
Sistem hukum tanah pada saat kolonial berkuasa mengandung dualisme hukum. Pertama bagi penduduk pribumi berlaku hukum adat, sedangkan yang kedua bagi golongan lainnya berlaku hukum Barat, karena pada masa penjajahan, sistem hukum pertanahan yang dijalankan pemerintah menganut dan berorientasi pada sistem hukum Belanda dan Eropa. Akan tetapi, pada kenyataan kepentingan golongan Bumi Putera selalu dalam posisi yang lemah bahkan tidak menjamin adanya kepastian hukum bagi hak-hak rakyat atas tanah dan mengabaikan keberadaan hukum (masyarakat) adat termasuk hak kepemilikan tanah adat.
Dalam Konsepsi hukum tanah adat yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur kehidupan masyarakat Indonesia, yang mengedepankan keseimbangan antara “kepentingan bersama” dengan “kepentingan perseorangan”. Pemilikan dan pemanfaatan tanah harus memperhatikan keselarasan. Menurut Sumantri, konsepsi hukum tanah adat berbeda dengan konsepsi hukum tanah Barat, dalam hukum tanah Barat dasarnya adalah “Individualisme” dan “liberalisme”. Masyarakat hukum adat adalah suatu kelompok manusia, mempunyai kekayaan tersendiri terlepas dari kekayaan perorangan, mempunyai batas wilayah tertentu, dan mempunyai kewenangan tertentu. Menurut Maria S.W. Sumarsdjono, masyarakat hukum adat merupakan suatu kelompok manusia, mempunyai kekayaan tersendiri terlepas dari kekayaan perseorangan, mempunyai batas wilayah tertentu, dan mempunyai kewenangan tertentu.
Sebelum lahirnya hukum agraria kolonial, di Indonesia telah berlaku hukum tanah adat dan hukum tanah swapraja. Kebutuhan akan hukum agraria yang menjamin kepastian dan perlindungan hukum hak-hak masyarakat dirasakan sangat mendesak, dan sejak 24 September 1960 ditetapkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau sering disebut Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Undang-undang ini lahir setelah melalui proses yang cukup lama, menganut unifikasi hukum dan berdasarkan hukum adat. Menurut Boedi Harsono, hukum adat dijadikan sumber utama dan merupakan hukum aspiratif, dalam arti jika sesuatu hal belum diatur dalam peraturan maka yang berlaku hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA.
Hukum tanah adat merupakan hukum asli, mempunyai sifat yang khas, dimana hak-hak perorangan atas tanah merupakan hak pribadi akan tetapi didalamnya mengandung unsur kebersamaan, yang dalam istilah modern disebut “fungsi sosial”, seperti yang dijelaskan dalam undang-undang pokok agraria pasal 6. Hukum adat merupakan sumber utama hukum undang-undang pokok agrarian atau hukum pertanahan Indonesia, walaupun hukum adat merupakan dasar dari UU pokok agraria tetapi permasalahan terhadap hak kepemilikan atas tanah dalam masyarakat adat di Indonesia telah ada sejak jaman penjajahan Belanda.
Lalu bagaimana dengan hak ulayat menurut hukum adat, karena hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat adat. Mengenai hak ulayat masyarakat adat juga di atur dalam pasal 3 Undang-undang pokok agraria, yaitu: “dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksananan hak ulayat dan pelaksanaan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasioanal dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi ”. Bahwa isi pasal tersebut merupakan pengakuan keberadaan hak pemilikan atas tanah (hak ulayat) dan masyarakat hukum adat.
Berbagai kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah sampai saat ini masih dalam taraf  pengakuan terhadap hak atas kepemilikan tanah  ulayat masyarakat hukum adat, tetapi belum memberikan perlindungan yang selayaknya terhadap hak kepemilikan atas tanah ulayat dalam masyarakat adat. Namun demikian, diakui bahwa beberapa kebijakan pemerintah mulai ada upaya memberi pengakuan dan perlindungan (terbatas) terhadap hak pemilikan tanah ulayat pada masyarakat adat, antara lain : TAP MPR No. XVII Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 41),TAP MPR No. XI tahun 2001, tentang Pembaruan Agraria dan UUD 1945 yang diamandemen. Kebijakan ini sampai sekarang belum dibuatkan UU atau kebijakan lain sebagai pelaksanaan ketetapan MPR. Selanjutnya muncul Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 tahun 1995 yang mengakui dan memberikan perlindungan atas tanah rakyat dan adat (ulayat).
Selain itu, sebenarnya telah ada beberapa kebijakan yang menyebutkan dan mengakui keberadaan masyarakat adat, antara lain dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (yang diperbarui), UU Nomor 11 Tahun 1999 tentang Pertambangan, UU Nomor 10 tahun 1992 tentang Kependudukan, Keppres Nomor 111 tahun 1999 tentang Komunitas Adat Terpencil (KAT), SK Menteri Kehutanan Nomor 47 tahun 1998 tentang Kawasan dengan tujuan Istimewa dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah pasal 2.
Konsepsi hukum adat telah dirumuskan sebagai konsepsi yang bersifat komunalistik religius, yang artinya tanah adalah milik bersama suatu masyarakat yang mendiami tanah tersebut, kepemilikan bersama tersebut terjadi karena masyarakat hukum adat saling hidup bersama atau berkelompok dan memiliki hubungan hukum dengan tanah yang ditempati tersebut. Sifat komunalistik religius tersebut dapat dimungkinkannya suatu tanah dimiliki oleh perorangan, hal ini karena hukum tanah adat memiliki dua unsur, yaitu:
a.       Unsur kepunyaan;
b.      Unsur Tugas pengaturan dan kewenangan.
Unsur kepunyaan lebih bersifat perdata sehingga memungkinkan suatu tanah dimiliki oleh perseorangan, sedangkan unsur tugas pengaturan dan kewenangan lebih bersifat hukum publik, maksud dari unsur ini adalah bahwa kepala adat memiliki wewenang mengatur tanah adat karena telah didelegasikan dan diberikan kewenangan untuk menjalankan peranan mengatur. Dari unsur ini muncul hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum adat, hierarkinya adalah sebagai berikut:
a.       Hak ulayat masyarakat hukum adat, sebagai hak penguasaan yang tertinggi, beraspek hukum keperdataan dan publik;
b.      Hak kepala adat dan para tetua adat, bersumber pada hak ulayat dan beraspek hukum publik semata;
c.       Hak-hak atas tanah, sebagai hak-hak individual, yang secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak ulayat dan beraspek hukum keperdataan.
Hak Ulayat itu berlaku ke dalam dan ke luar. Hak ulayat berlaku ke dalam maksudnya para anggota masyarakat hukum adat mempunyai keleluasaan untuk membuka dan mempergunakan tanah yang termasuk lingkungan wilayah masyarakat hukumnya. Tetapi untuk menjaga itu diusahakan jangan sampai terjadi bentrokan dengan anggota masyarakat lainnya, misalnya tanah yang akan dibuka itu juga akan dibuka oleh seorang anggota lain, maka sebelum membuka tanah ia harus memberitahukan hal itu kepada penguasa adatnya. Sedangkan hak ulayat berlaku ke luar artinya suatu hak ulayat bisa dipertahankan dan dilaksanakan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Orang-orang asing, artinya orang yang bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, yang bermaksud mengambil hasil hutan, berburu atau membuka tanah, dilarang masuk lingkungan tanah wilayah suatu masyarakat hukum adat, tanpa izin penguasa adatnya. Hak ulayat tetap diakui oleh UUPA, tetapi pengakuan itu disetai dua syarat, yaitu mengenai eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya. Hak ulayat diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada.
2.2       Hukum Tanah Antar Golongan
Hukum yang digunakan untuk sengketa (kasus) agraria (tanah), maka timbulah Hukum Agraria Antar Golongan, yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang menentukan hukum manakah yang berlaku (Hukum Adat atau Hukum Barat apabila 2 orang yang masing-masing tunduk pada hukumnya sendiri-sendiri bersengketa mengenai tanah).
Hukum tanah antar golongan, kaedah-kaedahnya tidak dalam bentuk peraturan perundang-undangn yang tertulis, tetapi berupa putusan-putusan pengadilan yang menjadi Yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum atau sarjana hukum. Namun, ada juga peraturan-pertaturan tertulis yang diciptakan untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan Hukum Tanah Antar Golongan.
Kaedah-kaedah dari Hukum Antar Golongan ini diciptakan dengan maksud untuk menyelesaikan hubungan antar golongan yang menyangkut masalah tanah sesuai dengan pembagian golongan penduduk Indonesia pada waktu itu yang tunduk pada hukum yang berbeda atas dasar ketentuan pasal 131 IS, dimana bagi :
1              Golongan Eropah dan Timur Asing, berlaku Hukum Barat ;
2              2       Golongan Bumiputra (Indonesia Asli) berlaku Hukum Adat.
Hukum antar golongan timbul karena :
1) Sifat dualisme dalam hukum tanah yang berlaku semasa pemerintahan Hindia Belanda, dimana adanya hubungan-hubungan serta peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi antara orang-orang Indonesia Asli dengan bukan Indonesia asli.

2) Tanah-tanah Eropah tidak hanya dipunyai oleh orang-orang bukan Indonesia (yang tunduk pada hukum barat) demikian pula pada tanah-tanah Indonesia tidak hanya dimiliki oleh orang-orang Indonesia Asli (yang tunduk ada hukum adat). Perlu jadi catatan, bahwa tanah-tanah hak barat tidaklah akan berubah statusnya menjadi tanah hak golongan lain, sekalipun dipunyai oleh subyek-subyek yang tunduk pada hukum yang berlainan.
2.4       Hukum Tanah Swapraja
Hukum Tanah Swapraja adalah keseluruhan peraturan tentang pertanahan yang khusus berlaku di daerah swapraja, seperti Kesultanan Yogyakarta. Hukum Tanah Swapraja ini pada dasarnya adalah hukum tanah adat yang diciptakan oleh Pemerintah Swapraja dan sebagian diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Landasan hukumnya adalah antara lain Koninlijk Besluit yang diundangkan dalam Staatsblad No. 474 tahun 1915 yang intinya memberi wewenang pada penguasa swapraja untuk memberikan tanahnya dengan hak-hak barat serta Rijksblad Kesultanan 1918 No.16 jo 1925 No.23, serta Rijksblad 1918 No.18 jo Rijksblad 1925 No.25 dimana hak milik atas tanah tidak diberikan kepada warga negara Indonesia non-pribumi.
Dalam konsiderans Staatsblad No. 474 tahun 1915 ditegaskan bahwa di atas tanah-tanah yang terletak dalam wilayah hukum swapraja, dapat didirikan hak kebendaan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW), seperti hak eigendom, erfpacht, opstal, dan sebagainya. Dimungkinkan bagi pemerintah swapraja untuk memberika tanah-tanah swapraja dengan hak-hak barat, terbatas pada orang-orang yang tunduk pada BW saja. Sebagai contoh adalah daerah Yogyakarta yang sampai sekarang masih dijumpai tanah-tanah swapraja.
Tanah Hak Indonesia, yang diatur menurut Hk. Adat dalam arti luas, dimana kaedah-kaedahnya sebagian besar tidak tertulis yang diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda dan Pemerintah Swapraja, yang semula berlaku bagi orang-orang Indonesia  Dengan demikian tanah hak Indonesia berdasarkan :
1). Kaedah tidak tertulis yang berlaku lagi penduduk Asli sejak semula ;
                        2). Kaedah tertulis yang diciptakan oleh :
(a) Pemerintah Swapraja, misalnya peraturan tertulis mengenai tanah di daerah Kasultanan Yogyakarta, Surakarta maupun Sumatra Timur ;
(b)     Pemerintah Hindia Belanda, yakni :
(1) Hak Agrarisch Eigendom Stbl. 1872-117 Koninklijk Besluit) dan Stbl. 1873-39 (Ordonantie) ;
(2) Grond Vervreemdings Verbod (larangan pengasingan tanah) Stbl. 1875-179 
Peraturan-peraturan tertulis ciptaan pemerintah Swapraja tersebut di atas kita namakan Hukum Tanah Swapraja, yang merupakan Hukum Tanah Adat tertulis. Namun ada juga yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda  yang mengatur agar Pemerintah Swapraja memberikan tanahnya dengan Hak Barat, berdasarkan peraturan berbentuk Koninklijk Besluit yang diundangkan dalam Stbl. 1915-474. Peraturan ini dalam konsideranya menegaskan bahwa tanah-tanah yang terletak di Swapraja dapat dibebani hak-hak kebendaan yang diatur dalam KUH Perdata, mis. Hak eigendom, erfpacht dan opstal. Kemungkinan diberikannya hak-hak barat di atas tanah swapraja itu hanya terbatas pada orang-orang yang tunduk pada KUH Perdata. Sebagai contoh, di daerah Swapraja Yogyakarta sampai sekarang dapat kita jumpai tanah-tanah swapraja (seperti daerah Malioboro dan sekitarnya) yang diberikan dengan hak barat berdasarkan Stbl. 1915-474 ciptaan Pemerintah Hindia Belanda.
Walaupun pada prinsipnya tanah-tanah hak Indonesia tunduk pada hukum adat, akan tetapi tidak semua tanah Indonesia dibebani hak-hak asli yang berasal atau bersumber dari hukum adat Indonesia. Buktinya selain apa yang kita kenal sebagai hak ulayat, hak pakai, hak milik dalam masyarakat tradisional, ada pula hak grant sultan dan grant controleur ciptaan pemerintah swapraja, atau hak agrarisch eigendom ciptaan pemerintah Hindia Belanda, yaitu hak yang diperoleh atas ketentuan pasal 51 IS dan lebh lanjut diatur dalam Koninklijk Besluit yang diundangkan dalam Stbl. 1872117 serta Ordonantie yang diundangkan dalam Stbl. 1873-38.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, pemerintahan swapraja dibanyak daerah menjadi hapus. Wilayah-wilayah bekas daerah swapraja itu kemudian menjadi daerah yang diperintah langsung oleh negara Republik Indonesia, dan kemudian menjadi wilayah administrasi biasa, misalnya menjadi Karesidenan. Tanah-tanah yang semula dikuasai oleh pemerintah swapraja dengan hak penguasaan yang bersifat publik, menjadi tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara, seperti tanah-tanah dalam daerah pemerintahan langsung.
2.5              Hukum Tanah Administrasi.
     Hukum tanah administrasi adalah keseluruhan peraturan yang memberi landasan hukum bagi penguasa atau negara untuk melaksanakan politik pertanahannya dan memberi wewenang-wewenang khusus kepada penguasa untuk melakukan tindakan-tindakan di bidang pertanahan.
Hukum tanah administrasi berlaku sebelum UUPA yakni merupakan ciptaan Pemerintah Kolonial Belanda yang terkenal dengan Agrarsiche Wet 1870. Sebelumnya berlaku Cultuur Stelsel (sistem tanam paksa) yang juga merupakan politik pertanahan yang dilancarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, dimana rakyat Indonesia dipaksa untuk menanam tanaman yang dilaku dipasaran Eropah. Perbedaannya, bahwa Argraische Wet terbuka bagi pengusaha asing swasta, sedangkan cultuur stelsel  merupakan monooli Pemerintah Hindia Belanda.
Dari itu jelaslah tujuan dikeluarkannya Argraische Wet adalah untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat berkembang di Hindi Belanda.
2.6              Hukum Tanah UUPA
Hukum tanah baru adalah hukum tanah yang diatur dalam UUPA No. 5 Th. 1960 yang berlaku secara universal bagi seluruh masyarakat Indonesia. Pengertian agraria dalam UU No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria yang lebih dikenal dengan nama UUPA dan dipakai dan digunakan pengertiannya sangat luas.
Pembagian Agraria:
1. Pengertian agraria dalam arti luas
·         Bumi: Menurut UUPA bumi adalah permukaan dari tanah dan masuk dalam tubuh-tubuh bumi dan tanah yang ada dibawa air.
·         Air: Sedangkan ari yakni perairan pedalaman yaitu danau, sungai, tanjung dll.
·         Angkasa: Angkasa atau ruang angkasa yakni ruang yang ada diatas bumi dan air.
·         Kekayaan alam: Yaitu segala macam batu-batuan, gas alam, tambang timah dsb.
2. Pengertian arti sempit adalah tanah menurut UUPA.
Pengertian UUPA menurut UUD 1945
Dalam UUD 1945 dapat dipahami yakni secara hakiki dalam UUD 1945 pada pasal 33 ayat 3 yang menggariskan ”bumi, air, dan kekayaan alam yang ada didalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Dengan adanya UUPA, hukum agraria Belanda (Agrarische Wet 1870) tidak berlaku lagi. Dalam hal kepemilikan tanah, konsepsi hukum tanah nasional menyatakan tanah di seluruh Indonesia adalah milik Bangsa Indonesia, yang sekaligus menjadi simbol kesatuan bagi keutuhan bangsa dan negara, karenannya tidak dapat diperjualbelikan atau diperdagangkan, tidak boleh dijadikan objek penguasaan yang menimbulkan disintegrasi bangsa. Pasal 5 UUPA, hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, yakni berarti hak seseorang atas tanah dapat dibebaskan/dilepaskan demi untuk kepentingan umum dengan diberikan ganti kerugian dan bahkan demi kepentingan umum pemerintah dapat mencabut kepemilikan tanah seseorang.


Tidak ada komentar :

Posting Komentar