Rabu, 29 Oktober 2014

KEWENANGAN KPK DALAM PERADILAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG



BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latarbelakang
            Segala bentuk pemeriksaan tindak pidana di Indonesia di atur oleh KUHAP sebagai dasar untuk mengadili tersangka di dalam pengadilan, untuk menyelesaikan tindak pidana secara hukum, sebagai mana Indonesia adalah Negara hukum. Selain itu ada pengecualian, undang – undang yang lebih khusus mengatur pemeriksaan perkara pidana dari tindak pidana khusus, sebagaimana asas lex spesialis derogate lex generalis.  Setiap kewenangan pejabat yang diberikan kekuasaan untuk melaksanakannya, berdasarkan atas undang – undang yang berlaku sehingga meminimalisasi adanya penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan yang melebihi kewenangannya.
            Saat ini Indonesia sedang marak dengan kejahatan transnasional, dimana salah satunya adalah kejahatan pencucian uang atau money laundering. Kejahatan pencucian uang ada di Indonesia setelah dibuatnya Undang – Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), yaitu Undang - Undang Nomor 15 tahun 2002 sebagaimana telah diubah Undang - Undang Nomor 25 tahun 2003, sesuai rekomendasi dari FATF ,  yakni suatu lembaga Financial Action Task Force (FATF) yang dibentuk pada tahun 1989 oleh negara anggota G72 yang dimaksudkan untuk menyusun dan menerapkan kebijakan di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, Indonesia hingga tahun 2001 belum memenuhi tuntutan tersebut, maka dari itu Indonesia masuk ke dalam daftar hitam Non Cooperative Countries And Territories (NCCTs List) yang dikeluarkan oleh FATF karena dianggap sebagai negara yang rawan akan pencucian uang yang dengan itu kemudian diubah lagi dengan Undang - Undang Nomor 8 tahun 2010. Diharapkan dengan undang – undang yang baru ini dapat memberikan kontribusi yang lebih baik untuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
                  Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang - Undang Nomor 25 Tahun 2003 jo Undang - Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan & Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang dimaksud dengan pencucian uang adalah, “Perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.”
Tindak pidana pencucian uang sangat sulit pemberantasannya. Baik karena tindak pidana ini memiliki kualitas pembuktian yang sulit, juga tindak pidana ini biasanya dilakukan para profesional yang memliki minimal pengetahuan dan kekuasaan yang memungkinkan untuk melaksanakan kejahatan tersebut (white collar crime).
Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri sehingga pemeriksaan tindak pidana ini tidak memerlukan terbuktinya atau vonis hakim atas tindak pidana asalnya. Tindak pidana pencucian uang dapat diperiksa secara sendiri apabila terdapat bukti yang cukup, sebagaimana tindak pidana pencucian uang merupakan awal untuk terbentuknya tindak – tindak pidana yang lain. Pemeriksaan di pengadilan tundak pidana pencucian uang dilakukan oleh yang berwenang yang telah diatur oleh Undang - Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan & Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dalam perkembangan pada dewasa ini masalah hukum di Indonesia ini semakin kompleks. Undang - Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan & Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang telah memberikan acuan untuk pemeriksaan peradilan tindak pidana pencucian uang. Akan tetapi banyak perdebatan mengenai kewenangan pemeriksaan penuntutan tindak pidana pencucian uang yang penuntutannya dilakukan oleh jaksa KPK pada terdakwa tindak pidana pencucian uang yang kejahatan asalnya dari tindak pidana korupsi dan diadili di pengadilan TIPIKOR. Dinilai . Undang - Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan & Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang terlalu berbelit dalam penanganan pemeriksaan peradilan tindak pidana pencucian uang yang tidak sesuai dengan asas pemeriksaan perkara secara cepat, di pengadilan.

2.      Rumusan Masalah
a)      Apakah jaksa KPK berwenang dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang, dan pengadilan TIPIKOR berwenang mengadili tindak pidana pencucian uang?
b)      Bagaimana Putusan atas penuntutan oleh KPK TPPU di pengadilan TIPIKOR terhadap terdakwa?


BAB II
PEMBAHASAN
1.      Kewenangan Jaksa KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang dan pengadilan TIPIKOR dalam mengadili TPPU.
Sebelum lanjut kita bahas dulu mengenai kewenangan, Seringkali kita menemukan istilah yang disamakan dengan kata wewenang adalah kekuasaan. Tetapi dalam scope Hukum tata negara kebanyakan ahli hukum tata negara menggunakan istilah wewenang. Wewenang dalam bahasa inggris disebut authority atau dalam bahasa belanda bovedegheid. Yang kira-kira arti singkat dari wewenang adalah kekuasaan yang sah/ legitim.
Dikatakan sebagai kekuasaan yang sah karena undang-undang yang memberikan kewenangan/ kesahihan terhadap pejabat tersebut. Atau dengan kata lain tidak ada kewenangan tanpa undang-undang yang mengaturnya. Ini disebut asas legalitas yakni berasal dari kata lex yang berarti undang-undang.
Dengan demikian, munculnya kewenangan adalah membatasi agar penyelenggara negara dalam melaksanakan pemerintahan dapat dibatasi kewenangannya agar tidak berlaku sewenang-wenang. Kemudian muncul pula asas dalam hukum administrasi negara “tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban.” Oleh karena itu siapapun atau pejabat manapun harus mempertanggungjawabkan setiap tugas dan kewenangannya.
Maka, untuk mengetahui lebih lanjut dari pada siapa yang mesti bertanggung jawab dari pejabat tersebut maka hal ini penting untuk diuraikan tiga cara memperoleh wewenang:
  1. Atribusi adalah pemberian kewenangan pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan tersebut. Artinya kewenangan itu bersifat melekat terhadap pejabat yang dituju atas jabatan yang diembannya. Misalnya berdasarkan Pasal 41 UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3 menegaskan  “DPR dapat membentuk undang-undang untuk disetuji bersama dengan Presiden”.
  2. Delegasi adalah pelimpahan kewenangan pemerintahan dari organ pemerintahan yang satu kepada organ pemerintahan lainnya. Atau dengan kata lain terjadi pelimpahan kewenangan. Jadi tanggung jawab/ tanggung gugat berada pada penerima delegasi/ delegataris. Misalnya: pemerintah pusat memberi delegasi kepada semua Pemda untuk membuat Perda (termasuk membuat besluit/ keputusan) berdasarkan daerahnya masing-masing.
  3. Mandat terjadi jika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Pada mandat tidak terjadi peralihan tanggung jawab, melainkan tanggung jawab tetap melekat pada sipemberi mandat. Misalnya instruksi gubernur kepada sekretaris daerah agar ia bertanda tangan untuk keputusan pencairan anggaran pendidikan. Jadi di sini jika jika keputusan yang hendak digugat berarti tetap yang digugat/ sebagai tergugat adalah Gubernur.
Pengertian dari Kejaksaan menurut Undang- undang No 16 Tahun 2004 tentang KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA, Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penegakkan hukum dengan berpegang pada peraturan perundang- undangan dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pelaksanaan dari kekuasaan negara tersebut diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan tinggi, dan Kejaksaan negeri.
Sebagai suatu badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, kejaksaan dipimpin oleh jaksa agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada presiden. Kejasaan Agung, Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan Negara khususnya dibidang Penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan.
Menurut Undang- undang No 16 Tahun 2004 tentang KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA, adapun pengertian tentang Jaksa, Jaksa Penuntut Umum, Penuntutan dan Jabatan Fungsional sebagai berikut :
1.      Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenag oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
2.      Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
3.      Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
4.      Jabatan Fungsional jaksa adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi Kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas Kejaksaan.
Kejaksaan Agung berkedudukan di Ibukota negara Republik Indonesia dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia. Kejaksaan Tinggi berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. Kejaksaan negeri berkedudukan di ibukota kabupaten/ kota yang daerah hukumnya meliputi daerah kabupaten/ kota.
Tugas dan wewenang kejaksaan meliputi beberapa bidang, yaitu bidang Pidana, bidang perdata dan dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum.
1.      Dalam bidang Pidana kejaksaan mempunyai kewenangan :
1.      melakukan penuntutan;
2.      melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
3.      melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang;
4.      melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
2.      Sedangkan di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah sebagai penggugat atau tergugat yang dalam pelaksanaannya tidak hanya memberikan pertimbangan atau membela kepentingan negara atau pemerintah, tetapi juga membela dan melindungi kepentingan rakyat.
3.      Sedangkan dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan:
a.       Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b.      Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c.       Pengawasan peredaran barang cetakan; Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
d.      Pencegahan penyalahgunaan dan/ atau penodaan agama;
e.       Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal.
4.      Selain itu Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit, tempat perawatan jiwa, atau tempat lain Tugas dan wewenang kejaksaan secara umum jika dilihat dari hal diatas adalah melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana.
Kewenangan penuntutan yang melekat pada penuntut umum yakni jaksa diperoleh dengan cara atribusi. Kewenangan jaksa untuk menuntut terdakwa di atur oleh peraturan perundang – undangan. Demikian meskipun telah di atur oleh peraturan perundang – undangan masih saja terdapat tumpang tindih dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan dalam proses peradilan.
Kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tunduk berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku atas dirinya. Dalam konteks ini jaksa mempunyai peranan yang sangat penting untuk menindak kejahatan pencucian uang, terutama jaksa yang diberikan wewenang untuk penuntutan tindak pidana pencucian uang. Eksistensi kewenangan penuntutan oleh Kejaksaan dalam sistem hukum nasional dapat dilihat dari[1]:
  • Undang-undang Dasar 1945 yang mengatur secara implisit keberadaan Kejaksaan RI dalam sistem ketatanegaraan, sebagai badan yang terkait dengan kekuasaan kehakiman (vide Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 jo. Pasal 41 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman), dengan fungsi yang sangat dominan sebagai penyandang asas dominus litis, pengendali proses perkara yang menentukan dapat tidaknya seseorang dinyatakan sebagai terdakwa dan diajukan ke Pengadilan berdasarkan alat bukti yang sah menurut Undang-undang, dan sebagai executive ambtenaar pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan dalam perkara pidana.
  • Pasal 1 butir 13 KUHAP yang menegaskan bahwa Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penuntutan.
  • Pasal 2 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang menempatkan posisi dan fungsi kejaksaan dengan karakter spesifik dalam sistem ketatanegaraan yaitu sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun.
Meskipun telah di atur ekistensi Kejaksaan dalam hal penuntutan, akan tetapi pada kenyataannya dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan oleh Kejaksaan sering timbul permasalahan antar lembaga penegak hukum lainnya dalam hal:
  • Koordinasi berkas perkara antara Kejaksaan dan penyidik Kepolisian pada tahap prapenuntutan.
  • Pertanggungjawaban penguasaan penahanan antara Kejaksaan dan Pengadilan terhadap status pengalihan penahanan selama pemeriksaan di persidangan dan peralihan pada saat pelimpahan berkas perkara ke pengadilan.
  • Dualisme kewenangan penuntutan antara Kejaksaan dan KPK terhadap perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.
Kewenangan Jaksa KPK melakukan penututan menggunakan Pasal Undang - Undang Tindak Pidana Pencucian Uang masih banyak di perdebatkan, terlebih apabila melihat kasus penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa KPK terhadap tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah korupsi. Kasus yang masih hangat yakni mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Mohammad Akil Mochtar yang didakwa dengan pasal undang – undang tindak pidana pencucian uang. Akil tidak dapat menerima tuntutan Jaksa KPK yang dinilai melebihi kewenangannya, kemudian akil membuat eksepsi pada tuntutan Jaksa KPK. Keberatan atau eksepsi terdakwa dan tim penasihat hukum terdakwa Mohammad Akil Mochtar tidak dapat diterima dan menyatakan pengadilan Tipikor Jakarta Pusat berwenang mengadili seluruh dakwaan. Eksepsi tedakwa tidak dapat diterima, maka pemeriksaan perkara ini dilanjutkan hingga tahap akhir, kata Ketua Majelis Hakim Suwidya pada sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Meski demikian, anggota majelis hakim, I Made Hendra dan Joko Subagio, menyetujui keberatan Akil mengenai tidak berwenangnya jaksa KPK menuntut TPPU. Keduanya menilai, penuntut umum yang berwenang untuk melakukan penuntutan kasus TPPU adalah jaksa di bawah jaksa agung atau kepala kejaksaan tinggi.
Awal Jaksa KPK menggunakan penuntutan dengan Pasal Undang - Undang Tindak Pidana Pencucian Uang yakni pada kasus Nazarrudin. Yang kemudian terus berlanjut setiap Jaksa KPK mempunyai 2 alat bukti yang cukup terhadap tindak pidana pencucian uang Jaksa KPK melakukan penuntutan terhadap terdakwanya.
Jaksa KPK menilai dirinya berwenang menuntut tindak pidana pencucian uang yakni dengan azas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan dijadikan pembenaran jaksa KPK berwenang menuntut TPPU yang  mengacu pada Pasal 2 ayat (4) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Harian Kompas, 27 Juli 2013, menerbitkan artikel kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan “KPK dan Pencucian Uang” yang intinya menjelaskan bahwa jaksa pada KPK berwenang menuntut perkara tindak pidana pencucian uang dengan alasan bahwa Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan, een ondeelbaar, sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Ayat (3) UU No 16/2004 tentang Kejaksaan RI. Penjelasan pasal itu menyatakan bahwa yang dimaksud dengan, Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan adalah landasan tugas dan wewenang di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan. Penjelasan ini menguatkan keyakinan bahwa prinsip itu tidak berlaku bagi jaksa yang ditugasi di KPK, sejalan dengan ketentuan Pasal 39 Ayat (3) UU KPK. Ayat tersebut menegaskan bahwa, antara lain, penuntut umum pada KPK diberhentikan sementara dari instansi Kejaksaan selama menjadi pegawai KPK. Pasal 39 Ayat (2) antara lain menyatakan bahwa penuntutan dilaksanakan berdasarkan perintah (pemimpin KPK) dan bertindak untuk dan atas nama KPK, bukan berdasarkan perintah jaksa agung dan untuk dan atas nama Kejaksaan.
Berdasarkan ketentuan itu, semakin jelas bahwa sepanjang mengenai wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Tipikor dilakukan oleh penyidik dan penuntut KPK, alasan prinsip dalam Pasal 2 Ayat (3) UU Kejaksaan tak berlaku bagi jaksa penuntut umum KPK. Dalam konteks ini, kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengaitkannya dengan wewenang penuntut KPK dalam perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU). Diakui juga bahwa tidak disebutkan tegas dalam UU TPPU, tapi tak berarti (jaksa) KPK tak berwenang menuntut TPPU.
Perbedaan pendapat ini menjadi tidak terhindarkan karena UU TPPU memang tidak mengatur kewenangan jaksa KPK menuntut perkara TPPU. Namun, ahli pencucian uang Yunus Husein berpegangan pada Pasal 75 UU No 8 Tahun 2010. Pasal itu mengatur kewenangan KPK menggabungkan penyidikan perkara korupsi dan TPPU. Ia mempertanyakan, jika KPK dianggap tidak berwenang menuntut perkara TPPU, untuk apa UU No 8 Tahun 2010 meminta penggabungan penyidikan tindak pidana asal dengan TPPU. Penuntut umum KPK merupakan penuntut umum yang berasal dari Kejaksaan. Penuntut umum KPK dan Kejaksaan sama-sama penegak hukum. Mengacu pada Pasal 2 ayat (4) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Yunus menyatakan, sangat jelas disebutkan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya.ringan. Penjelasan Pasal 2 mendefinisikan “sederhana” sebagai pemeriksaan dan penyelesaian perkara secara efisien dan efektif.
Apabila dianalisis berdasarkan yuridis, sebagaimana ketentuan Pasal 74 UU No 8 Tahun 2010, pemblokiran dan penuntutan TPPU menjadi kewenangan jaksa yang berada di bawah Jaksa Agung. Sementara jaksa KPK diangkat dan diberhentikan pimpinan KPK. Walau KPK berwenang menggabungkan penyidikan perkara korupsi dan TPPU, bukan berarti jaksa KPK berwenang menuntut TPPU.
Dalam Pasal 74 UU No 8 Tahun 2010 hanya mengatur bahwa KPK sebagai instansi yang berwenang melakukan penyidikan atas TPPU yang tindak pidana asalnya adalah korupsi, sementara dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU tidak diatur lembaga mana yang berwenang sebagai penuntut umum atas perkara TPPU.
Kewenangan penuntutan terhadap perkara TPPU tidak diatur secara khusus di dalam UU Nomor 8/2010, maka kewenangan penuntutan harus merujuk pada KUHAP Pasal 1 Angka 6 yang menyatakan bahwa Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU untuk bertindak sebagai penuntut umum. Oleh karena itu hasil penyidikan oleh KPK mengenai tindak perkara TPPU haruslah diserahkan kepada penuntut umum Kejaksaan Negeri setempat.
Kedua hakim ad hoc yang menangani kasus terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq  menilai, jaksa KPK harus melimpahkan perkara TPPU kepada jaksa pada Kejaksaan Negeri. KPK tidak boleh menginterpretasikan sendiri kewenangannya jika tidak diatur dalam UU TPPU. Kewenangan jaksa KPK menuntut perkara TPPU harus diatur secara jelas sebagai legitimasi penuntutan TPPU yang dilakukan jaksa KPK.
Jika setiap penegak hukum dapat menginterpretasikan sendiri kewenangannya, dikhawatir, penegak hukum lainnya, seperti Polri bisa melakukan penuntutan TPPU. Alasan peradilan cepat dan biaya murah juga tidak dapat diterima. Berdasarkan hal itu, kedua hakim berpendapat dakwaan TPPU Luthfi Hasan Ishaaq tidak dapat diterima.
Rumusan terbaik dalam UU Pidana adalah berpijak pada asas lex scripta, lex stricta, dan lex certa, termasuk penyusunan UU TPPU, sehingga ketiadaan penegasan bahwa jaksa KPK diberikan wewenang penuntutan perkara TPPU berakibat pada tidak adanya alas hukum yang sah bagi jaksa KPK menuntut perkara TPPU.
Apabila interpretasi menjadi dasar Jaksa KPK untuk melakukan penuntutan kepada terdakwa atas tindak pidana pencucian uang maka KPK sebagai lembaga yang mempunyai wewenang yang sangat luas bisa dikatakan melebihi kewenangannya. Yang demikian halnya akan mengikis kepastian hukum yang ada pada Negara hukum Indonesia. Dan penguasa yakni pemerintah dapat dikatakan sebagai pemerintahan yang bukan lagi demokratis berkeadilan, tetapi yang akan terjadi pemerintahan yang absolut.
Apabila dilihat juga pengadilan TIPIKOR sebagai pengadilan khusus yakni menangani peradilan tindak pidana khusus korupsi akan tetapi banyak kasus seperti halnya uraian kasus di atas mengadili tindak pidana pencucian uang. Yang pada dasarnya pembentukan pengadilan ad hoc TIPIKOR hanya untuk mengadili tindak pidana khusus yakni tindak pidana korupsi. Ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 53 UU no. 30 Tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi. Yang berbunyi “Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Jaksa KPK mengajukan penuntutan tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya dari korupsi dengan cara menggabungkan dakwaannya pada pengadilan TIPIKOR dengan berdasarkan asas peradilan yang cepat, biaya murah, efisien dan juga asas bahwa hakim tidak boleh menolak perkara yang di ajukan penuntut umum.
Sebagai jaksa yang professional Jaksa KPK seharusnya lebih memandang ketentuan khusus dari pada yang bersifat umum. Sebagai mana asas lex spesialis derogate lex generalis . sehingga penuntutan diberikan pada yang mempunyai wewenang yakni jaksa yang dibawah Jaksa Agung, untuk mengajukan penuntutan tindak pidana pencucian uang pada pengadilan negeri setempat sesuai wewenang territorialnya. Sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan penuntutan pada tindak pidana pencucian uang.

2.      Putusan TPPU dilakukan Penuntutan oleh KPK Di Pengadilan TIPIKOR.
Perihal putusan hakim atau ”putusan pengadilan” merupakan aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan demikian, dapatlah dikonklusikan lebih jauh bahwasanya ”putusan hakim” di satu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum (rechtszekerheids) tentang ”statusnya” dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan hakim tersebut. Sedangkan di lain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan hakim adalah ”mahkota” dan ”puncak” pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim
yang bersangkutan[2].
Putusan menurut buku Peristilahan Hukum dan Praktik yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung RI 1985 adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan. Ada pula yang mengartikan putusan sebagai terjemahan dari kata vonis,
yaitu hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan[3].
Sedangkan dalam Bab I Pasal 1 Angka 11 KUHAP, putusan pengadilan diartikan sebagai pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Leden Marpaung memberikan pengertian putusan hakim adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan[4].
Jenis-jenis putusan hakim menurut KUHAP dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
1)      Putusan yang bukan putusan akhir.
Dalam praktik, bentuk putusan yang bukan putusan akhir dapat berupa penetapan atau putusan sela. Putusan jenis ini mengacu pada ketentuan Pasal 148 dan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yaitu dalam hal setelah pelimpahan perkara dan apabila terdakwa dan atau penasehat hukumnya mengajukan keberatan atau eksepsi terhadap surat dakwaan jaksa/penuntut umum.
Putusan yang bukan putusan akhir antara lain sebagai berikut:
a)      Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili
Dalam hal menyatakan tidak berwenang mengadili ini dapat terjadi setelah persidangan dimulai dan jaksa penuntut umum membacakan surat dakwaan maka terdakwa atau penasihat hukum terdakwa diberi kesempatan untuk mengajukan eksepsi (tangkisan). Eksepsi tersebut antara lain dapat memuat bahwa Pengadilan Negeri tersebut tidak berkompetensi (wewenang) baik secara relatif maupun absolut. Jika majelis hakim berpendapat sama dengan penasihat hukum maka dapat dijatuhkan putusan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili (Pasal 156 ayat (2) KUHAP).
b)      Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum
Dakwaan batal demi hukum dapat dijatuhkan apabila dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak cermat, kurang jelas, dan tidak lengkap.
c)      Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima
Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima pada dasarnya termasuk kekurangcermatan penuntut umum sebab putusan tersebut dijatuhkan karena:
1)      Pengaduan yang diharuskan bagi penuntutan dalam delik aduan tidak ada
2)      Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa sudah pernah diadili (nebis in idem), dan
3)      Hak untuk penuntutan telah hilang karena daluwarsa (verjaring).
2)      Putusan akhir
Putusan akhir dalam praktik lazim disebut dengan isyilah putusan atau eind vonnis dan merupakan jenis putusan bersifat materiil. Pada hakekatnya putusan ini dapat terjadi setelah majelis hakim memeriksa terdakwa yang hadir di persidangan sampai dengan pokok perkara selesai diperiksa (Pasal 182 ayat (3) dan (8), Pasal 197, dan Pasal 199 KUHAP)[5].
Putusan akhir antara lain sebagai berikut:
1.      Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging)
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah putusan yang dijatuhkan terhadap terdakwa dimana hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana (Pasal 191 ayat (2) KUHAP). Putusan lepas dari segala tuntutan hukum dapat terjadi karena:
1)      Materi hukum pidana yang didakwakan terbukti, tapi nukan merupakan tindak pidana
2)      Terdapat hal-hal yang menghapuskan pidana, antara lain[6]:
a.       Tidak mampu bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP).
b.      Melakukan di bawah pengaruh daya paksa/overmacht (Pasal 48 KUHP).
c.       Adanya pembelaan terdakwa (Pasal 49 KUHP).
d.      Adanya ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP).
e.       Adanya perintah jabatan (Pasal 51 KUHP).
2.      Putusan bebas (vrijspraak)
Putusan bebas adalah putusan yang dijatuhkan terhadap terdakwa dimana hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti dalam persidangan berpendapat bahwa dakwaan yang didakwakan terhadap terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP).
3.      Putusan pemidanaan (veroordeling)
Putusan pemidanaan adalah putusan yang dijatuhkan terhadap terdakwa dimana hakim berpendapat bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan padanya. Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim yang berpendapat bahwa[7]:
a)      Perbuatan terdakwa sebagaimana didakwakan jaksa/penuntut umum dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum;
b)      Perbuatan terdakwa tersebut merupakan ruang lingkup tindak pidana (kejahatan/misdrijven atau pelanggaran/overtredingen); dan
c)      Dipenuhinya ketentuan alat-alat bukti dan fakta-fakta persidangan (Pasal 183, Pasal 184 ayat (1) KUHAP).
Putusan enam tahun pidana penjara terhadap Wa Ode Nurhayati yang kini telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht) diakui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat menjadi yurisprudensi dalam penanganan kasus Tindak Pidana Pencuciang Uang (TPPU).
Pasalnya, Wa Ode diputus bersalah dalam dua kasus yakni, kasus suap pengurusan anggaran Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) tahun anggaran 2011 dan Tindak Pidana Pencuciang Uang (TPPU).
Juru Bicara KPK Johan Budi SP menegaskan, dalam putusan inkracht itu ada kasus TPPU. Hal ini dapat menjadi yurisprudensi bagi kasus TPPU lainnya yang ditangani KPK. Dengan putusan itu jelasnya menguatkan bahwa KPK berwenang menangani TPPU.
Lebih lanjut, Johan menjelaskan, kalau dikaitkan dengan putusan sela terdakwa mantan Presiden PKS sekaligus mantan anggota Komisi I DPR Luthfi Hasan Ishaaq. Saat itu ungkapnya, putusan pengadilan juga menyatakan KPK memang berhak tangani TPPU[8].
Mengenai Yurisprudensi sebagai sumber hukum formal dibedakan dengan kata jurisprudence dalam bahasa Inggris. Kata yurisprudensi berasal dari bahasa latin jurisprudentia yang berarti pengetahuan hukum. Dalam bahasa Belanda  adalah jurisprundentie, sedangkan dalam bahasa Perancis adalah jurisprudence, Makna yang hendak di tunjuk kurang lebih sepadan, yaitu hukum peradilan. Sementara itu kata, jurisprudence dalam bahasa Inggris bermakna teori ilmu hukum, yang lazim disebut general theory of law (algemene rechtler). Sedangkan untuk menunjuk pengertian hukum peradilan dalam bahasa inggris digunakan istilah case law atau judge law-made law[9].
Menurut Sudikno Mertokusumo, yurisprudensi ialah sebagai peradilan pada umumnya (judicature, rechtspraak) yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit terjadi tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa. Namun menurut Van Apeldoorn  menyatakan bahwa yurisprudensi, doktrin dan perjanjian  merupakan faktor-faktor yang membantu pembentukan hukum. Sedangkan Lemaire menyatakan yurisprudensi, ilmu hukum (doktrin) dan kesadaran hukum sebagai determinan pembentukan hukum.
Yurisprudensi bisa lahir berkaitan dengan adanya prinsip di dalam hukum bahwa hakim tidak boleh menolak untuk mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Undang-Undang No 14 Tahun 1970 pasal 27 ayat (1) menentukan “bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib mengadili, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat “ berkenaan dengan ketentuan tersebut  maka dalam menangani perkara hakim dapat melakukan[10]:
1.      Mengeterapkan secara in concreto aturan-aturan hukum yang sudah ada (secara in abstracto) dan berlaku sejak sbeleumnya.
2.      Mencari sendiri aturan-aturan hukum berdasarkan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Pengaturan mengenai hakim tidak boleh menolak perkara berkaitan dengan tidak adanya hukumnya atau tidak ada kejelasan serta Hakim wajib mencari dan menemukanhukum terdapat juga pada UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman.
Yurisprudensi merupakan putusan hakim atas penemuan hukum baru apabila tidak di atur dalam peraturan perundang undang – undangan dan telah memenuhi syarat sebagai yurisprudensi. Majelis hakim dapat menemukan hukum atau menginterpretasi peraturan yang ada yang dinilai tidak jelas. Akan tetapi pada masalah kasus Nazaruddin yang di tangani oleh KPK jelaslah telah di atur kewenangan KPK pada penanganan kasus tindak pidana korupsi sedang pada tindak pencucian uang hanya berwenang hingga penyidikan.
Dalam hal kewenangan Jaksa KPK dan pengadilan TIPIKOR telah jelas di tetapkan dalam peraturan perundang – undangan. Yakni diatur pada Undang – undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan demikian kewenangan KPK telah diatur oleh peraturan perundang – undangan sebagaimana khusus menangani pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pada pasal 51 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada ayat:
(1)   Penuntut adalah Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2)   Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penuntutan tindak pidana korupsi.
(3)   Penuntut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jaksa Penuntut Umum.
Apabila Penuntut Umum KPK menuntut tindak pidana pencucian uang sebagaimana ayat (2) di atas, bias dikatakan penuntut umum KPK melebihi kewenangannya dalam menuntut terdakwanya. Penuntut Umum KPK dalam hal melebihi kewenangannya yang sebagaimana tidak memiliki kewenangan dalam menuntut terdakwanya telah melanggar KUHAP sebagaimana asas legalitas.
            Majelis hakim dalam kasus tindak pidana pencucian uang yang penuntut umum dari KPK tidak perlu lagi menemukan hukumnya. Karena telah di atur pada Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang berdasarkan pada pasal 68 sejauh pada undang – undang ini tidak di atur berlakulah ketentuan umum yakni KUHAP. Karena tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana khusus.
            Sebagaimana ketentuan UU No 8 Tahun 2010, pemblokiran dan penuntutan TPPU menjadi kewenangan jaksa yang berada di bawah Jaksa Agung. Sementara jaksa KPK diangkat dan diberhentikan pimpinan KPK. Walau KPK berwenang menggabungkan penyidikan perkara korupsi dan TPPU, bukan berarti jaksa KPK berwenang menuntut TPPU. Kewenangan KPK berhenti hanya pada penyidikan dan selanjutnya diserahkan pada kejaksaan negeri dibawah Jaksa Agung.
            Dalam penjelasan Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, secara jelas pernyataan dalam Undang-Undang ini diatur mengenai pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi di lingkungan peradilan umum, yang untuk pertama kali dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan tindak pidana korupsi tersebut bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh majelis hakim terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Negeri dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Demikian pula dalam proses pemeriksaan baik di tingkat banding maupun tingkat kasasi juga dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Untuk menjamin kepastian hukum, pada tiap tingkat pemeriksaan ditentukan jangka waktu secara tegas.
            Dari uraian diatas yang perlu digaris bawahi adalah Pengadilan tindak pidana korupsi tersebut bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Ini dinyatakan pada pasal 53 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jadi jelas pengadilan TIPIKOR hanya berwenang memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi tidak lain hanya tindak pidana korupsi. Dan apabila terjadi pemeriksaan dan memutus perkara selain tindak pidana korupsi bias dikatakan pengadilan TIPIKOR melebihi kewenangannya.
            Dalam hal ini Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia. Yang tugas dan fungsinya menganalisis putusan pengadilan Negeri atau setingkatnya dan Pengadilan Tinggi berdasarkan judex jurice atau dalam penerapan hukumnya.
            Bila melihat analisis diatas pengadilan TIPIKOR juga penuntut umum KPK melebihi kewenangannya dalam menuntut terdakwanya, yakni dengan mendakwakan pasal tindak pidana pencucian uang. Sebagaimana seharusnya peradilan terhadap tindak pencucian uang uang tersebut dipisahkan dengan tindak pidana asalnya. Sebagaimana diatur dalam undang – undang nomor 8 tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, kewenangan KPK hanya sampai penyidikan terhadap tindak pidana pencucian uang. Terhadap hal ini, penerapan hukum pada pengadilan TIPIKOR tidak sesuai dengan peraturan perundang – undangan. Sebagaimana tugas dan fungsi Mahkamah Agung harus membatalkan putusan pada pemeriksaan tindak pidana pencucian uang. Sehingga kepastian hukum pada hukum di Indonesia dapat tercipta pada sistem peradilan ini.





BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Berdasarkan Undang –Undang Nomor 8 Tahun 2010, Penuntutan TPPU menjadi kewenangan jaksa yang berada di bawah Jaksa Agung. Sementara jaksa KPK diangkat dan diberhentikan pimpinan KPK. Walau KPK berwenang menggabungkan penyidikan perkara korupsi dan TPPU, bukan berarti jaksa KPK berwenang menuntut TPPU. Berdasarkan Undang – undang Nomor 30 Tahun 2002, Penuntut umum KPK hanya berwenang menuntut tindak pidana korupsia, dan Pengadilan TIPIKOR hanya berwenang memeriksa dan mengadili tindak pidana korupsi. Dengan demikian Penuntut Umum KPK dan Pengadilan TIPIKOR menuntut,memeriksa dan memutus tindak pidana pencucian uang telah melebihi kewenangannya dan menyalanggar asas legalitas.
Karena Penuntut Umum KPK serta Pengadilan TIPIKOR tidak berwenang menuntut, memeriksa, memutus perkara tindak pidana pencucian uang maka putusan yang telah diputuskan oleh Pengadilan TIPIKOR harus batal demi hukum. Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilaan tertinggi yang memeriksa perkara atas penerapan hukumnya, sebagaimana telah diketahui bahwa Jaksa Penuntut Umum KPK serta Pengadilan TIPIKOR tidak berwenang maka harus membatalkannya.
2.      Saran
Demi menghindari tumpang tindih kewenangan dalam peradilan pada tindak pencucian uang maka perlu di atur secara eksplisit pada peraturan perundang – undangan sehingga ada legalitas untuk memeriksa dan memutus perkara tersebut. Untuk menerapkan asas Dominus Litis secara penuh pada Kejaksaaan di Indonesia, maka kewenangan penuntutan oleh KPK agar dihapuskan sehingga kekuasaan penuntutan benar-benar hanya ada di Kejaksaan. Ini juga dapat menghemat anggaran Negara untuk peradilan di Negara kita.







DAFTAR PUSTAKA
Lilik Mulyadi. 2007. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana. Bandung, PT. Citra Aditya Bakti. Evi Hartanti. 2006. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika,
Leden Marpaung. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
Abdul Rahmad Budiono, Pengantar Ilmu Hukum, Malang : Banyumedia Publishing 2005.
S.F Marbun dan Moh. Mahfud MD. Pokok-Pokok Adminitrasi Negara. Yogyakarta : Liberty 2006.
Sindonews.com



[1] http://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=28&idsu=35&id=54.
[2] Lilik Mulyadi. 2007. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana. Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.119.
[3] Evi Hartanti. 2006. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika,52.
[4] Leden Marpaung. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 406.
[5] Lilik Mulyadi, 2007:124
[6] Evi Hartanti, 2005:54
[7] Lilik Mulyadi, 2007:173
[8] Sindonews.com
[9] Abdul Rahmad Budiono, Pengantar Ilmu Hukum, Malang : Banyumedia Publishing 2005. Hlm 130.
[10] S.F Marbun dan Moh. Mahfud MD. Pokok-Pokok Adminitrasi Negara. Yogyakarta : Liberty 2006 jlm 36.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar