BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latarbelakang
Segala
bentuk pemeriksaan tindak pidana di Indonesia di atur oleh KUHAP sebagai dasar
untuk mengadili tersangka di dalam pengadilan, untuk menyelesaikan tindak
pidana secara hukum, sebagai mana Indonesia adalah Negara hukum. Selain itu ada
pengecualian, undang – undang yang lebih khusus mengatur pemeriksaan perkara
pidana dari tindak pidana khusus, sebagaimana asas lex spesialis derogate lex generalis. Setiap kewenangan pejabat yang diberikan
kekuasaan untuk melaksanakannya, berdasarkan atas undang – undang yang berlaku
sehingga meminimalisasi adanya penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan yang
melebihi kewenangannya.
Saat ini Indonesia sedang marak
dengan kejahatan transnasional, dimana salah satunya adalah kejahatan pencucian
uang atau money laundering. Kejahatan pencucian uang ada di Indonesia
setelah dibuatnya Undang – Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), yaitu Undang
- Undang Nomor 15 tahun 2002 sebagaimana telah diubah Undang - Undang Nomor 25
tahun 2003, sesuai rekomendasi dari FATF ,
yakni suatu lembaga Financial Action Task Force (FATF) yang dibentuk
pada tahun 1989 oleh negara anggota G72 yang dimaksudkan untuk
menyusun dan menerapkan kebijakan di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang, Indonesia hingga tahun 2001 belum memenuhi tuntutan
tersebut, maka dari itu Indonesia masuk ke dalam daftar hitam Non
Cooperative Countries And Territories (NCCTs List) yang dikeluarkan
oleh FATF karena dianggap sebagai negara yang rawan akan pencucian uang yang dengan
itu kemudian diubah lagi dengan Undang - Undang Nomor 8 tahun 2010. Diharapkan
dengan undang – undang yang baru ini dapat memberikan kontribusi yang lebih baik
untuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang - Undang Nomor 25 Tahun 2003 jo Undang
- Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan & Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang, yang dimaksud dengan pencucian uang adalah, “Perbuatan
menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,
menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan atau perbuatan
lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil
tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul
harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.”
Tindak pidana pencucian uang sangat sulit
pemberantasannya. Baik karena tindak pidana ini memiliki kualitas pembuktian
yang sulit, juga tindak pidana ini biasanya dilakukan para profesional yang
memliki minimal pengetahuan dan kekuasaan yang memungkinkan untuk melaksanakan
kejahatan tersebut (white collar crime).
Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana
yang berdiri sendiri sehingga pemeriksaan tindak pidana ini tidak memerlukan
terbuktinya atau vonis hakim atas tindak pidana asalnya. Tindak pidana
pencucian uang dapat diperiksa secara sendiri apabila terdapat bukti yang
cukup, sebagaimana tindak pidana pencucian uang merupakan awal untuk
terbentuknya tindak – tindak pidana yang lain. Pemeriksaan di pengadilan tundak
pidana pencucian uang dilakukan oleh yang berwenang yang telah diatur oleh
Undang - Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan & Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dalam perkembangan pada dewasa ini masalah hukum di
Indonesia ini semakin kompleks. Undang - Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan & Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang telah memberikan
acuan untuk pemeriksaan peradilan tindak pidana pencucian uang. Akan tetapi banyak
perdebatan mengenai kewenangan pemeriksaan penuntutan tindak pidana pencucian
uang yang penuntutannya dilakukan oleh jaksa KPK pada terdakwa tindak pidana
pencucian uang yang kejahatan asalnya dari tindak pidana korupsi dan diadili di
pengadilan TIPIKOR. Dinilai . Undang - Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan & Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang terlalu berbelit dalam
penanganan pemeriksaan peradilan tindak pidana pencucian uang yang tidak sesuai
dengan asas pemeriksaan perkara secara cepat, di pengadilan.
2. Rumusan
Masalah
a) Apakah
jaksa KPK berwenang dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang, dan pengadilan
TIPIKOR berwenang mengadili tindak pidana pencucian uang?
b) Bagaimana
Putusan atas penuntutan oleh KPK TPPU di pengadilan TIPIKOR terhadap terdakwa?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kewenangan Jaksa KPK dalam
penuntutan tindak pidana pencucian uang dan pengadilan TIPIKOR dalam mengadili
TPPU.
Sebelum lanjut kita
bahas dulu mengenai kewenangan, Seringkali kita menemukan istilah yang disamakan dengan kata
wewenang adalah kekuasaan. Tetapi dalam scope Hukum tata negara
kebanyakan ahli hukum tata negara menggunakan istilah wewenang. Wewenang dalam
bahasa inggris disebut authority atau dalam bahasa belanda bovedegheid.
Yang kira-kira arti singkat dari wewenang adalah kekuasaan yang sah/ legitim.
Dikatakan sebagai kekuasaan yang sah karena undang-undang
yang memberikan kewenangan/ kesahihan terhadap pejabat tersebut. Atau dengan
kata lain tidak ada kewenangan tanpa undang-undang yang mengaturnya. Ini
disebut asas legalitas yakni berasal dari kata lex yang berarti
undang-undang.
Dengan demikian, munculnya kewenangan adalah membatasi agar
penyelenggara negara dalam melaksanakan pemerintahan dapat dibatasi
kewenangannya agar tidak berlaku sewenang-wenang. Kemudian muncul pula asas
dalam hukum administrasi negara “tidak ada kewenangan tanpa
pertanggungjawaban.” Oleh karena itu siapapun atau pejabat manapun harus
mempertanggungjawabkan setiap tugas dan kewenangannya.
Maka, untuk mengetahui lebih lanjut dari pada siapa yang
mesti bertanggung jawab dari pejabat tersebut maka hal ini penting untuk
diuraikan tiga cara memperoleh wewenang:
- Atribusi adalah pemberian kewenangan pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan tersebut. Artinya kewenangan itu bersifat melekat terhadap pejabat yang dituju atas jabatan yang diembannya. Misalnya berdasarkan Pasal 41 UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3 menegaskan “DPR dapat membentuk undang-undang untuk disetuji bersama dengan Presiden”.
- Delegasi adalah pelimpahan kewenangan pemerintahan dari organ pemerintahan yang satu kepada organ pemerintahan lainnya. Atau dengan kata lain terjadi pelimpahan kewenangan. Jadi tanggung jawab/ tanggung gugat berada pada penerima delegasi/ delegataris. Misalnya: pemerintah pusat memberi delegasi kepada semua Pemda untuk membuat Perda (termasuk membuat besluit/ keputusan) berdasarkan daerahnya masing-masing.
- Mandat terjadi jika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Pada mandat tidak terjadi peralihan tanggung jawab, melainkan tanggung jawab tetap melekat pada sipemberi mandat. Misalnya instruksi gubernur kepada sekretaris daerah agar ia bertanda tangan untuk keputusan pencairan anggaran pendidikan. Jadi di sini jika jika keputusan yang hendak digugat berarti tetap yang digugat/ sebagai tergugat adalah Gubernur.
Pengertian dari
Kejaksaan menurut Undang- undang No 16 Tahun 2004 tentang KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA,
Kejaksaan adalah lembaga
pemerintahan
yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penegakkan hukum dengan berpegang
pada peraturan perundang- undangan dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pelaksanaan
dari kekuasaan negara tersebut
diselenggarakan
oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan tinggi, dan Kejaksaan negeri.
Sebagai suatu badan
yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, kejaksaan dipimpin oleh
jaksa agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada presiden.
Kejasaan Agung, Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan
Negara khususnya dibidang
Penuntutan,
dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan.
Menurut Undang- undang
No 16 Tahun 2004 tentang KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA, adapun pengertian
tentang Jaksa, Jaksa Penuntut
Umum,
Penuntutan dan Jabatan Fungsional sebagai berikut :
1. Jaksa
adalah pejabat fungsional yang diberi wewenag oleh undang-undang untuk
bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
2. Penuntut Umum adalah jaksa yang
diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim.
3. Penuntutan adalah tindakan penuntut
umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya
diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
4. Jabatan Fungsional jaksa adalah
jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi Kejaksaan yang karena
fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas Kejaksaan.
Kejaksaan Agung berkedudukan di Ibukota negara Republik
Indonesia dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Republik
Indonesia. Kejaksaan Tinggi berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah
hukumnya meliputi wilayah provinsi. Kejaksaan negeri berkedudukan di ibukota
kabupaten/ kota yang daerah hukumnya meliputi daerah kabupaten/ kota.
Tugas dan wewenang kejaksaan meliputi beberapa bidang, yaitu
bidang Pidana, bidang perdata dan dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum.
1. Dalam bidang Pidana kejaksaan
mempunyai kewenangan :
1.
melakukan
penuntutan;
2.
melaksanakan
penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap;
3.
melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana
pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; melakukan penyelidikan terhadap
tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang;
4.
melengkapi
berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan
sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan
dengan penyidik.
2. Sedangkan di bidang perdata dan tata
usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam
maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah sebagai
penggugat atau tergugat yang dalam pelaksanaannya tidak hanya memberikan
pertimbangan atau membela kepentingan negara atau pemerintah, tetapi juga
membela dan melindungi kepentingan rakyat.
3. Sedangkan dalam bidang ketertiban
dan ketentraman umum, kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan:
a.
Peningkatan
kesadaran hukum masyarakat;
b.
Pengamanan
kebijakan penegakan hukum;
c.
Pengawasan
peredaran barang cetakan; Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan negara;
d.
Pencegahan
penyalahgunaan dan/ atau penodaan agama;
e.
Penelitian
dan pengembangan hukum serta statik kriminal.
4. Selain itu Kejaksaan dapat meminta
kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit, tempat
perawatan jiwa, atau tempat lain Tugas dan wewenang kejaksaan secara umum jika
dilihat dari hal diatas adalah melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan
hakim dan putusan pengadilan. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan
pidana.
Kewenangan penuntutan yang melekat pada penuntut umum yakni
jaksa diperoleh dengan cara atribusi. Kewenangan jaksa untuk menuntut terdakwa
di atur oleh peraturan perundang – undangan. Demikian meskipun telah di atur
oleh peraturan perundang – undangan masih saja terdapat tumpang tindih dalam
pelaksanaan kewenangan penuntutan dalam proses peradilan.
Kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tunduk
berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku atas dirinya. Dalam
konteks ini jaksa mempunyai peranan yang sangat penting untuk menindak kejahatan
pencucian uang, terutama jaksa yang diberikan wewenang untuk penuntutan tindak
pidana pencucian uang. Eksistensi kewenangan penuntutan oleh Kejaksaan dalam
sistem hukum nasional dapat dilihat dari[1]:
- Undang-undang Dasar 1945 yang mengatur secara implisit keberadaan Kejaksaan RI dalam sistem ketatanegaraan, sebagai badan yang terkait dengan kekuasaan kehakiman (vide Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 jo. Pasal 41 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman), dengan fungsi yang sangat dominan sebagai penyandang asas dominus litis, pengendali proses perkara yang menentukan dapat tidaknya seseorang dinyatakan sebagai terdakwa dan diajukan ke Pengadilan berdasarkan alat bukti yang sah menurut Undang-undang, dan sebagai executive ambtenaar pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan dalam perkara pidana.
- Pasal 1 butir 13 KUHAP yang menegaskan bahwa Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penuntutan.
- Pasal 2 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang menempatkan posisi dan fungsi kejaksaan dengan karakter spesifik dalam sistem ketatanegaraan yaitu sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun.
Meskipun telah di atur ekistensi Kejaksaan dalam hal
penuntutan, akan tetapi pada kenyataannya dalam pelaksanaan kewenangan
penuntutan oleh Kejaksaan sering timbul permasalahan antar lembaga penegak
hukum lainnya dalam hal:
- Koordinasi berkas perkara antara Kejaksaan dan penyidik Kepolisian pada tahap prapenuntutan.
- Pertanggungjawaban penguasaan penahanan antara Kejaksaan dan Pengadilan terhadap status pengalihan penahanan selama pemeriksaan di persidangan dan peralihan pada saat pelimpahan berkas perkara ke pengadilan.
- Dualisme kewenangan penuntutan antara Kejaksaan dan KPK terhadap perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.
Kewenangan Jaksa KPK melakukan penututan menggunakan Pasal
Undang - Undang Tindak Pidana Pencucian Uang masih banyak di perdebatkan,
terlebih apabila melihat kasus penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa KPK
terhadap tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah
korupsi. Kasus yang masih hangat yakni mantan ketua Mahkamah Konstitusi,
Mohammad Akil Mochtar yang didakwa dengan pasal undang – undang tindak pidana
pencucian uang. Akil tidak dapat menerima tuntutan Jaksa KPK yang dinilai
melebihi kewenangannya, kemudian akil membuat eksepsi pada tuntutan Jaksa KPK. Keberatan
atau eksepsi terdakwa dan tim penasihat hukum terdakwa Mohammad Akil Mochtar
tidak dapat diterima dan menyatakan pengadilan Tipikor Jakarta Pusat berwenang
mengadili seluruh dakwaan. Eksepsi tedakwa tidak dapat diterima, maka
pemeriksaan perkara ini dilanjutkan hingga tahap akhir, kata Ketua Majelis
Hakim Suwidya pada sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Meski demikian,
anggota majelis hakim, I Made Hendra dan Joko Subagio, menyetujui keberatan
Akil mengenai tidak berwenangnya jaksa KPK menuntut TPPU. Keduanya menilai,
penuntut umum yang berwenang untuk melakukan penuntutan kasus TPPU adalah jaksa
di bawah jaksa agung atau kepala kejaksaan tinggi.
Awal Jaksa KPK
menggunakan penuntutan dengan Pasal
Undang - Undang Tindak Pidana Pencucian Uang yakni pada kasus Nazarrudin. Yang
kemudian terus berlanjut setiap Jaksa KPK mempunyai 2 alat bukti yang cukup
terhadap tindak pidana pencucian uang Jaksa KPK melakukan penuntutan terhadap
terdakwanya.
Jaksa KPK menilai dirinya berwenang menuntut tindak pidana
pencucian uang yakni dengan azas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan
dijadikan pembenaran jaksa KPK berwenang menuntut TPPU yang mengacu pada Pasal 2 ayat (4) UU No 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Harian Kompas, 27 Juli 2013, menerbitkan artikel kepala
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan “KPK dan Pencucian Uang” yang
intinya menjelaskan bahwa jaksa pada KPK berwenang menuntut perkara tindak
pidana pencucian uang dengan alasan bahwa Kejaksaan adalah satu dan tidak
terpisahkan, een ondeelbaar,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Ayat (3) UU No 16/2004 tentang Kejaksaan
RI. Penjelasan pasal itu menyatakan bahwa yang dimaksud dengan, Kejaksaan
adalah satu dan tidak terpisahkan adalah landasan tugas dan wewenang di bidang
penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan.
Penjelasan ini menguatkan keyakinan bahwa prinsip itu tidak berlaku bagi jaksa
yang ditugasi di KPK, sejalan dengan ketentuan Pasal 39 Ayat (3) UU KPK. Ayat
tersebut menegaskan bahwa, antara lain, penuntut umum pada KPK diberhentikan
sementara dari instansi Kejaksaan selama menjadi pegawai KPK. Pasal 39 Ayat (2)
antara lain menyatakan bahwa penuntutan dilaksanakan berdasarkan perintah
(pemimpin KPK) dan bertindak untuk dan atas nama KPK, bukan berdasarkan
perintah jaksa agung dan untuk dan atas nama Kejaksaan.
Berdasarkan ketentuan itu, semakin jelas bahwa sepanjang
mengenai wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Tipikor dilakukan
oleh penyidik dan penuntut KPK, alasan prinsip dalam Pasal 2 Ayat (3) UU
Kejaksaan tak berlaku bagi jaksa penuntut umum KPK. Dalam
konteks ini, kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengaitkannya dengan
wewenang penuntut KPK dalam perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU). Diakui
juga bahwa tidak disebutkan tegas dalam UU TPPU, tapi tak berarti (jaksa) KPK tak
berwenang menuntut TPPU.
Perbedaan pendapat ini menjadi tidak terhindarkan karena UU
TPPU memang tidak mengatur kewenangan jaksa KPK menuntut perkara TPPU. Namun,
ahli pencucian uang Yunus Husein berpegangan pada Pasal 75 UU No 8 Tahun 2010.
Pasal itu mengatur kewenangan KPK menggabungkan penyidikan perkara korupsi dan
TPPU. Ia mempertanyakan, jika KPK dianggap tidak berwenang menuntut perkara
TPPU, untuk apa UU No 8 Tahun 2010 meminta penggabungan penyidikan tindak
pidana asal dengan TPPU. Penuntut umum KPK merupakan penuntut umum yang berasal
dari Kejaksaan. Penuntut umum KPK dan Kejaksaan sama-sama penegak hukum.
Mengacu pada Pasal 2 ayat (4) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
Yunus menyatakan, sangat jelas disebutkan bahwa peradilan dilakukan dengan
sederhana, cepat dan biaya.ringan. Penjelasan Pasal 2 mendefinisikan
“sederhana” sebagai pemeriksaan dan penyelesaian perkara secara efisien dan
efektif.
Apabila dianalisis berdasarkan yuridis, sebagaimana
ketentuan Pasal 74 UU No 8 Tahun 2010, pemblokiran dan penuntutan TPPU menjadi
kewenangan jaksa yang berada di bawah Jaksa Agung. Sementara jaksa KPK diangkat
dan diberhentikan pimpinan KPK. Walau KPK berwenang menggabungkan penyidikan
perkara korupsi dan TPPU, bukan berarti jaksa KPK berwenang menuntut TPPU.
Dalam Pasal 74 UU No 8
Tahun 2010 hanya mengatur bahwa KPK sebagai instansi yang berwenang melakukan
penyidikan atas TPPU yang tindak pidana asalnya adalah korupsi, sementara dalam
UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU tidak diatur
lembaga mana yang berwenang sebagai penuntut umum atas perkara TPPU.
Kewenangan penuntutan
terhadap perkara TPPU tidak diatur secara khusus di dalam UU Nomor 8/2010, maka
kewenangan penuntutan harus merujuk pada KUHAP Pasal 1 Angka 6 yang menyatakan
bahwa Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU untuk bertindak sebagai
penuntut umum. Oleh karena itu hasil penyidikan oleh KPK mengenai tindak
perkara TPPU haruslah diserahkan kepada penuntut umum Kejaksaan Negeri
setempat.
Kedua hakim ad hoc
yang menangani kasus terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq menilai, jaksa KPK
harus melimpahkan perkara TPPU kepada jaksa pada Kejaksaan Negeri. KPK tidak
boleh menginterpretasikan sendiri kewenangannya jika tidak diatur dalam UU
TPPU. Kewenangan jaksa KPK menuntut perkara TPPU harus diatur secara jelas
sebagai legitimasi penuntutan TPPU yang dilakukan jaksa KPK.
Jika setiap penegak hukum dapat menginterpretasikan sendiri
kewenangannya, dikhawatir, penegak hukum lainnya, seperti Polri bisa melakukan
penuntutan TPPU. Alasan peradilan cepat dan biaya murah juga tidak dapat
diterima. Berdasarkan hal itu, kedua hakim berpendapat dakwaan TPPU Luthfi Hasan Ishaaq tidak dapat diterima.
Rumusan terbaik dalam
UU Pidana adalah berpijak pada asas lex
scripta, lex stricta,
dan lex certa, termasuk penyusunan UU TPPU, sehingga
ketiadaan penegasan
bahwa
jaksa KPK diberikan wewenang penuntutan perkara TPPU berakibat pada tidak adanya alas hukum yang
sah bagi jaksa KPK menuntut perkara TPPU.
Apabila interpretasi
menjadi dasar Jaksa KPK untuk melakukan penuntutan kepada terdakwa atas tindak
pidana pencucian uang maka KPK sebagai lembaga yang mempunyai wewenang yang
sangat luas bisa dikatakan melebihi kewenangannya. Yang demikian halnya akan
mengikis kepastian hukum yang ada pada Negara hukum Indonesia. Dan penguasa
yakni pemerintah dapat dikatakan sebagai pemerintahan yang bukan lagi
demokratis berkeadilan, tetapi yang akan terjadi pemerintahan yang absolut.
Apabila dilihat juga
pengadilan TIPIKOR sebagai pengadilan khusus yakni menangani peradilan tindak
pidana khusus korupsi akan tetapi banyak kasus seperti halnya uraian kasus di
atas mengadili tindak pidana pencucian uang. Yang pada dasarnya pembentukan
pengadilan ad hoc TIPIKOR hanya untuk
mengadili tindak pidana khusus yakni tindak pidana korupsi. Ini dapat dilihat
dari ketentuan Pasal 53 UU no. 30 Tahun 2002 tentang komisi pemberantasan
tindak pidana korupsi. Yang berbunyi “Dengan Undang-Undang ini dibentuk
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Jaksa KPK mengajukan
penuntutan tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya dari korupsi
dengan cara menggabungkan dakwaannya pada pengadilan TIPIKOR dengan berdasarkan
asas peradilan yang cepat, biaya murah, efisien dan juga asas bahwa hakim tidak
boleh menolak perkara yang di ajukan penuntut umum.
Sebagai jaksa yang
professional Jaksa KPK seharusnya lebih memandang ketentuan khusus dari pada
yang bersifat umum. Sebagai mana asas lex
spesialis derogate lex generalis . sehingga penuntutan diberikan pada yang
mempunyai wewenang yakni jaksa yang dibawah Jaksa Agung, untuk mengajukan
penuntutan tindak pidana pencucian uang pada pengadilan negeri setempat sesuai
wewenang territorialnya. Sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan
penuntutan pada tindak pidana pencucian uang.
2.
Putusan
TPPU dilakukan Penuntutan oleh KPK Di Pengadilan TIPIKOR.
Perihal putusan hakim
atau ”putusan pengadilan” merupakan aspek penting dan diperlukan untuk
menyelesaikan perkara pidana. Dengan demikian, dapatlah dikonklusikan lebih
jauh bahwasanya ”putusan hakim” di satu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh
kepastian hukum (rechtszekerheids) tentang ”statusnya” dan sekaligus
dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan hakim tersebut.
Sedangkan di lain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili
perkara, putusan hakim adalah ”mahkota” dan ”puncak” pencerminan nilai-nilai
keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta
secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan
moralitas dari hakim
yang
bersangkutan[2].
Putusan menurut buku Peristilahan Hukum dan
Praktik yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung RI 1985 adalah hasil atau
kesimpulan dari sesuatu yang dipertimbangkan dan dinilai dengan
semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan. Ada pula yang
mengartikan putusan sebagai terjemahan dari kata vonis,
yaitu
hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan[3].
Sedangkan dalam Bab I Pasal 1 Angka 11 KUHAP,
putusan pengadilan diartikan sebagai pernyataan hakim yang diucapkan dalam
sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas lepas dari
segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.
Leden Marpaung memberikan pengertian putusan hakim
adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai
dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan[4].
Jenis-jenis
putusan hakim menurut KUHAP dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
1) Putusan
yang bukan putusan akhir.
Dalam praktik, bentuk putusan yang bukan putusan
akhir dapat berupa penetapan atau putusan sela. Putusan jenis ini mengacu pada
ketentuan Pasal 148 dan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yaitu dalam hal setelah
pelimpahan perkara dan apabila terdakwa dan atau penasehat hukumnya mengajukan
keberatan atau eksepsi terhadap surat dakwaan jaksa/penuntut umum.
Putusan yang bukan putusan akhir antara lain sebagai
berikut:
a) Putusan
yang menyatakan tidak berwenang mengadili
Dalam hal menyatakan tidak berwenang mengadili ini
dapat terjadi setelah persidangan dimulai dan jaksa penuntut umum membacakan
surat dakwaan maka terdakwa atau penasihat hukum terdakwa diberi kesempatan
untuk mengajukan eksepsi (tangkisan). Eksepsi tersebut antara lain dapat memuat
bahwa Pengadilan Negeri tersebut tidak berkompetensi (wewenang) baik secara
relatif maupun absolut. Jika majelis hakim berpendapat sama dengan penasihat
hukum maka dapat dijatuhkan putusan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang
mengadili (Pasal 156 ayat (2) KUHAP).
b) Putusan
yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum
Dakwaan batal demi
hukum dapat dijatuhkan apabila dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak cermat, kurang
jelas, dan tidak lengkap.
c)
Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan
tidak dapat diterima
Putusan yang menyatakan
bahwa dakwaan tidak dapat diterima pada dasarnya termasuk kekurangcermatan
penuntut umum sebab putusan tersebut dijatuhkan karena:
1) Pengaduan
yang diharuskan bagi penuntutan dalam delik aduan tidak ada
2) Perbuatan
yang didakwakan kepada terdakwa sudah pernah diadili (nebis in idem), dan
3) Hak
untuk penuntutan telah hilang karena daluwarsa (verjaring).
2) Putusan
akhir
Putusan akhir dalam
praktik lazim disebut dengan isyilah putusan atau eind vonnis dan merupakan
jenis putusan bersifat materiil. Pada hakekatnya putusan ini dapat terjadi
setelah majelis hakim memeriksa terdakwa yang hadir di persidangan sampai
dengan pokok perkara selesai diperiksa (Pasal 182 ayat (3) dan (8), Pasal 197,
dan Pasal 199 KUHAP)[5].
Putusan akhir antara
lain sebagai berikut:
1. Putusan
yang menyatakan bahwa terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van
alle rechtsvervolging)
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah
putusan yang dijatuhkan terhadap terdakwa dimana hakim berpendapat bahwa
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan
merupakan suatu tindak pidana (Pasal 191 ayat (2) KUHAP). Putusan lepas dari
segala tuntutan hukum dapat terjadi karena:
1) Materi
hukum pidana yang didakwakan terbukti, tapi nukan merupakan tindak pidana
2) Terdapat
hal-hal yang menghapuskan pidana, antara lain[6]:
a. Tidak
mampu bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP).
b. Melakukan
di bawah pengaruh daya paksa/overmacht (Pasal 48 KUHP).
c. Adanya
pembelaan terdakwa (Pasal 49 KUHP).
d. Adanya
ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP).
e. Adanya
perintah jabatan (Pasal 51 KUHP).
2. Putusan
bebas (vrijspraak)
Putusan bebas adalah putusan yang dijatuhkan
terhadap terdakwa dimana hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat
bukti dalam persidangan berpendapat bahwa dakwaan yang didakwakan terhadap
terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas
(Pasal 191 ayat (1) KUHAP).
3.
Putusan pemidanaan (veroordeling)
Putusan pemidanaan adalah putusan yang dijatuhkan terhadap
terdakwa dimana hakim berpendapat bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan tindak pidana yang didakwakan padanya. Putusan pemidanaan dijatuhkan
oleh hakim yang berpendapat bahwa[7]:
a) Perbuatan
terdakwa sebagaimana didakwakan jaksa/penuntut umum dalam surat dakwaan telah
terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum;
b) Perbuatan
terdakwa tersebut merupakan ruang lingkup tindak pidana (kejahatan/misdrijven
atau pelanggaran/overtredingen); dan
c) Dipenuhinya
ketentuan alat-alat bukti dan fakta-fakta persidangan (Pasal 183, Pasal 184
ayat (1) KUHAP).
Putusan enam tahun pidana penjara terhadap Wa Ode Nurhayati
yang kini telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht) diakui Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dapat menjadi yurisprudensi dalam penanganan kasus Tindak Pidana
Pencuciang Uang (TPPU).
Pasalnya, Wa Ode diputus bersalah dalam dua kasus yakni,
kasus suap pengurusan anggaran Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID)
tahun anggaran 2011 dan Tindak Pidana Pencuciang Uang (TPPU).
Juru Bicara KPK Johan Budi SP menegaskan, dalam putusan
inkracht itu ada kasus TPPU. Hal ini dapat menjadi yurisprudensi bagi kasus
TPPU lainnya yang ditangani KPK. Dengan putusan itu jelasnya menguatkan bahwa
KPK berwenang menangani TPPU.
Lebih lanjut, Johan menjelaskan, kalau dikaitkan dengan
putusan sela terdakwa mantan Presiden PKS sekaligus mantan anggota Komisi I DPR
Luthfi Hasan Ishaaq. Saat itu ungkapnya, putusan pengadilan juga menyatakan KPK
memang berhak tangani TPPU[8].
Mengenai Yurisprudensi
sebagai sumber hukum formal dibedakan dengan kata jurisprudence dalam
bahasa Inggris. Kata yurisprudensi berasal dari bahasa latin jurisprudentia
yang berarti pengetahuan hukum. Dalam bahasa Belanda adalah jurisprundentie,
sedangkan dalam bahasa Perancis adalah jurisprudence, Makna yang
hendak di tunjuk kurang lebih sepadan, yaitu hukum peradilan. Sementara itu
kata, jurisprudence dalam bahasa Inggris bermakna teori ilmu hukum,
yang lazim disebut general theory of law (algemene rechtler).
Sedangkan untuk menunjuk pengertian hukum peradilan dalam bahasa inggris
digunakan istilah case law atau judge law-made law[9].
Menurut Sudikno
Mertokusumo, yurisprudensi ialah sebagai peradilan pada umumnya (judicature,
rechtspraak) yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit terjadi tuntutan
hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh
negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan
putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa. Namun menurut Van Apeldoorn
menyatakan bahwa yurisprudensi, doktrin dan perjanjian merupakan
faktor-faktor yang membantu pembentukan hukum. Sedangkan Lemaire menyatakan
yurisprudensi, ilmu hukum (doktrin) dan kesadaran hukum sebagai determinan
pembentukan hukum.
Yurisprudensi bisa
lahir berkaitan dengan adanya prinsip di dalam hukum bahwa hakim tidak boleh
menolak untuk mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Undang-Undang No 14
Tahun 1970 pasal 27 ayat (1) menentukan “bahwa hakim sebagai penegak hukum dan
keadilan wajib mengadili, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup
di dalam masyarakat “ berkenaan dengan ketentuan tersebut maka dalam
menangani perkara hakim dapat melakukan[10]:
1.
Mengeterapkan secara in concreto
aturan-aturan hukum yang sudah ada (secara in abstracto) dan berlaku
sejak sbeleumnya.
2.
Mencari sendiri aturan-aturan hukum
berdasarkan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Pengaturan mengenai
hakim tidak boleh menolak perkara berkaitan dengan tidak adanya hukumnya atau
tidak ada kejelasan serta Hakim wajib mencari dan menemukanhukum terdapat juga
pada UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan kehakiman.
Yurisprudensi merupakan putusan hakim atas penemuan hukum
baru apabila tidak di atur dalam peraturan perundang undang – undangan dan
telah memenuhi syarat sebagai yurisprudensi. Majelis hakim dapat menemukan
hukum atau menginterpretasi peraturan yang ada yang dinilai tidak jelas. Akan
tetapi pada masalah kasus Nazaruddin yang di tangani oleh KPK jelaslah telah di
atur kewenangan KPK pada penanganan kasus tindak pidana korupsi sedang pada
tindak pencucian uang hanya berwenang hingga penyidikan.
Dalam hal kewenangan Jaksa KPK dan pengadilan TIPIKOR telah
jelas di tetapkan dalam peraturan perundang – undangan. Yakni diatur pada
Undang – undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Dengan demikian kewenangan KPK telah diatur oleh peraturan perundang –
undangan sebagaimana khusus menangani pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pada pasal 51 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada ayat:
(1) Penuntut adalah Penuntut Umum pada
Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi.
(2) Penuntut
Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penuntutan tindak
pidana korupsi.
(3) Penuntut sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah Jaksa Penuntut Umum.
Apabila Penuntut Umum KPK menuntut tindak pidana pencucian
uang sebagaimana ayat (2) di atas, bias dikatakan penuntut umum KPK melebihi
kewenangannya dalam menuntut terdakwanya. Penuntut Umum KPK dalam hal melebihi
kewenangannya yang sebagaimana tidak memiliki kewenangan dalam menuntut
terdakwanya telah melanggar KUHAP sebagaimana asas legalitas.
Majelis hakim dalam kasus tindak
pidana pencucian uang yang penuntut umum dari KPK tidak perlu lagi menemukan
hukumnya. Karena telah di atur pada Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang berdasarkan pada
pasal 68 sejauh pada undang – undang ini tidak di atur berlakulah ketentuan
umum yakni KUHAP. Karena tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana
khusus.
Sebagaimana ketentuan UU No 8 Tahun
2010, pemblokiran dan penuntutan TPPU menjadi kewenangan jaksa yang berada di
bawah Jaksa Agung. Sementara jaksa KPK diangkat dan diberhentikan pimpinan KPK.
Walau KPK berwenang menggabungkan penyidikan perkara korupsi dan TPPU, bukan
berarti jaksa KPK berwenang menuntut TPPU. Kewenangan KPK berhenti hanya pada
penyidikan dan selanjutnya diserahkan pada kejaksaan negeri dibawah Jaksa
Agung.
Dalam
penjelasan Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, secara jelas pernyataan dalam
Undang-Undang ini diatur mengenai pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi
di lingkungan peradilan umum, yang untuk pertama kali dibentuk di lingkungan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan tindak pidana korupsi tersebut
bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh majelis hakim terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Negeri
dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Demikian pula dalam proses pemeriksaan baik di
tingkat banding maupun tingkat kasasi juga dilakukan oleh majelis hakim yang
terdiri atas 2 (dua) orang hakim dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Untuk
menjamin kepastian hukum, pada tiap tingkat pemeriksaan ditentukan jangka waktu
secara tegas.
Dari uraian diatas yang perlu
digaris bawahi adalah Pengadilan tindak pidana korupsi tersebut bertugas dan
berwenang memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Ini dinyatakan
pada pasal 53 Undang –
Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jadi jelas pengadilan TIPIKOR hanya berwenang memeriksa dan memutus perkara
tindak pidana korupsi tidak lain hanya tindak pidana korupsi. Dan apabila
terjadi pemeriksaan dan memutus perkara selain tindak pidana korupsi bias
dikatakan pengadilan TIPIKOR melebihi kewenangannya.
Dalam
hal ini Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia. Yang
tugas dan fungsinya menganalisis putusan pengadilan Negeri atau setingkatnya
dan Pengadilan Tinggi berdasarkan judex jurice atau dalam penerapan hukumnya.
Bila
melihat analisis diatas pengadilan TIPIKOR juga penuntut umum KPK melebihi
kewenangannya dalam menuntut terdakwanya, yakni dengan mendakwakan pasal tindak
pidana pencucian uang. Sebagaimana seharusnya peradilan terhadap tindak
pencucian uang uang tersebut dipisahkan dengan tindak pidana asalnya.
Sebagaimana diatur dalam undang – undang nomor 8 tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, kewenangan KPK hanya
sampai penyidikan terhadap tindak pidana pencucian uang. Terhadap hal ini,
penerapan hukum pada pengadilan TIPIKOR tidak sesuai dengan peraturan perundang
– undangan. Sebagaimana tugas dan fungsi Mahkamah Agung harus membatalkan
putusan pada pemeriksaan tindak pidana pencucian uang. Sehingga kepastian hukum
pada hukum di Indonesia dapat tercipta pada sistem peradilan ini.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan Undang –Undang Nomor 8 Tahun 2010, Penuntutan
TPPU menjadi kewenangan jaksa yang berada di bawah Jaksa Agung. Sementara jaksa
KPK diangkat dan diberhentikan pimpinan KPK. Walau KPK berwenang menggabungkan penyidikan
perkara korupsi dan TPPU, bukan berarti jaksa KPK berwenang menuntut TPPU.
Berdasarkan Undang – undang Nomor 30 Tahun 2002, Penuntut umum KPK hanya
berwenang menuntut tindak pidana korupsia, dan Pengadilan TIPIKOR hanya
berwenang memeriksa dan mengadili tindak pidana korupsi. Dengan demikian
Penuntut Umum KPK dan Pengadilan TIPIKOR menuntut,memeriksa dan memutus tindak
pidana pencucian uang telah melebihi kewenangannya dan menyalanggar asas
legalitas.
Karena Penuntut Umum KPK serta Pengadilan TIPIKOR tidak
berwenang menuntut, memeriksa, memutus perkara tindak pidana pencucian uang
maka putusan yang telah diputuskan oleh Pengadilan TIPIKOR harus batal demi
hukum. Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilaan tertinggi yang memeriksa
perkara atas penerapan hukumnya, sebagaimana telah diketahui bahwa Jaksa
Penuntut Umum KPK serta Pengadilan TIPIKOR tidak berwenang maka harus
membatalkannya.
2.
Saran
Demi menghindari tumpang tindih kewenangan dalam peradilan
pada tindak pencucian uang maka perlu di atur secara eksplisit pada peraturan
perundang – undangan sehingga ada legalitas untuk memeriksa dan memutus perkara
tersebut. Untuk menerapkan asas Dominus Litis secara penuh pada Kejaksaaan di
Indonesia, maka kewenangan penuntutan oleh KPK agar dihapuskan sehingga
kekuasaan penuntutan benar-benar hanya ada di Kejaksaan. Ini juga dapat
menghemat anggaran Negara untuk peradilan di Negara kita.
DAFTAR PUSTAKA
Lilik Mulyadi. 2007. Putusan
Hakim dalam Hukum Acara Pidana. Bandung, PT. Citra Aditya Bakti. Evi
Hartanti. 2006. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika,
Leden Marpaung. 1992. Proses
Penanganan Perkara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
Abdul Rahmad Budiono, Pengantar
Ilmu Hukum, Malang : Banyumedia Publishing 2005.
S.F Marbun dan Moh.
Mahfud MD. Pokok-Pokok Adminitrasi Negara. Yogyakarta : Liberty 2006.
Sindonews.com
[1] http://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=28&idsu=35&id=54.
[2]
Lilik
Mulyadi. 2007. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana. Bandung, PT.
Citra Aditya Bakti.119.
[3] Evi Hartanti. 2006. Tindak
Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika,52.
[4]
Leden
Marpaung. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika,
406.
[5] Lilik Mulyadi, 2007:124
[6] Evi Hartanti, 2005:54
[7] Lilik Mulyadi,
2007:173
[8] Sindonews.com
[9]
Abdul Rahmad Budiono, Pengantar Ilmu Hukum,
Malang : Banyumedia Publishing 2005. Hlm 130.
[10]
S.F Marbun dan Moh. Mahfud MD. Pokok-Pokok Adminitrasi Negara. Yogyakarta :
Liberty 2006 jlm 36.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar